Salah Kaprah Gelora Bung Karna
Pertama kali dengar dan melihat berita, saya kira Situbondo ingin membuat Gelora Bung Karno seperti stadion di Jakarta sana. Saya langsung berdecak kagum, Sebab, kabupaten sekecil Situbondo dan kabupaten yang jauh tertinggal dari kabupaten lain di Jawa Timur, pejabatnya masih mengingat Founding Father Bangsa ini. Luar biasa sekali ini bagi saya.
Beberapa hari kemudian, di medsos ramai terkait pembangunan GOR ini. Setelah saya baca lagi dengan saksama, ternyata nama GOR menggunakan nama Bupati Situbondo, yaitu Bung Karna, bukan O belakangnya. Seketika decak kagum saya berubah menjadi kecewa. Sebab, jarang sekali penamaan GOR, stadion, universitas, jalan, islamic center, RSUD, dan lain-lain menggunakan nama seorang pejabat publik yang masih menjabat.
Hampir semua daerah, menggunakan nama tokoh bersejarah dan tentunya berjasa terhadap bangsa Indonesia. Di Jawa Timur misalnya. Nama GOR hampir semua menggunakan nama pahlawan nasional. GOR Untung Suropati di Pasuruan, GOR Soekarno-Hatta di Blitar, GOR Tawang Alun di Banyuwangi, GOR Juanda di Sidoarjo, GOR Bung Hatta di Ngawi, dan lain-lain.
Di Situbondo sendiri, stadionnya aja bernama Gelora Muhammad Saleh. Ayah dari Abdurrahman Saleh yang namanya digunakan untuk RSUD Situbondo. Seorang komandan angkatan udara dan seorang dokter. Beliau meninggal saat pesawat yang ditumpanginya membawa obat-obatan ditembak jatuh oleh belanda.
Pertanyaan dari relung hati mendalam saya dan mungkin masyarakat luas adalah, apa Bung Karna sebagai Bupati Situbondo dengan jabatan hanya tiga tahun sudah memosisikan seperti tokoh nasional? Apa tidak sebaiknya diberi nama pahlawan nasional dari Situbondo saja. Misal, KHR As'ad Samsul Arifin. Siapa yang mau meragukan kontribusi beliau? Perjuangan beliau melawan dan mengusir penjajah sangat luar biasa. Lah, jenengan Pak? Apalagi pembangunan GOR tersebut pembiayaannya bersumber dari APBD, bukan dari kantong pribadi Bung Karna.
Kemudian tambah mengglitik saya melihat pernyataan Pak Karna ketika merespons pertanyaan wartawan saat acara ground breaking. Beliau menyamakan Stadion Bung Karno sumber pembiayaannya dari APBN dan GOR Bung Karna dari APBD. Memang iya sama-sama menggunakan uang rakyat, tapi apa iya jasa Sukarno terhadap bangsa ini disamakan dengan Bung Karna? Ayolah pikirkan dulu baik-baik.
Berikutnya Bung Karna menyampaikan bahwa nanti event-event Jawa Timur bisa ditempatkan di Situbondo dan atlet-atletnya menginap di hotel-hotel Situbondo serta akan makan di restoran yang kena pajak 10%. Kalau dicari mendalam lagi event-event di Jawa Timur itu hanya Pekan Olahraga Provinsi (PORPROV) yang diadakan 4 tahun sekali. Itupun tuan rumahnya tidak hanya satu kabupaten. Bisa satu karesidenan. Lantas bagaimana GOR ini bisa impactful untuk masyarakat Situbondo secara ekonomi?
Selain itu, dari sisi regulasi penamaan gelora Bung Karna ini telah melanggar peraturan pemerintah No 2 tahun 2021 tentang penyelenggaraan Nama Rupabumi pada pasal 3 huruf G. Pasal tersebut berbunyi, nama Rupabumi harus menghindari penggunaan nama orang yang masih hidup dan dapat menggunakan nama orang yang sudah meninggal dunia paling singkat lima tahun terhitung sejak yang bersangkutan meninggal dunia. Pertanyaannya sekarang apa Bung Karna sudah meninggal? Tentu masih sehat dong. Kalau mau baca sedikit lebih jauh lagi, penamaan ini juga melanggar resolusi penamaan geografis di tingkat internasional, lo.
Lanjut. GOR solusi yang dibutuhkan masyarakat Situbondo?
Pembangunan GOR secara ekonomi jika dikaji lebih mendalam lagi belum mampu menjawab kebutuhan masyarakat Situbondo. Apa yang dibutuhkan Masyarakat Situbondo? Sudah jelas masyarakat dibawah banyak yang mengeluhkan sulitnya mencari pekerjaan yang layak. Banyak warga Situbondo merantau ke luar daerah. Ada yang jaga toko di Bali, ada yang menjadi kuli bangunan di Malaysia, ada yang jadi baby sitter di Arab, dan masih banyak lainnya.
Pembangunan GOR yang dianggarkan 20-30 M alangkah baiknya jika digunakan untuk menambah kuota beasiswa Situbondo. Banyak putra-putri, anak-anak Situbondo yang ingin melanjutkan kuliah tapi terhalang dengan biaya kuliah yang mahal. Ini wajib kita dorong jika Situbondo untuk beberapa tahun kedepan ingin maju. Mengingat pendidikan adalah pemotong rantai kemiskinan.
Atau Uang 30 M didistribusikan ke pelosok-pelosok desa dengan cara membangun infrastruktur jalan. Kita masih banyak melihat jalan-jalan di desa yang berbatuan tak beraspal. Dengan begitu konsep keadilan bagi masyarakat akan terasa. Tapi, dengan pembangunan GOR baru, hal ini tidak mencerminkan kebijakan Bung Karna yang adil. GOR akan dirasakan hanya segelintir orang, segelintir atlit. Atau mungkin dirasakan orang yang punya acara nikahan. Itupun nanti harus bayar sewa.
Dari segi efisiensi, pembangunan GOR Bung Karna juga saya rasa kurang pas dilakukan. Mengingat, Situbondo masih mempunyai GOR yang layak untuk dipakai. Dan masih banyak pekerjaan rumah di Situbondo yang mendesak untuk dilakukan daripada membangun GOR Bung Karna.
Baiklah. Terakhir, saya berharap juga kepada masyarakat Situbondo sebagai civil society untuk lebih kritis terhadap kebijakan pemerintah. Agar kabupaten tercinta ini bisa bersaing dengan kabupaten lain. Saya memimpikan Situbondo seperti Surabaya banyak perkantoran. Seperti Sidoarjo dan Gresik banyak pabrik-pabrik berskala nasional. Seperti Banyuwangi dengan konsep wisatanya. Seperti Jember dengan tingkat universitas berskala nasional. Dengan seperti itu, masyarakat kita tidak kebingungan mencari pekerjaan.
_____
Penulis Ricky Fajrin, seorang ayah 3 anak.
Foto: gbk.com
Tidak ada komentar