Cerpen: Cerita Orang-orang Masjid



Oleh: Depri Ajopan

Aku berpangku tangan, duduk sendirian di teras rumah memperhatikan rumput bergoyang diterjang angin kecil. Tiba-tiba pikiranku melayang kacau, teringat pada pertemuan dengan beberapa orang  di warung kumuh itu, diiringi tawa terbahak-bahak, dan diakhiri dengan pernyataan serius. Aku belum percaya sepenuhnya dengan apa yang mereka katakan, memakan seekor bunglon akan membuatmu pintar menyesuaikan diri, sampai kau bisa menggapai apa yang kau inginkan. Aku juga tidak tahu pasti, apakah satu ekor bunglon bisanya untuk satu niat tertentu saja. Jika ada keinginan  baru harus mencari seekor bunglon lagi. Entahlah. Aku jadinya ingin tahu, benar atau tidaknya pengakuan itu.

Ada juga informasi baru yang aku dapat, ada seseorang memakan seekor bunglon setelah dimasak, dengan niat ia bisa menyesuaikan diri pada perempuan-perempuan jelita, sampai ia digilai perempuan-perempuan itu. Tapi ia kapok, setelah ketahuan membawa istri orang ke tempat gelap, melakukan perbuatan yang tidak senonoh. Ia digebuki suami perempuan itu dalam keadaan bugil disaksikan penduduk kampung, sampai babak belur. Wajahnya memar, jalannya terpincang-pincang. Untung saja ia tidak mati di tempat.

Karena penasaran, aku memasuki hutan mencari bunglon untuk suatu niat tertentu. Suara jangkrik terdengar berisik sekali. Burung-burung yang melintas berkicau, monyet berhamburan. Aku terus melangkah, kepala mendongak ke atas berharap menemukan  bunglon. Sudah satu jam lebih aku menjelajahi hutan, baru aku melihat dua ekor bunglon bertengger di ranting pohon. Aku cari akal untuk menangkapnya. Dua ekor bunglon itu masuk ke dalam perangkapku. Aku membawanya pulang dengan perasaan senang.

Dalam perjalanan, aku mendengar suara berisik dari semak belukar, seperti suara kaki menginjak kayu rapuh. Aku ketakutan, buru-buru mempercepat langkah. Begitu melirik ke semak belukar itu sambil melangkah meninggalkan tempat, aku melihat jelas melintas seekor rusa. Aku tidak membawa senjata apa pun untuk menangkapnya yang tiba-tiba muncul. Tak mungkin aku mengejarnya sendirian. Seandainya aku dapat memegang kakinya, percuma. Aku tidak akan sanggup bertahan, ia sendiri yang akan menyeret-nyeretku. Jika ia berontak sedikit saja, aku tidak bisa melawan, pasti saya terpental ditendangnya.

Setiba di kampung, aku bercerita di sebuah warung tentang rusa yang kulihat itu. Malah aku dituduh pembual, tak seorangpun yang mempercayai ceritaku. Termasuk Pak Yon, seorang pemburu terkenal di daerahku. Ia tertawa terkekeh-kekeh mencemohku, sambil menepuk-nepuk pundakku.  

“Kau ini ngaur. Zaman sekarang, mana ada lagi rusa di hutan itu. Kalau ada pasti cepat ketahuan dan diburu orang, walaupun rusa adalah hewan yang wajib dilindungi. Asal ada setoran ke pak polisi aman, dulu juga begitu,” ucap Pak Yon yang menganggap ceritaku sebuah fiktif belaka.

“Tahu apa kau tentang hutan itu, kau tinggal di sini saja belum satu tahun. Kalau masih ada rusa di hutan itu aku yang lebih dulu tahu, jadi tidak capek-capek berburu jauh-jauh ke kampung lain,” suaranya bertambah keras.

“Kalau mau berburu ke hutan, buru binatang yang jelas saja, bunglon kan harganya mahal,” tutur salah seorang yang juga tidak mempercayai ceritaku. Mendengar pengakuannya itu, aku teringat bunglon yang baru aku dapat di dalam sangkar dan sudah dimasukkan ke dalam gudang. Dua atau tiga hari ini akan aku eksekusi. Walaupun sebenarnya aku masih belum mempercayai sepenuhnya cerita-cerita mereka tentang bunglon itu, apasalahnya sekadar mencoba. Akhirnya aku pulang ke rumah dengan hati kesal. Sebelum membuka pintu rumah, aku memeriksa dua ekor bunglon itu dalam gudang. Sebelum aku menghabisi nyawanya, lalu memakan dagingnya, aku akan merawatnya dengan baik.                                                              

                                                                       * * *

Keesokan harinya, tepat pada waktu sore menjelang Magrib, aku melihat orang-orang berbondong-bondong di halaman warung Pak Poniman. Aku datang ke halaman itu ikut meramaikan. Aku melihat ada Pak Yon di situ. Kaus singletnya yang putih berlumur darah. Ia baru saja membentang terpal, lalu memotong-motong daging rusa dibantu rekan-rekannya yang lain. Ternyata ia berbohong tidak percaya dengan ceritaku tentang rusa itu. Tapi waktu pergi berburu kenapa ia tidak mengajakku, sebagai tanda terima kasihnya. Aku menilai Pak Yon termasuk golongan manusia yang tidak tahu berterimakasih. Setelah mendengar ceritaku, diam-diam ia pasti pergi berburu mengajak beberapa orang kawannya. Bagaimana pun tentang resikonya mendapat seekor rusa itu, ada jasaku yang terlupakan di situ. Aku siap-siap meninggalkan keramaian itu dengan hati kesal, bermaksud mengambil bunglon yang masih terkurung dalam sangkar. Aku ingin mempromosikannya ketika orang-orang masih ramai, ingin memanas-manasi Pak Yon. Seandainya ada yang menawar dengan harga mahal, aku tidak menjualnya. Aku hanya ingin melihat reaksinya Pak Yon, lalu bermohon-mohon padaku minta tolong ditunjukkan di mana tempatnya aku menangkap bunglon, dan aku jawab dengan hati yang bergemuruh, itu rahasia. Aku ingin melihat ia jengkel padaku, seperti kejengkelanku melihat kelakuannya yang pura-pura tidak percaya dengan ceritaku tentang ada seekor rusa di hutan itu.

Ketika aku mau pergi meninggalkan tempat yang ramai itu, ia melirikku tajam. Aku tak tahu apa arti lirikan itu. Sesampai di rumah, aku duduk sebentar, baru menuju ke gudang. Kunci gudang dibobol orang. Sangkar bunglon lenyap beserta isinya. Aku tanya ibu dan istriku, juga adek perempuanku, mereka jawab tidak tahu. Mereka tidak suka binatang itu. Mereka tidak percaya dengan cerita-cerita yang mengalir deras di masyarakat di mana aku tinggal sekarang. Mereka anggap cerita omong kosong. 

Sehari setelah itu, aku datang ke warung Pak Poniman. Sepuluh menit setelah aku ditemani segelas kopi.  Barulah Pak Yon datang ke warung itu membawa sangkar terbuat dari besi berisi dua ekor bunglon. Firasatku berkata, itu milikku, walaupun sangkarnya berbeda dari yang aku punya. Kapan ia mencurinya? Apakah ia menyuruh orang lain yang bisa diajaknya bekerjasama? Bagaimana aku menuduhnya tanpa membeberkan bukti-bukti? Akhirnya aku mengalah, merasa gagal untuk mendekati mereka orang baik dengan bantuan seekor bunglon. Ya, inilah tujuanku sebenarnya ingin mendapatkan seekor bunglon. Aku ingin berubah, dan dekat dengan mereka orang-orang saleh. Tapi aku meulai curiga, benarkah mereka orang-orang saleh? Jangan-jangan orang salah. Sejak itu aku pun punya prinsip baru yang aku buat sendiri, untuk merubah jati diri jadi orang baik, dan mendekati mereka yang baik, aku rasa tidak perlu harus dengan bantuan seekor bunglon.

                                                                     * * *

Azan Magrib berkumandang. Aku memakai sarung, baju batik lengan panjang dan melekatkan peci hitam sebelum memenuhi panggilan itu. Aku yakin ketika berada di masjid nanti, mereka para jemaah heran melihat kehadiranku. Hati mereka berkata, tumben orang ini datang. Tapi aku yakin, mereka yang menurutku orang-orang baik, menyesali perkataannya yang tidak sampai diutarakan ke orangnya langsung. Benar dugaanku, ketika berada di masjid sederhana itu, banyak yang melirikku seperti sinis. Tapi aku tak peduli. Aku yakin untuk menjadi orang baik, seseorang itu perlu diuji. Setelah salat Magrib, aku ikut mendengarkan ceramah agama. Aku masih ingat ucapan ustaz terakhir kali, sombonglah kepada orang sombong, sesungguhnya sombongnya orang sombong adalah sedekah bagimu. Aku langsung teringat Pak Yon. Dalam hati aku bertanya, apakah kelakuannya terhadapku yang pura-pura tidak mempercayai ceritaku termasuk kesombongan yang harus aku balas dan harus aku lenyapkan? Atau aku ganti dengan kesombongan yang berlebih-lebihan. Aku belum bisa menjawab pertanyaanku sendiri, dan tidak seharusnya aku melempar pertanyaan itu pada pak ustaz. 

Setelah cereamah selesai, muazzin mengumandangkan azan isya. Selesai salat, masih ada beberapa jamaah yang duduk santai di masjid bercerita, yang membuatku heran dan tak menduga tentang topik yang mereka bicarakan. Mereka mengungkit aib orang lain, seolah mereka orang-orang masjid manusia suci yang tidak ada cacat setitik pun. Aku sendiri jijik mendengarnya. Lalu cerita berpaling, membahas tentang bunglon dan rusa yang baru dapat itu, akhirnya nama Pak Yon ikut disebut.

“Memang Pak Yon itu selalu dapat rezeki dari arah yang tidak terduga-duga dan dalam berburu dia memang bintangnya,” mereka memuji terus Pak Yon. Entah kenapa, aku merasa jadi korban karena tidak diajak ketika berburu. Paling tidak Pak Yon dan rekan-rekannya cukup mempercayai ceritaku, tapi mereka tidak melakukannya, membuatku sakit hati. Apalagi mereka tidak ada yang memberiku sepotong daging pun. Baik daging yang masih mentah atau yang sudah matang.

“Ya, kehebatan berburu itu ada  pada Pak Yon. Dia juga baru dapat dua ekor bunglon, hebat dia itu. Sebentar lagi dia akan kaya,” Pak Yon masih dapat pujian. Dan pikiranku yang buruk, tidak bisa tidak menuduhnya. Dua ekor bunglon itu milikku yang dicuri. Dari cerita-cerita mereka aku dapat menarik kesimpulan, mendekati mereka yang pernah aku anggap orang-orang baik, memang perlu penyesuaian diri yang matang, tapi tidak harus bantuan seekor bunglon. Aku bisa langsung berserah pada Tuhan, tanpa bantuan mereka juga. Akulah yang bisa merubah diriku jadi orang baik, bukan mereka, yang pada akhirnya setelah pertemuan itu, dan setelah mendengar cerita-cerita mereka yang tak berguna dalam masjid, aku sendiri jadi ragu, apakah mereka orang baik atau bukan?

Aku menggunakan pikiran jernih. Setelah melihat tingkah mereka, dan aku menemukan jawabannya, apakah mereka orang baik atau bukan? Aku berpikir juga tentang khasiat bunglon itu, jangan-jangan cerita itu hanya sebuah fiktif. Dan memang belum ada yang terbukti jelas di depan mata. Misalnya Pak Subio yang katanya mendapat tujuh ekor bunglon dan terjual satu milyar. Tapi tidak ada perubahan pada hidupnya yang terus-terusan melarat. Kenapa aku tidak menggunakan logikaku dari dulu. Aku mulai curiga, desas-desus yang beredar itu mengenai bunglon.

 

 

TENTANG PENULIS

Depri Ajopan, S.S. Lulusan Pesantren Musthafawiah Purba-Baru, Mandailing Natal, Sumatera Utara. Menyelesaikan S-1 Prodi Sastra Indonesia di UNP. Sudah menulis beberapa karya fiksi dan sudah diterbitkan. Cerpennya pernah dimuat di beberapa media cetak dan online. Penulis anggota Komunitas Suku Seni Riau mengambil bidang sastra. Sekarang mengajar di Pesantren Basma Darul Ilmi Wassaadah Kepenuhan Barat  Mulya Rokan Hulu-Riau, sebagai guru Bahasa Indonesia. Hp/Wa: 082391499398

Cerpen: Cerita Orang-orang Masjid Cerpen: Cerita Orang-orang Masjid Reviewed by Redaksi on Juli 21, 2024 Rating: 5

1 komentar