Cerpen: Tubuh Berkarat
Oleh: Irfan Aliefandi Nugroho
Seorang laki-laki tua mendorongku dengan kedua tangannya yang penuh karat. Ia terus mendorongku di tepian jalan lengang. Kepalanya menelisik ke kiri dan kanan, hanya ada kegelapan yang sedang bergelut dengan cahaya dari tiang lampu tepi jalan. Kaki lelaki tua itu tak berhenti maju, seakan tak pernah lelah dari lamanya berjalan di lorong tanpa ujung ini. Udara di luar ini menusuk tubuhku dengan sangat dalam. Seseorang yang tengah mendorongku dari belakang juga sudah mulai semakin menggigil. Ia tetap mendorongku walau suhu malam ini seperti mencekik, tak tahu ke mana aku akan dibawa olehnya. Di bawah gelapnya langit, kami berjalan melawan tiupan arah angin.
Setiap malam tiba, ia selalu
tidur di dekatku. Ia sudah tak punya rumah, namun baginya aku adalah rumah yang
abadi. Aku sudah ada bersamanya sejak lama, sejak masih memiliki rumah, masih
memiliki keluarga yang utuh. Kadang kala serpihan air matanya jatuh. Ia terisak
di dalam dekapku. Aku hanya bisa diam sebab Tuhan menakdirkanku untuk tak
bersuara dan bergerak.
“Ya Tuhan, kenyangkanlah perut
saya dengan makanan yang layak hari ini, serta hilangkanlah dahaga di
tenggorokan saya.” Itu adalah kalimat yang sering ia ucapkan saat menjelang
pagi. Ia tak bosan mengucapkannya setiap hari.
Dari yang kudengar, orang-orang
sering menyapanya dengan sebutan “pak Tarno”. Aku adalah sebuah becak, becak
yang selalu menemaninya dari dahulu kala. Aku sudah berkarat, begitu juga
dengan umur pak tua itu, namun ia selalu mencuciku, rutin membasuh cela sempit
di bagianku. Semuanya ia lakukan demi kenyamanan seorang penumpang menduduki
punggungku
Saat mentari mulai naik ke
permukaan, pak Tarno akan berlabuh di sebuah tempat yang ramai dipenuhi oleh
pedagang-pedagang. Di sana kumuh, kotor, serta banyak anak kucing yang
lalu-lalang di sekitar sini dengan luka-luka di tubuh mereka. Ia menantikan
datangnya penumpang yang perlu diangkut. Suasana tempat ini sangat ramai,
orang-orang begitu saja melewatiku dan pak Tarno. Mereka sudah memiliki
kendaraannya sendiri, selain karena lebih hemat dan cepat.
Aku iba melihat kondisi pak
Tarno. Ia sering kali memandangi untaian awan-awan di langit yang bergerak,
pandangannya hanya terpaku pada itu. Aku tak tahu pasti apa yang ada di dalam
kepalanya saat ini. Seringkali saat sang mentari mulai naik dan makin menyengat,
ia mengipas-ngipas tubuhnya dengan topi yang selalu menutup kepalanya.
“Tahun ini mungkin sudah bukan
eranya becak lagi untuk bekerja. Kalau dilihat-lihat, sekarang sudah berbeda
dari dulu, ya,” ucapnya dari mata yang lelah dan hati yang putus asa.
Aku sudah cukup tua, mungkin
umurku sama dengannya. Aku masih ingat, dulu ketika pak Tarno masih berkumpul
dengan keluarga kecilnya, ia selalu tersenyum setiap hari walau punggungnya
berselimut duri. Setiap ia pulang, seorang anak lelaki kecil dan seorang wanita
berdiri di depan pintu dengan wajah antusiasnya.
Itu adalah sebuah sesuatu yang
berharga, seperti emas permata. Bukankah sebagian orang tidak pernah merasakan
disambut oleh penghuni di rumah yang menunggu berhari-hari? Atau mungkin sudah
terlalu sering hingga menganggap itu sudah biasa. Tetapi hal itu sudah pasti
tak akan terulang lagi karena perjalanan waktu.
Tak ada yang dapat ia perbuat
banyak. Sudah tua, tubuhnya mulai melemah dimakan usia. Sungguh, kupikir ia
sangat tangguh karena dapat bertahan hidup sampai saat ini. Matahari semakin
naik dan menyengat. Pak Tarno beranjak dari duduknya dan mengayuh sepasang
pedal yang ada di diriku.
“Pak! Becak! Cepat ke sini.”
Tiba-tiba terdengar suara lengkingan yang memekakkan telinga. Pak Tarno
seketika menelisik asal suara itu, itu berasal dari seorang wanita yang berdiri
di trotoar jalan dengan wajah cemas.
Pak Tarno menoleh ke wanita itu,
dengan cepat ia mengayuh sepasang pedal di diriku. Ia berhenti tepat di depan
wanita yang tengah menyorakinya. “Pak, apa Bapak bisa mengantar anak saya ke
puskesmas terdekat? Sekarang anak saya mau melahirkan!” Wanita tadi nampak
membopong gadis yang lebih muda dengan perut yang sudah membesar.
Senang karena telah mendapat
penumpang baru setelah lamanya berpuasa menahan lapar, akhirnya sebentar lagi
perutnya bisa terisi oleh makanan. Namun ia juga menggenggam sebuah nyawa dari
manusia lain yang kini menjadi tanggungannya. “Baik, Bu. Saya antar ke bidan
terdekat di sini,” kata pak Tarno. Ia membantu membopong gadis muda itu untuk
berjalan lalu duduk di punggungku.
“Terima kasih banyak ya, Pak,”
ucap wanita yang lebih tua. Mereka berdua mulai naik dan duduk bersandar. Pak
Tarno kembali mengayuh sepasang pedal, tapi kali ini lebih cepat dari
sebelumnya. Rasanya cukup berat dipunggungku, dan pak Tarno mengayuh pedalnya
dengan segenap tenaganya.
Berkat kekuatannya itulah, aku
dapat bergerak dan berjalan dalam kendalinya. Kami melewati jalan beraspal yang
penuh akan sesak lalu-lalang kendaraan bermotor. Semuanya melewati kami begitu
saja. Sebagian tubuhku sudah terkikis oleh karat dan menua, karena itulah pak
Tarno perlu tenaga ekstra untuk menggerakkanku.
Sepanjang jalan yang ramai telah
kami lalui dengan keringat yang mengguyur tubuh pak tua itu. Setelah melihat
suatu bangunan tempat memulihkan tubuh dan nyawa, pak Tarno turun lalu membantu
gadis muda itu berjalan masuk sampai ke depan pintu kaca bersama wanita tua
tadi, sedangkan ia sendiri duduk denganku menunggu di luar.
Pak Tarno kemudian duduk
bersandar di bangku penumpang, ia menatap ke arah gumpalan awan-awan, lalu
sesekali mengubah pandangannya ke arah bangunan tempat orang sakit di
hadapannya. Aku rasa ia memikirkan sesuatu? Tapi saat aku merasakan hawa tempat
ini, membuatku jadi teringat masa lalu saat lelaki tua ini berjuang membawa
seorang wanita yang jadi teman hidupnya ke sebuah rumah sakit untuk lahirnya
manusia baru di keluarga mereka.
Kembali mengingat masa lalu.
Hari itu aku berjuang melewati butiran hujan yang
membanjiri sekitar, semuanya hampir basah kuyup olehnya. Saat itu awan gelap
dan mendung bergabung menjadi satu menciptakan momok mengerikan di langit
sampai menutupi cahaya rembulan. Aku masih cukup ingat saat pak Tarno menahan
guyuran hujan dengan tubuhnya, ia sangat cepat mengayuh sepasang pedal.
“Tolong tahan sebentar, Bu.
Sebentar lagi kita sampai!” ucapnya agak berteriak.
Di kursi penumpang, seorang yang
menjadi istrinya tengah bersandar sambil menahan rasa sakit di perutnya. Wanita
itu merintih kesakitan, setiap jatuhnya tetesan air hujan ke tanah sakit di
perutnya semakin mengamuk. Tapi syukurlah, tubuhnya tak tersentuh sedikit pun
oleh air hujan, sebab di bagian tubuhku terdapat sebuah atap pelindung berbahan
kain dan sering kali dilapisi oleh plastik saat hujan.
Namun atap tersebut hanya untuk
para penumpang di depan, sedangkan seseorang yang jadi pengemudinya tak dapat
perlindungan apa-apa. Kadang aku berpikir, mengapa aku diciptakan hanya
melindungi penumpang saja? Kenapa aku tidak dapat melindungi seseorang yang
membuatku berjalan dan selalu merawatku? Bahkan di suatu waktu, ia rela
memasang tubuhnya di tengah terik dan hujan.
Pak Tarno berjuang untuk
mendorongku demi menyelamatkan manusia yang disayanginya. Ia memacu pedalku
dengan cepat, tapi dengan hati-hati supaya kami semua tidak mampir ke rumah
Tuhan. Hujan kala itu semakin deras setiap embusan napas. Kilatan cahaya merah
muda mulai terpancar dari tirai cakrawala, suaranya sangat memekakkan gendang
telinga. Sudah tak ada waktu bagi kami untuk berlindung, semua tentang waktu
dan nyawa.
Sudah beribu-ribu tetesan air
kami lewati. Saat rasa sakit pada istrinya telah mencapai batasnya, akhirnya
kami tiba di sebuah tempat orang sakit berkumpul. Aku sangat lega dia masih
bisa bernapas! Ia menuntun istrinya untuk masuk ke dalam tempat itu. Mereka
disambut oleh orang-orang berpakaian putih, lalu orang-orang itu dengan segera
membawa istri pak Tarno ke dalam dengan ia berjalan di paling belakang.
Aku berada di luar seorang diri,
hanya diam mematung tertimpa guyuran air hujan. Aku tak mengetahui apa yang
terjadi di dalam sana, tentu aku tidak boleh masuk ke dalam ruangan berisi
manusia. Tetapi aku dapat merasakan adanya kehidupan baru yang telah lahir.
Kami sudah basah kuyup bersimbah air, tidak mungkin tak ada bayaran atas
perjuangan itu.
Hanya itu yang dapat kuingat
dari serpihan masa lalu, aku merangkai kembali ingatan itu untuk hari ini.
Semuanya terasa berlalu cepat, ingatan itu ada untuk hari ini. Aku mungkin
adalah sebuah becak berkarat, namun saat aku dipakai manusia, aku mulai belajar
dan memahami perasaan seorang manusia. Aku kembali keluar dari masa lalu,
kembali hidup di masa sekarang. Seorang wanita tua yang sempat diantar pak Tarno
sebelumnya, ia berjalan mendekati kami.
“Permisi, Pak. Maaf kalau
menunggu. Ini saya ada beberapa uang dan botol.” Wanita tua itu menyodorkan
sejumlah lembar uang dan sebotol air putih. Pak Tarno terbelalak karena uang
yang diberikan melebihi tarif biasanya, tentu ia merasa tak enak apabila
menerimanya. “Loh, apa ini tidak kebanyakan, Bu? Ini lebih banyak dari ongkos
saya biasanya,” katanya dengan menyungging senyum malu di wajah yang kusam dan
keriput.
“Tidak apa-apa, Pak. Anggap saja
ini bayaran lebih telah menyelamatkan Anak dan Cucu saya, jadi tolong
diterima.” Wanita itu masih bersikeras agar pemberiannya dapat diterima tangan
pak Tarno.
Pak Tarno sangat dilema,
batinnya merasa tidak enak untuk mengambilnya. Namun di sisi lain, bukankah ini
yang ia inginkan selama ini? Harapannya saat memulai hari. Tentu di sisi lain
ia sangat membutuhkan uang, setidaknya
untuk mengganjal perut saja. Setiap hari ia makan dengan kekurangan, bahkan
pernah tak makan sama sekali dan hanya minum, seharusnya ini menjadi hadiah
baginya.
Dengan berat hati, ia menerima
semua uang itu. Ia sangat berterima kasih atas uang itu. Ada sebuah naluri
manusia yang harus dipenuhinya, apalagi kalau bukan soal makanan. “Terima kasih
banyak, Bu. Kalau butuh apa-apa lagi, mungkin bisa datang ke pasar sana, itu
tempat biasa saya kerja.” Wanita tua tadi menganggukkan kepala, menebar
senyuman tulus.
Pak Tarno berpamitan pada wanita
tua itu, mungkin saja kami bisa bertemu lain waktu atau mungkin tidak pernah.
Ia kembali mengayuh sepasang pedal dengan kakinya, mungkin saja aku akan
dibawanya ke tempat berlabuhnya di dekat pasar. Hari semakin larut, sang surya
perlahan-lahan tenggelam di balik tirai awan jingga.
Kami menepi di tepian jalan
dekat pasar. Langit mulai gelap secara perlahan dan menyelimuti sekitar kami.
Malam ini pasti akan dingin seperti biasanya, kami tak memiliki selimut apapun,
hanya bisa meringkuk kedinginan. Namun hari ini pak Tarno mendapat hadiah atas
ketangguhan dan sabarnya, kini ia tak takut akan kelaparan dan kehausan untuk
sementara waktu.
Rembulan mulai naik ke
permukaan, ia memancarkan cahaya yang remang-remang lembut. Tiang lampu di tepi
jalan juga turut menyala menyusul rembulan. Pak Tarno menyaksikan kendaraan
yang lalu-lalang dengan cepat di hadapannya, ia seperti berharap kalau di salah
satu kendaraan itu akan ada anaknya yang lewat dan turun menghampirinya.
“Ke mana saja kamu pergi, Nak?
Bapak sudah lama kangen sama kamu. Apa kamu masih baik-baik saja di sana? Kapan
kamu mau pulang? Sudah tidak ada kabar bertahun-tahun.” Pak Tarno mulai
berbicara dengan diri sendiri. Sebagai seonggok becak, aku sudah sering
mendengar ocehannya setiap hari.
Sepertinya aku ingat soal anak pak Tarno.
Dahulu saat ia mulai dewasa, ia berpamitan pada ayah dan ibunya sewaktu hidup
untuk melanjutkan suatu pendidikan di luar kota sana. Benar! Saat itu pak Tarno
sendiri yang mengantarnya dengan menunggang tubuhku untuk pergi ke stasiun.
Dahulu ia sangat berharap pada anaknya agar belajar dengan baik untuk hasil
yang baik. Tetapi sekarang sampai istrinya sendiri telah jadi debu, tak ada
satu pun kabar dari anaknya yang terdengar di telinga atau terlihat di mata,
bahkan di mimpi pun tak ada. Ke mana perginya? Apakah bocah itu sengaja
melupakannya?
Kepala pak Tarno pasti dipenuhi
soal anaknya, itulah salah seorang anggota keluarganya yang menjadi harapan
terakhirnya. Jika tak ada semua, lalu apa arti hidupnya selama ini? Ia hanya
hidup di luar seorang diri, bertahan dari lapar dan haus serta cuaca ganas.
Dunia di luar itu sangat liar dan buas bagi orang renta sepertinya.
Pak Tarno kembali menenggak minuman sebotol air yang tersisa
dari pemberian wanita tua tadi, ia juga memakan sebuah roti untuk melerai
pertarungan di dalam perut. Ia sangat menikmati setiap suapan makanan, bahkan
makanan sederhana pun. Dari kejauhan, ada dua orang pria berjalan mendekatinya,
kami mengira mereka adalah penumpang baru malam ini.
Pak Tarno buru-buru bersiap
untuk kembali pindah dari kursi penumpang dan mengayuh lagi. Tetapi aku
merasakan hawa yang berbeda.
“Pak! Apa ada uang?!” ucap salah
satu dari mereka. Kakinya menendang bagian depan dari tubuhku. Itu sangat
menyakitkan! Lagipula apa-apaan mereka ini? Datang langsung memeras.
“Tunggu, kalian berdua siapa?!
Terus untuk apa minta uang pada saya?” Pak Tarno kebingungan melihat kelakuan
mereka.
“Sudah Pak, berikan saja kami
uang secepatnya!” Pria kedua menarik kerah baju pak Tarno sambil mengepalkan
salah satu tangannya. Pak Tarno tidak berdaya di hadapan dua orang itu, aku
ingin melawan mereka namun aku tak dapat bergerak sedikit pun tanpa bantuan
manusia. “Tidak! Saya tidak mau memberi, pergi atau saya akan lapor kalian ke
polisi!” Pak Tarno meninggikan suaranya yang mulai serak.
“Oh, baiklah kalau begitu, kami
akan ambil paksa.” Seorang pria lalu menarik pak Tarno hingga membuatnya
tersungkur di atas tanah kotor. Mereka lalu menendang dan memukuli pak tua itu
sampai merangkak kesakitan. Pak tua! Kemarilah pak tua! Raihlah aku!
Kedua pria tadi langsung pergi
setelah mendapat sejumlah uang dari saku celana pak Tarno. Mereka meninggalkan
pak tua ini yang semakin payah. Aku dapat melihatnya saat ia merangkak
mendekatiku, namun gerakannya berhenti seketika. Ia sudah tidak bergerak saat
wajahnya penuh dengan lebam dan penyok. Jalanan menjadi sepi saat kejadian
barusan terjadi, seolah semesta ingin menutup mata. Aku sangat ingin
menolongnya, tapi aku bingung karena tidak bisa berbuat apa-apa selain
dikendalikan manusia. Pak tua ... pertahankan nyawamu sampai ada seorang
manusia melihat ini, kumohon! Aku tak mau menjadi benda rongsok di bengkel
sana.
Tentang
Penulis
Keren......
BalasHapusplot twist sih karena sudut pandangnya ternyata dari benda ga nyangka keren kak semangat
BalasHapusKEREN.. Saya merasa terbawa ke dalam cerita
BalasHapus