Arèsan Kompolan: Pergumulan yang Bukan Sekedar Rasan-Rasan
Oleh: Panakajaya Hidayatullah*
Badannya memang terlihat kurus, dengan kerutan-kerutan di seluruh sudut wajahnya. Saat duduk, jari-jari tangannya tak pernah lepas dari lintingan rokok tembakau. Dua-tiga linting dihisapnya dalam-dalam dan diembuskan ke langit sembari menyimak lantunan syair-syair merdu. Penampilannya memang mencolok dan selalu mencuri perhatian orang, di antara jamaah berkopyah, hanya dia yang memakai blangkon.
Siapa sangka, tubuhnya yang tampak lemas tak berdaya
itu berubah drastis, dan membuat suasana mendadak meriah. Di tengah lingkaran
para jamaah, dengan lihainya, kakinya melangkah zig-zag mengikuti irama hadrah
Madura, kedua tangannya mengayun ke atas, ke bawah seperti gerakan mendayung, dan
diakhiri dengan menggerakkan jari-jarinya membentuk segi empat di depan
dadanya. Ia tampil begitu percara diri laiknya seorang rockstar, para
penonton bersorak dan tertawa senang. Orang-orang memberinya julukan si ola’
sutera, belakangan saya baru tahu bahwa pria berumur 70-an tahun itu adalah
Pak Gafur.
Orang Mimbaan menyebut tarian itu sebagai Saf, dan
Ru’dad, sebuah gerakan tarian yang populer pada tahun 2000an di
masyarakat Situbondo dan Madura. Tarian ini merupakan sajian pelengkap dari
musik Hadrah Madura. Belakangan, tarian ini kembali populer karena tik-tok,
orang mengenalnya dengan joged viral “aduh kacong” karena ada backsound
lagu hardah Madura dengan lirik tersebut.
Pengalaman extraordinary di atas tidak saya
dapatkan dari youtube ataupun panggung-panggung pementasan, tetapi dari komunitas
kecil di Mimbaan, yang aktif menjalankan arèsan kompolan selama 30 tahun
lebih dengan jumlah anggota lebih dari puluhan orang dengan rentang usia
sekolah dasar hingga usia lanjut.
Barangkali sudah telanjur tertanam di kepala kita
bahwa arisan itu identik dengan kumpulan ibu-ibu, atau komunitas rasan-rasan
yang tak berfaedah. Saya pun demikian awalnya, menganggap arisan adalah
aktivitas receh dan buang-buang waktu saja. Sampai akirnya, terpaksa mendaftar
sebagai anggota arèsan kompolan (Hadrah) karena alasan penelitian, saya ingin
mempelajari musik hadrah Madura, itu saja. Arèsan kompolan berbeda dari
arisan biasa. Bouvier, seorang etnomusikolog yang meneliti musik di Madura,
menyebut arèsan kompolan biasanya tidak hanya diisi dengan aktivitas
menghimpun uang saja, tetapi juga berhubungan dengan kegiatan kesenian.
Setelah masuk, saya baru paham bahwa arèsan
kompolan itu cukup penting bagi komunitas seni tradisi. Alih-alih sekedar
hiburan dan rasan-rasan, aktivitas ini adalah napas dari kehidupan seni
tradisi itu sendiri.
Berbeda dari seni modern, yang memiliki peluang hidup
dan berkembang cukup tinggi di masyarakat, karena masih ditanggap dan
difungsikan dalam pelbagai acara, seni tradisi memerlukan upaya survival yang
jauh lebih rumit. Hadrah Madura di komunitas Mimbaan sebagai contohnya.
Membangun Ruang – Mencipta Selera
Almarhum Pak Jumat (maestro Hadrah Madura di
Situbondo) telah menghidupi arèsan hadrah selama 30-an tahun lebih.
Baginya, arèsan kompolan punya peran penting terhadap eksistensi musik
hadrah Madura. Arèsan kompolan memberikan kesempatan kepada para seniman
hadrah untuk memainkan musiknya setiap pekan. Mereka tak perlu menunggu tanggapan
atau undangan untuk bermain, dengan arèsan mereka menciptakan
panggung, audiens (fans), dan ruang dengarnya sendiri.
Arèsan kompolan umumnya dilakukan secara anjangsana (pindah-pindah)
dan selalu diamplifikasi menggunakan sound system laiknya hajatan
kecil-kecilan. Ihwal ini adalah strategi para seniman tradisi untuk
terus-menerus menghidupkan ruang dengar masyarakat (publik) dengan musik hadrah
Madura. Tidak hanya anggota arèsan saja yang menikmati musiknya, namun
juga lingkungan sekitarnya.
Anjangsana adalah upaya untuk memperluas
jangkauan-distribusi ruang dengarnya, maka semakin banyak anggota yang ikut,
dan tempat yang didatangi, harapannya akan semakin luas juga ruang dengarnya.
Jadwalnya yang konsisten dan berkelanjutan, akan membentuk selera (musikal)
publik, mau tidak mau, suka tidak suka, lingkungan sekitar akan dipaksa untuk
mendengarkan musik tersebut lewat sound system yang dipakai. Mekanisme
ini sama halnya dengan strategi industri menciptakan selera musik pasar dengan dominasi
tayangan di televisi. Masih ingatkan anda dengan tren musik melayu di
pertengahan 2000-an, Boyband atau K-Pop setelahnya?
Transmisi dan Regenerasi
Arèsan kompolan juga memiliki fungsi transmisi baik secara pengetahuan
maupun keterampilan seni. Ketika saya mengikuti arèsan, saya melihat pak
Jumat mempersilahkan para murid hadrahnya untuk tampil secara bergantian, dari
grup Miftahul Jannah Junior, kemudian grup Miftahul Jannah Senior.
Arèsan mungkin saja sama seperti ujian resital musik di sekolah-sekolah musik,
namun yang menilai bukan hanya para guru, tetapi juga masyarakat seluruh desa.
Ketika ada suara sumbang, tak jarang langsung dikritik oleh masyarakat. Di
ruang inilah transmisi dan regenerasi itu dijalankan, tak hanya sebatas teori
tetapi mereka langsung mendapatkan pengalaman praktik untuk pentas secara
langsung di depan masyarakat umum.
Arisan Sebagai Modal
Rasanya tidak berlebihan saya menyebut arèsan
kompolan sebagai napas seni tradisi jika melihat kenyataan di lapangan
bahwa hampir sebagian besar seni tradisi yang saya temui memulai aktivitas
profesionalnya dari arèsan. Pernahkah anda membayangkan bagaimana
seniman tradisi membeli seperangkat gamelan atau alat musik elektronik yang
mahal? Atau bertumpuk-tumpuk sound system dengan variasinya? Sebagian
besar jawabannya cukup mencengangkan, dari arèsan.
Arèsan kompolan menjadi cara yang umum dilakukan oleh para seniman
tradisi untuk mengumpulkan modal (modal perlengkapan, modal pengetahuan, modal
pengalaman) dalam meniti karir profesionalnya. Sedikit-demi sedikit mereka
menyisihkan uang sisa arisan untuk membeli perlengkapan, baik instrumen musik, sound
system, panggung, dekorasi dan lain-lain.
Selain Hadrah Madura di komunitas Mimbaan, saya juga
menemui banyak sekali rombongan seni tradisi lainnya yang juga
menggunakan pola yang sama. Seperti sebagian besar grup dangdut, can-macanan,
mamaca, ketoprak, topeng, pencak, saramaan, dhangkong dan
lainnya. Maka tidak jarang kita temukan istilah-istilah seperti arisan dangdut,
arisan pencak, arisan mamaca, arisan sarama’an dan lainnya.
Saya belajar banyak dari arèsan kompolan, tentang
bagaimana cara seniman tradisi bertahan, menghidupi dan mengembangkan keseniannya.
Apa yang sedang mereka kerjakan sebenarnya sejalan dengan apa yang diamanahkan
negara melalui Undang-Undang Pemajuan Kebudayaan. Mereka bertahan dengan
caranya sendiri, secara kolektif dan berkelanjutan.
Sayangnya, pemerintah daerah tidak pernah membuat
program dan kebijakan yang berpihak pada mereka. Di Situbondo, klaim
pelestarian terhadap seni itu selalu dijawab dengan pergelaran-pergelaran
spektakuler. Menghabiskan banyak anggaran namun tidak memiliki dampak yang
signifikan terhadap seni tradisi. Banyak sekali perhelatan akbar yang
dipaksakan, bahkan sampai “mewajibkan” berbagai pihak untuk menonton namun
hasilnya tak pernah sesuai harapan dan ekspektasi.
Barangkali kita perlu belajar dari almarhum Pak Jumat,
bagaimana cara membangun ekosistem seni yang sehat, dinamis dan berkelanjutan. Alfatiha.
*) Penulis merupakan Dosen Fakultas Ilmu Budaya, Universitas
Jember. Penulis buku Tabbhuwan.
Tidak ada komentar