Fashion dan Berbagai Dampaknya



Oleh: Sururi Nurullah

Membahas tentang fashion, mungkin saya tak begitu piawai layaknya santri lain yang selalu memikirkan outfit. Sebab mengikuti tren busana, bukan ranahnya para santri, tapi bagi selebriti. Mereka memang berupaya menjadi sorotan, bukanlah panutan.

Beda halnya dengan santri, kesehariannya mengaji dan mengabdi. Ia hidup dalam kesederhanaan, bukan jadi buah perbincangan. Keseharian kita ngalap barokah dari Kiai, ridonya adalah kebahagiaan tersendiri. Karena kita tahu bahwa agent of social culture, sala satunya ialah santri. 

Namun akhir-akhir ini, keadaan demikian telah kita lupakan secara bersama. Pemahaman sejak dulu, telah kita ganti oleh gairah sesaat. Siapakah yang mengetahui secara pasti pergeseran ini? Mungkin diri sendiri saja, kita tak pernah menyadari. Kita terus mengikuti pasang surutnya tren mode, sampai lupa siapa diri kita, dan untuk apa kita berada di pondok pesantren.      

Oleh karenanya, semua santri patut sekali mengetahui wacana masa lalu dalam buku “Polemik Kebudayaan” karya Achdinat K. Mihardja. Pada 8-10 Juni 1935 di Solo, ada sedikit perdepatan terkait postulat kebuadayaan. Perdebatan selama tiga hari itu, ada dua kubu ibarat langit dan bumi, yakni Sultan Takdir Alisjahbana dan Sanusi Pane. Terkait kubu pertama, beliau amat menginginkan kebudayaan Indonesia berkiblat pada peradaban Barat. Tentunya dikarenakan Sultan Takdir telah memprediksi masa depan yang cerah dari Barat. Ketika kita berkiblat ke Barat, berbagai kemujuan pastinya mudah diraih. Sedangkan jika mengikuti arus perkembangan di Timur, masa depan negara akan begitu suram. Sebab di sana terlambat melangkah di bidang keilmuan.

Tetapi argumen itu tak dapat diterima begitu saja oleh Sanusi. Dirinya tahu betul bagaimana kehidupan Barat saat itu, begitupun masa depan nanti. Di sana, kata beliau, begitu keras dan individual, semuanya berkutat antara simbiosis mutalisme. Sopan santun tiada guna, semua orang terjerembab dalam dua pilihan: diinjak, atau menginjak.  Lalu jika negara berkiblat ke Barat, maka dapat dipastikan budi luhur auto sirna seketika.

Perdebatan sengit mereka rupanya tak kunjung usai, juga tak menemukan titik temu dalam mendamaikannya. Maka kedatangan Adinegoro menjadi angin segar. Dipertengahan tahun, beliau memahami problem itu secara baik, bahwa ada kelebihan dan kekurangan. Ia tahu kalau Barat memang sangat welcome terhadap ilmu, sedangkan di segi etika kalah terhadap Timur. Lantas dari sana, beliau menemukan titik temu yang pas, layakna “al-muhafadhatu ala qadimi al-shalih wa al-akhdu bi al-jadidi al-ashlah”. Mafhum darinya, beliau memadukan keduanya.

Anehnya, tanpa sadar kita malah mengikuti arus Barat hapir keseluruhan. Tetapi bukan pada segi keilmuannya, malah gaya hidupnya. Seperti melejitnya boyband Korea telah membawa skincarelaris di negeri ini, ngetrennya outfit ketat di Paris juga telah kita tiru. Dua kesalahan itu membaur menjadi satu, mengikis jati diri masyarakat Indonesia secara perlahan-lahan, sekaligus samar-samar. Sedangkan santri, rupa-rupanya ikut serta.

 

Imbas Skin Care      

 Jamah kita temui, untuk tidak mengatakan melakukan, para santri banyak sekali menggunakan skin care hari ini. Saya sendiri amat bingung ketika dihadapkan dengan realita itu. Kalau celak bukanlah kesalahan, karena kita tahu hukumnya sunah. Tapi dari serum, bedak, sampai pelembab wajah begitu aneh di telinga.

Akan tetapi di saat ini, itulah yang terjadi. Banyak sekali santriwan menggunakan skin care demi mempunyai wajah Korea-an. Tiap malam pergi ke kamar mandi bukan untuk wudu, malah membasuh muka dengan sabun mahalnya. Setelah itu, mereka malah berdiri di depan cermin kamar, meneteskan serum, lalu mengusapnya hingga merata ke seluruh wajah. Kesokannya, selepas mandi, tinggal bedak dan pelembab yang mereka gunakan. Semua tindakan tersebut tujuanya hanya satu, yakni untuk membuat dirinya tampan.

Saya kira, bukan tampan yang mereka peroleh, namun kebodohan yang mereka rawat. Sebab saya terpincut melakukan hal serupa selama satu minggu. Lalu apa perubahannya? Kulit saya menjadi tipis anti sinar UV. Seakan hati saya takkan rela vitamin D masuk lewat kulit wajah.

Parahnya lagi, tindakan demikian bukanlah berkutat di kulit saja, dari segi pengeluaran meningkat seketika. Anggaran kitab kuning dari orangtua saya, seharga delapan ribu pun hangus tak tersisa. Pikiran saya hanya berkutat perihal penampilan, bukan lagi prospek masa depan. Sementara teman-teman malah asik dalam kehidupan seperti itu. Tag line-nya “buronan pengurus, bukan masalah. Skin care tiada, membuat sakit kepala.”     

Jika santriwan demikian, entah bagaimana parahnya di santriwati kemudian?

 

Pengaruh Hijabers

Fashion ketat memang menjadi polemik tempo lalu, tepatnya ketika tren celana pensil merebak di muda-mudi Indonesia. Tren ini, lahir dari celana jins, sejak dimodifikasi oleh desiner baju dari Paris (Baca: Tren Paris). Mereka mencaploknya dari celana dalam wanita kerajaan Ingris. Namun bedanya, bukan lagi berada di dalam gaun, tapi sebagai celana bisa.

Lalu ketatnya celana pensil mulai merambat pada baju. Dalam titik ini, polemik ketat menjadi semakin menjamur. Pro dan kontra tak lekang di media sosial. Suara setuju mempunyai beribu alasan, kisaran baik dari style-nya: ramping, tidak ribet, sekaligus hemat kain. Sedangkan lawannya, para kalangan agamis. Mereka beranggapan, bahwa busana ketat memicu sahwat kaum Adam. Karena kaum Hawa, telah memberikan visualisasinya sebayak 50%. Ia besar atau kecil.

Namun polemik itu menurun mulai adanya Hijabers. Komunitas ini, ialah sarana para selebriti Indonsia merespon pentingnya busana muslimah bagi anak muda bangsa. Busana ketat mulai mereka kikis perlahan-lahan. Berbagai artis mulai berlomba-lomba memosting busana muslimahnya. Mereka bergantian tampil di media sosial, juga layar kaca: film “99 Cahaya di Langit Eropa”. Mereka menunjukkan kalau busana muslimah bisa eksis di masa kini, tidak kuno, kampungan, atau malah tertekan layaknya kata Kees van Dijk. Sampai dari upaya merekalah, Hijabers realisasikan Fashion Show Muslimah se-Indonesia yang bertempat di DKI Jakarta.

Busana muslimah ala Arabia, India, Malaysia, dan Indonesia—dengan gaya khas batiknya—dipentaskan pada acar itu. Event-nya semakin berpamor karena ditopang keikutsertaan para desiner baju terkemuka Indonesia. Meriahnya malam tersebut memicu para pemudi, utamanya santriwati, terpincut mengikutinya. Dari sana, mereka mulai mengenal merek jilbab dan busana beraneka rupa. Meski harganya mahal, hal itu bukan menjadi penghalang. Sebab orangtua mereka pun target permintaan.

Lalu yang terjadi setelahnya, seiring merebak tren Hijabers, para selebriti mulai merubah arah muslimah dikit demi sedikit. Awalnya muslimah, menjadi muslimah-muslimahan. Fashion ketat mulai di kembalikan. Pertama dari desain baju semakin menyempit, kemudian beralih pada rok yang bergati celana Levis.

Pergeseran itu tidak pernah dirasakan para santriwati. Kenyamanan mereka meniru para Hijabers, sudah menjadi candu pribadi. Sehingga dari sanalah, santriwati memperoleh kerugian berlapis, yakni dari hilangnya fokus belajar; pengeluaran membeludak; dan tergerusnya identitas etika berbusana mereka.

Lalu kapan semua ini bisa berakhir?                          

 


Fashion dan Berbagai Dampaknya Fashion dan Berbagai Dampaknya Reviewed by Redaksi on September 08, 2024 Rating: 5

Tidak ada komentar