Cerpen: Pertemuan



Oleh: Heru Mulyanto  

Percayalah… jauh di luar sana, pasti ada jiwa yang memang telah ditadirkan untukmu. Yang mau menerimamu apa adanya. Beserta kemampuan jiwa dan ragamu yang berbeda.  

-- dr. Dimitri Dimitriyevich, M.Sc 

 

Pembaca yang terhormat, kisah ini adalah kisah tentang pertemuanku dengan gadis itu. Seorang gadis yang melampaui seluruh dugaan terjauh yang pernah kupikirkan, bahkan melampaui hakikat-hikakat manusia pada umumnya. Perkenalkan, namaku Rodionovich Galileo. Umurku 26 tahun. Kala itu, 7 September 1966. Aku masuk salah satu rumah sakit jiwa di daerah Kiev, Ukraina. Ya, benar! Aku adalah pasien penyakit jiwa salah satu suaka di sana. Pikiranku yang terus menerus menghasilkan ketakutan dan paranoia secara tak wajar dan membuatku takut terhadap seluruh perjalanan dalam hidupku. Aku takut gagal, takut mengecewakan orang lain, takut tak cukup memuaskan, takut berkenalan dengan orang baru, takut merusak suasana, takut dicelakai orang, takut dirampok, takut kehilangan, takut mati, takut mengganggu orang lain, takut untuk bahagia, dan banyak sekali ketakutan-ketakutan menjijikkan yang menggentayangi pikiranku yang membuatku dijebloskan kedalam bangsal rumah sakit jiwa ini. Ya tuhan, otak macam apa yang telah kau ciptakan dalam kepalaku ini? Segala hal yang kupikirkan pasti tak pernah luput dari rasa takut jahanam ini!

Pembaca sekalian, tak jarang pula diriku pun melihat sosok-sosok yang menurut dokterku tak nyata. Misalnya, ketika aku berada di kerumunan banyak orang, tiba-tiba saja ada muncul sosok diriku yang lain di antara banyak orang-orang tersebut. “Diriku” yang lain itu selalu saja muncul dengan mengagetkan dan selalu saja menawarkan kepadaku benda-benda yang dapat mencabut nyawaku. Misalnya seperti pisau, golok, arit, racun serangga, kapak, atau benda apapun yang dapat mendukung keinginanku untuk mati. Aku telah dengan giat mematuhi dokter Dimitri untuk meminum Olanzapine sebanyak 15 miligram disertai dengan dua tablet Ecitalopram yang bahkan aku tak tahu lagi berapa besaran dosisnya. Setiap pagi dan sore hari aku selalu meminumnya. Namun obatku itu sepertinya masih belum mampu menghentikan seluruh ketakutan dan halusinasi ini. Mereka terus saja memberi teror di hidupku setiap harinya. Jika otakku ibarat sebuah cangkir gerabah, maka ia benar-benar telah hancur terpecah-belah menjadi serpihan yang tak terhitung jumlahnya. Begitulah aku memandang diriku.

Pembaca yang budiman, pada suatu sore di rumah sakit jiwa itu, dr. Dimitri mengajakku ke taman rumah sakit yang terletak di bagian belakang. Ia melakukan sebuah terapi yang berguna untuk mendekatkan diriku pada energi alam. Dokter Dimitri sangat paham bahwa aku amat menyukai alam – pepohonan, angin yang berembus, kicauan burung, sinar mentari pagi dan sore, pendar bulan purnama, dan lain sebagainya – dan alam selalu berhasil membuat detak jantungku lebih tenang, kemudian tangan dan lututku yang gemetar selalu reda bila aku berada di tengah-tengah alam yang damai.  

Dengan baju pasien bertuliskan “pasien nomor 7”, aku duduk di bangku kayu yang terletak di ujung selatan taman itu. Dokter Dimitri yang duduk di sampingku memberikan sebuah sugesti kepadaku sebagai berikut:

“Rodion, cobalah untuk fokus memperhatikan tiap desir angin yang menerpa dedaunan pohon pinus di sekelilingmu. Rasakan bahwa angin itu membawa keseimbangan pada pepohonan. Dan dedaunan yang gugur, biarlah gugur diterpa angin karena memang waktunya bagi mereka untuk tanggal dan turun ke bumi. Sama pula seperti hidupmu, Rodion…  Bila hembusan angin kehidupan datang padamu, kau tak dapat mencegah gugurnya bagian-bagian kecil dalam hidupmu. Ketakutan-ketakutan dan paranoidmu pun sebenanya hanyalah hal yang belum tentu pasti terjadi, Rodion. Sadarilah hal itu perlahan-lahan. Sebisamu saja.”

Pembaca yang arif, ketahuilah bahwa dokter Dimitri selalu berhasil memberikan sugesti positif ke dalam jiwaku yang robek parah ini. Ia bagaikan mampu menjahit setiap lubang yang ada pada jiwaku meskipun tiga hari kemudian, jiwaku kembali robek. Namun, ia tak pernah menyerah untuk berusaha menghentikan paranoid dan halusinasiku serta mengembalikan jiwaku seperti sedia kala.  

Lantas kuucap padanya “Dokter Dimitri, apakah kau tak lelah? Pasien sepertiku ini sudah tak mampu lagi kau sembuhkan, dok. Lebih baik tanganilah pasien lain yang masih berpeluang untuk sembuh. Jangan buang-buang waktu dan tenagamu bersama pasien seperti diriku ini.”

“Rodion, sudah kewajibanku untuk menolong orang-orang sepertimu. Dan bilamana penyakitmu ini sangat kecil kemungkinannya untuk sembuh, maka aku akan membuatmu mampu untuk hidup berdampingan dengan penyakit ini, Rodion. Janganlah menyerah! Tentu kau tak ingin hidup kedinginan di trotoar seperti mereka yang tak tertolong kan? Marilah bangkit bersamaku!”

Kata-katanya sangat menghantam hatiku. Bagaimana mungkin aku bisa menyerah secepat ini? Bukankah tujuanku dirawat di sini adalah untuk sembuh dan pulih? Lantas, aku pun sedikit menahan tangisku walaupun dr. Dimitri tetap saja mengetahuinya.

Pembaca yang mulia, begitulah kira-kita salah satu contoh terapi yang dilakukan rumah sakit jiwa itu padaku. Contoh terapi lainnya adalah ketika aku berada di ruangan khusus dan diberikan mainanmainan anak-anak. Aku bahkan tak tahu apa maksudnya. Namun kemudian, lama-kelamaan diriku mulai tertarik untuk memainkannya perlahan-lahan. Sementara itu, dokter Dimitri terus-menerus mengamatiku dari balik kaca ruangan khusus itu sambil mencatat tingkah lakuku. Ternyata, terapi tersebut dilakukan untuk mengetahui bagaimana caraku memainkan mainan-mainan tersebut. Setiap gerakan dan setiap suara yang kubuat, mencerminkan seberapa besar luka masa kecilku yang tertoreh di jiwaku. Dokter Dimitri berusaha mengukur parameter itu. Begitulah hari-hariku berjalan di suaka rumah sakit jiwa di kota Kiev, Ukraina tersebut.

Lalu pada hari Kamis, 28 November 1966 pukul 09 pagi waktu Kiev, dr. Dimitri yang biasanya melakukan terapi rutin padaku tiba-tiba saja menunda terapi dan para perawat mengatakan bahwa ia memiliki keperluan lain. Aku pun penasaran dan berusaha mencari tau keperluan apa yang sebenarnya dilakukan dr. Dimitri. Namun, statusku sebagai pasien menyebabkan diriku sangat terbatas dalam bergerak dan segala informasi yang kuminta dibatasi demi mengamankan diriku dari kemauanku yang terkadang impulsif dan berpotensi membahayakan diri sendiri dan orang lain.  

Tiga jam aku menunggu dokter Dimitri dengan melamun di taman yang sama saat aku diterapi olehnya. Kemudian ketika kulihat ke arah gerbang taman di belakangku, dokter Dimitri tampak sedang berbincang-bincang dengan gadis lumpuh yang duduk di kursi roda. Rambut indah hitamnya panjang sepinggang berkilau dan terurai. Kulitnya pucat pasi dan terlihat seputih salju Siberia yang turun di musim dingin di tengah Pegunungan Ural.  

Pembaca yang arif, ketahuilah bahwa saat pertama kali mataku melihat gadis itu, di dalam kepalaku terlintas banyak… ah, bukan banyak. Tapi amat meluap pikiran-pikiran yang menyeruak memenuhi kepala bobrokku ini. Dadaku nyeri dan jantungku pun hampir melesat karena detaknya terlalu kencang oleh karena pikiranku yang campur aduk. Beberapa di antara pikiran-pikiran itu, adalah misalnya: “cantik sekali ia”, “jika aku suka padanya, kira-kira apakah ia mau menerimaku?”, “ah, mana mungkin! Ia waras, sedangkan aku gila!”, “Tapi bukan berarti tidak mungkin. Aku saja mampu menerima kekuarangan dirinya.”, “Ah, lupakan Rodion! Kau tak pantas bersamanya!” dan pikiran-pikiran lain sebagainya.  

Dokter Dimitri pun berpamitan kepada gadis itu dan mengutus seorang perawat untuk mendorong kursi roda dan mengantarnya pulang. Kemudian ia pun menghampiriku. Seketika dengan napas megap-megap, langsung kutanyakan seribu pertanyaan kepada dr. Dimitri mengenai gadis itu.  

“Dokter… tadi itu siapa? Mengapa ia mengunjungi rumah sakit ini? Apakah ia pasien yang sudah sembuh dan boleh pulang? Tadi ia berbicara apa padamu? Kemana ia pergi? Kira-kira apakah ia akan kembali kesini?”

Ah… tadi itu salah satu keluarga pasien nomer 26. Ia ingin mengunjungi kerabatnya tersebut, namun masih belum bisa karena pasien no. 26 sedang dalam rehabilitasi ketat.  

“Siapa nama gadis itu, dok??!!” Mulut rucahku pun tak terkontrol dan langsung meludahkan pertanyaan itu seketika.

“Namanya, Yekatrina Miranda.” Sahut dokter Dimitri.  

“Wah, namanya indah sekali…” gumamku dengan nada lirih dan tatapan kosong melihat ke arah tanah.

“Kenapa? Kau suka padanya ya, Rodion?” Tanyanya padaku dengan nada sedikit mengejek. Tentulah dapat kalian bayangkan bagaimana reaksiku saat itu. Malunya diriku setengah mati. Jantungku kembali ingin melesat dari dadaku dan tubuhku serempak ingin ambruk ke tanah mendengar ucapan dr. Dimitri.

Sore itu, terapi pun diberikan dokter Dimitri padaku, namun aku sama sekali tak mampu menerima sugesti dan terapi kognitif dari dokter Dimitri. Seluruh hal yang terlintas di kepalaku hanyalah gadis itu… gadis itu… dan gadis itu sepanjang sore hingga malam hari.

Sepertinya, sepanjang malam pikiranku dipenuhi oleh bayangbayang gadis yang terduduk di kursi roda sambil menyibak rambut indahnya ke telinganya… Sambil tersenyum ramah kepada dr. Dimitri dengan kulit putih pucatnya yang anggun itu. Ya Tuhan, sungguh teramat mengagumkan ciptaanmu. Seorang anak hawa bernama Yekatrina Miranda. Hampir-hampir gejala psikotik menghampiri pikiranku malam itu. Namun sebelum tidur untungnya aku telah meminum pil zolpidem (obat pemicu kantuk). Namun ketahuilah, pembaca sekalian. Pikiran-pikiran indah tentang gadis itu begitu kuatnya sehingga dapat mengalahkan 12 miligram pil zolpidem yang telah kutelan. Demi semesta!!! Tersiksanya diriku malam itu!!

Pagi harinya, dokter Dimitri dan asistennya menyadari ada yang aneh pada diriku.  

“Rodion, pagi ini kau tak terlihat seperti dirimu yang biasanya. Kau banyak sekali melamun. Apakah gerangan, Rodion?” Tanyanya padaku. Aku bersumpah, demi semesta! Dalam kondisi sehari-hari saja pikiranku telah berat sekali dan membuatku tersiksa rasanya. Apalagi kini yang notabene aku sedang memikirkan suatu hal berat yang membuatku kontradiktif. Untuknya tak ada tali atau benda tajam atau berbahaya di sekelilingku. Jika tidak, mungkin pikiran tentang si gadis Yekatrina Miranda di kepalaku ini telah berubah menjadi gejala waham yang mengancam keselamatan nyawaku karena keinginanku untuk bunuh diri.  

Lalu, aku pun mengajak dr. Dimitri ke taman belakang rumah sakit seperti biasanya. Lalu ia memberikanku terapi. Namun kali ini aku tak ingin diterapi. Sebaliknya, aku ingin menumpahkan seluruh-penuh isi kepalaku kepadanya. Berharap dokter Dimitri dapat memberikan solusi dan menyetujuiku untuk bertemu dengan gadis itu.  

“Dokter… sebagai sesama lelaki, Anda pasti paham apa yang kurasakan. Kemarin pun sejatinya Anda juga sudah tahu kesanku pada gadis itu. Dokter Dimitri… saya minta tolong agar Anda dapat memperkenankanku untuk menemui Yekatrina Miranda. Diriku merasa bahwa kondisiku amatlah buruk dan semakin berat dadaku selama diriku masih belum dapat berkomunikasi dengannya. Gejolak afekku mempengaruhi pemikiranku terhadap diriku sendiri. Aku takut jika nantinya waham paranoidku akan semakin buruk jika aku tak bertemu dia.” Tuturku panjang-lebar pada dr. Dimitri.  

“Rodion… aku paham betul bagaimana kondisi jiwa dan ragamu. Baru saja ingin kubilang padaku bahwa terapi berikutnya adalah dengan mempertemukanmu dengan seseorang. Tadinya aku ingin mempertemukanmu             dengan         ibumu.          Namun          kini,    kau             telah

membuktikan bahwa kau memilih orang yang tepat untuk terapimu itu.”  

Dokter Dimitri pun menyetujui aku untuk menunaikan hajatku itu. Oh, pembaca yang budiman… kutanya pada kalian baik-baik. Apakah ada hal yang lebih nestapa di dunia ini dibanding cinta seorang pasien sakit jiwa? Cinta dari seorang yang bahkan sudah tak tahu cara mengurus dirinya sendiri.  

Keesokan harinya, tanggal 30 November 1966, dr. Dimitri menyuruhku untuk duduk di taman belakang rumah sakit seperti biasanya. Sama seperti rutinitas sebelum terapi harianku dimulai. Namun, kali ini berbeda. Tak kusangka seorang gadis bertubuh tak sempurna yang hanya sekilas kutemui kemarin lusa akan terlibat sejauh ini dalam hidupku. Pembaca yang mulia, kalian biasanya menyaksikan kisah cinta indah di antara dua insan tampan dan jelita bertubuh sempurna dan dengan akal yang sehat sentosa. Namun kali ini, apa yang kalian saksikan sungguh berbeda. Dua orang yang memiliki hambatan fisik dan batin bertemu demi menemukan apa yang dinamakan “kesembuhan”. Ah!! Tidak… tidak… Lebih tepatnya “kebangkitan”. Agar dua orang ini kemudian dapat bangkit dan menjalani ombak kejam kehidupan yang mengikis karang.  

Pagi itu aku menunggu kedatangan dr. Dimitri bersama gadis itu. Diam-diam sebelum pergi ke taman, aku telah menyiapkan sesuatu yang ingin kuberikan pada gadis itu. Mungkin bukan sesuatu yang istimewa, namun inilah yang kubisa.  

Angin berhembus menghempas dedaunan kering di antara cabang-cabang dahan pinus. Perlahan langkah kaki dr. Dimitri terdengar mendekat dari belakangku. Kutengok perlahan, sebuah kursi roda dengan seseorang yang kemarin kulihat sedang menuju kemari.

“Nona Miranda… perkenalkan. Ini Tuan Rodionovich Galileo, pasien kami yang membutuhkan bantuanmu untuk melakukan terapi wicara. Kini, izinkan saya undur diri sejenak untuk memberikan kalian ruang, karena terapi ini berbeda prosedurnya. Kali ini aku tak akan mengobservasi kalian. Kuserahkan ruang dan waktu selama 45 menit kedepan untuk kalian. Saya pamit.” Kemudian dokter Dimitri berdiri bersama asistennya di dekat gerbang taman yang jaraknya 50 meter dari kami. Kuberanikan diri untuk memulai percakapan.

“Maaf, nona. Bolehkah kupanggil kau dengan nama belakangmu saja?”

“Tentu boleh, tuan. Jadi… apa yang dapat kulakukan untukmu hari ini?”

“Nona Miranda… sebelumnya perkenalkan. Namaku Rodion. Usiaku 26 tahun. Dahulu aku belajar filsafat di Universitas Moskow. Dalam bidang ilmu yang kupelajari, ada yang dinamakan fenomenologi psikologis. Aku mengalami hal itu ketika pertama kali ku melihatmu. Maafkan kelancanganku nona, tapi izinkan kujelaskan padamu.”

“Silakan tuan… dengan senang hati akan kusimak.”

“Baiklah, nona. Tentu anda mengenal sastrawan besar dari Rusia, Fyodor Dostoyevsky. Dalam novelnya, ia pernah mengatakan bahwa :

Terkadang manusia tiba-tiba tertarik pada orang asing yang belum dikenalnya. Orang asing yang begitu sempurna, mencuri perhatian kita, bahkan sebelum sepatah kata pun terucap’.  

Lalu kulanjutkan ucapanku, “Nona Miranda, anda memberiku pengalaman fenomenologi psikologis itu. Izinkan saya mengenal anda, nona. Kuharap, kau sudi mengenal pasien dari klinik kejiwaan yang hina sepertiku ini.”  

“Tentu saja tuan, Rodion. Tidak masalah… Perkenalkan, nama saya Yekatrina Miranda. Usia saya 24 tahun. Saya berasal dari tanah genting Perekop, dekat semenanjung Krimea. Sebelah selatan Ukraina..”

Kujawab dirinya: “Nona Miranda… sejak saya melihat anda, saya menaruh simpati yang amat dalam pada diri anda. Bagi saya, anda terlalu sempurna untuk memberikan fenomenologi psikologis kepada saya.”

“Saya? Sempurna? Dengan kaki yang tak dapat bergerak bagai batu seperti ini? Tuan Rodion… Aku yakin jika anda telah pulih nanti, anda akan mendapatkan gadis yang lebih layak dariku, Tuan. Lupakanlah simpati itu. Aku bahkan tak dapat menjadi istri yang mampu melayani suaminya, tuan.”  

Lalu kujawab ia dengan jawabanku yang tajam dan tegas “Dan aku pun tak mampu menjadi suami yang cukup sehat untuk mengurus diriku sendiri. Kecuali dengan hadirnya kau, nona. Akhirnya maafkanlah diriku karena telah lancang menyampaikan hal sentimentil ini, bahkan saat pertama kali kita berbicara.”

“Tak masalah, tuan… kuharap diriku mampu membuatmu senang dengan perkenalan singkat ini. Oh, iya… sepupuku menderita Skizofrenia Katatonik. Sangat sulit baginya untuk pulih. Ia di rawat di ruang inap no. 26. Kuharap anda tak bernasip seperti sepupuku, Tuan Rodion…”  

Lalu kami pun berbincang panjang lebar. Saling berbagi cerita selama 45 menit kedepan. Waktu terasa begitu cepatnya. Begitu hari berakhir, dokter Dimitri segera mengakhiri pertemuanku dengan Miranda. Ia pun pulang. Awalnya kukira pertemuanku dengannya hanya sekali itu saja. Namun dengan tak disangka-sangka, nona Miranda kembali mengunjungiku dua kali seminggu, hingga seterusnya. Sungguh, kunjungannya padaku adalah terapi psikologis paling indah dan paling mujarab bagiku dalam meredakan gejala waham, psikotik, dan paranoidku.

Singkat cerita, delapan bulan lamanya hari-demi hari berjalan dengan kondisi yang sama semenjak itu. Hari demi hari kuhabiskan bersama nona Miranda hingga delapan bulan lamanya. Kemudian, pada bulan kedelapan, aku pun dinyatakan pulih 80 persen dari gejala Skizofrenia primerku. Selama aku bersama Miranda di Rumah Sakit Jiwa tersebut, kenangan-demi kenangan terukir. Cerita demi cerita kami bagikan satu sama lain. Dan benih renjana terukir dalam relung sanubari kami perlahan.

***

Kini, saat kutulis catatan ini, aku berada di rumah orang tuaku. Bersama dengan Mirandan dan para kerabat serta handai tolanku yang merencanakan pernikahanku dengannya bulan depan. Satu kalimat terakhir yang kudengar dari dokter Dimitri ketika aku meninggalkan rumah sakit bersama Miranda adalah:

Percayalah… jauh di luar sana, pasti ada jiwa yang memang telah ditadirkan untukmu. Yang mau menerimamu apa adanya. Beserta kemampuan jiwa dan ragamu yang berbeda.

***

 

 20 September 2024

 

*NB: Cerita pendek ini ditulis berdasarkan adaptasi dari pengalaman pribadi penulis yang merupakan penyandang Skizofrenia Paranoid dan PTSD.

 

 


Cerpen: Pertemuan Cerpen: Pertemuan Reviewed by Redaksi on Oktober 06, 2024 Rating: 5

2 komentar

  1. Keren sekali ceritanya😍

    BalasHapus
  2. Cerita yang sangat menyentuh dan syukurlah berakhir indah.

    BalasHapus