Nonton Film di Bioskop Situbondo

 


Kali pertama saya masuk ke gedung bioskop adalah saat menonton “Ratapan Anak Tiri.” Minggu siang, bapak mengajak saya dan kakak menontonnya di gedung bioskop Dahlia yang bangunannya hanya berjarak 10 meter dari bangunan masjid jamik yang berada di sisi barat alun-alun Situbondo. Kami duduk di kursi panjang yang terbuat dari rotan penuh tungau di barisan tengah agak mendekati layar.

Oleh: Rusdi Mathari

Itulah deretan kursi untuk penonton yang membeli karcis kelas II. Sekitar lima meter di depan deretan kursi kami ada pagar kayu yang membatasi kami dengan penonton kelas III yang terdiri dari deretan bangku panjang. Pagar yang sama yang berjarak 10 meter dari tempat kami duduk, membatasi kami dengan penonton kelas I.

Gedung Dahlia memang luas. Temboknya tinggi dengan atap yang terbuat dari seng tebal. Di tembok sisi kiri setiap kelas, ada pintu kayu lebar yang langsung menghadap ke masjid. Ventilasinya terlihat seperti akan menyentuh atap, yang siang itu ditutup dengan terpal panjang yang ditarik dari bawah, agar cahaya dari luar tidak masuk ke dalam gedung. Di dalam gedung, udara lantas seperti mampet bersama kepulan asap rokok dan keringat para penonton.

Saya dan kakak kemudian terisak, ketika film baru diputar sekitar 15 menit. Bukan karena punggung dan pantat kami digigit tungau atau udara panas, tapi karena kami hanyut oleh cerita film yang mengisahkan dua perempuan kakak-beradik yang ditinggal mati ibunya. Bapak mereka lalu kawin lagi dan ibu tirinya menyiksa mereka.

Saya menangis karena dalam khayalan saya dan mungkin juga khayalan kakak, tak mau ditinggal mati oleh ibu, lalu punya ibu tiri yang menelatarkan saya dan kakak. Sepulang nonton, ibu meyakinkan kami bahwa semua itu hanya cerita film.

Film yang dibintangi Faradilla Sandy, Tanty Yosepha dan Soekarno M. Noer [ayah Rano Karno], pada masa itu memang laris menguras air mata penonton. Kategorinya boleh ditonton untuk semua umur dan anak-anak seperti saya dan kakak tentu boleh menontonnya. Saking larisnya film itu, lagunya juga populer.



Saya kelas 1 SD dan lagu “Ratapan Anak Tiri”yang dinyanyikan penyanyi dangdut asal Surabaya Ida Laila banyak dihafal kawan-kawan di sekolah. “Betapa malang nasibku semenjak ditinggal ibu... Ibu tiri hanya cinta kepada ayahku saja...” Asal-usul istilah “kejamnya ibu tiri tidak sekejam Ibukota” bisa jadi juga gara-gara popularitas film “Ratapan Anak Tiri.”

Sekian bulan setelah itu, Dahlia digusur. Gedungnya dikosongkan dan dijadikan tempat latihan karate murid-murid dari Institut Karatedo Indonesia. Saya tidak tahu persis penyebab Dahlia ditutup, tapi kata bapak, letaknya yang terlalu berdekatan dengan masjid dianggap [bisa] mengganggu orang beribadah. Tanah yang ditempati gedung Dahlia, konon juga milik masjid.

Kelak, beberapa tahun setelah Dahlia ditutup, pemilik gedung bioskop mendapat izin menyewa Gedung Balai Rakyat di sisi timur Pasar Mimbaan untuk dijadikan gedung bioskop. Namanya Situbondo Theater, tapi sementara gedung bioskop itu dibangun, satu-satunya gedung bioskop yang tersisa hanya Nirwana, yang berdempetan dengan pintu masuk Pasar Mimbaan di sebelah utara.

Beberapa bulan setelah menonton “Ratapan Anak Tiri,” saya menonton “Mereka Kembali” di Nirwana. Kali itu tidak bersama bapak melainkan bersama pak lik dan beberapa sepupu. Film yang menceritakan pergerakan tentara Siliwangi dari dan ke Jawa Tengah di masa perang kemerdekaan itu, membuat kami tegang.

Lalu setiap kali ada adegan tentara Belanda tertembak atau pasukan Siliwangi lolos dari serbuan tentara Belanda, saya dan para sepupu bertepuk tangan. Penonton lain juga begitu, seolah tepukan tangan kami bisa memberi semangat pada orang-orang yang beradegan di film. Usai menonton, bersama sepupu, saya lalu bermain perang-perangan di pekarangan rumah menirukan adegan-adegan di film “Mereka Kembali.”

Hingga Situbondo Theater selesai dibangun, tak terhitung film yang saya tonton di Nirwana. Beberapa kali saya menonton film India yang dibintangi Hema Malini dan Dharmendra. Pernah juga menonton “Hely” yang dibintangi Chica Koeswoyo, “Ateng Kaya Mendadak” [Adi Bing Slamet], “Nakalnya Anak-Anak” [Ira Maya Sopha dan Dina Mariana], selain “Tarzan,” dan “Penasaran” [Rhoma Irama].

Beberapa film yang saya tonton, sebetulnya khusus untuk penonton berusia 17 tahun ke atas. Saya tahu hal itu karena setiap kali masuk ke gedung bioksop, saya memperhatikan tulisan “17 Tahun” berwarna merah digantung di atas pintu. Entah kenapa, saya diperbolehkan masuk ke dalam gedung dan menonton.

Mungkin karena beberapa petugas penyobek karcis adalah tetangga saya, dan mereka mengenali saya lalu tidak enak melarang saya masuk. Mungkin juga karena mereka tidak peduli.

Di Nirwana pula saya saya menonton ”Janur Kuning” menjelang lulus SD. Film itu diwajibkan oleh kepala sekolah untuk ditonton semua murid kelas 4 sampai kelas 6. Saya dan kawan-kawan berbaris dan berjalan kaki dari alun-alun di depan sekolah ke Nirwana yang berjarak sekitar 1 kilo dengan mengenakan seragam Pramuka.

Keharusan semacam itu berulang saat saya kelas 2 SMA: menonton film “Pengkhiatan G30S PKI.” Kami menontonnya di Situbondo Theatre yang sudah digunakan beberapa tahun sebelumnya.

Waktu itu Situbondo Theater dianggap lebih moderen dari Nirwana. Bila Nirwana membagi empat kelas penonton: balkon, kelas I, II dan III; Situbondo Theater hanya membagi dua: kelas I dan kelas II. Kursi penonton kelas I di Situbondo Theater juga bisa dilipat dan jumlahnya jauh lebih banyak ketimbang jumlah tempat duduk kelas II yang hanya berupa bangku taman berukuran panjang. Sementara di Nirwana, tempat duduk penonton kelas I tetap berupa kursi rotan.

Dua gedung bioskop yang letaknya berdekatan itu memang seperti bersaing. Orang-orang di Situbondo mengenali keduanya dari film-film yang diputar dan latar belakang pemiliknya.

Nirwana dimiliki orang Pakistan dan lebih sering memutar film-film India dan Indonesia. Adapun pemilik Situbondo adalah orang Cina dan banyak memutar film-film Hollywood dan Hong Kong, meskipun tak selalu begitu.

Saya menonton “Gita Cinta dari SMA” dan “Kejarlah Daku Kau Kutangkap” di Nirwana, tapi membeli karcis di Situbondo Theater untuk menonton “Kabut Sutra Ungu.” Film “Benhur,” “Bridge Too Far” dan “Samson and Delilah” saya tonton di Situbondo Theater, tapi saya menonton “Flashdance” di Nirwana.

Ciri paling khas dari keduanya adalah, Situbondo Theater selalu memutar film midnight show setiap malam Minggu dan memutar dua atau tiga film baru sekaligus setiap malam tahun baru, tapi tidak dengan Nirwana. Disebut midnight show karena filmnya memang diputar tepat tengah malam, jam 12 malam. Film-film yang diputar biasanya juga untuk penonton berusia 17 tahun ke atas.

Film midnight show pertama yang saya tonton adalah film “Cop or Hood” yang dibintangi Jean Paul Belmondo, tapi saya tidak pernah menonton pemutaran film di malam tahun baru karena harga karcisnya bisa menjadi dua atau tiga kali lipat dari hari-hari biasa.

Nirwana dan Situbondo Theater akan tetapi juga punya persamaan: memberi jatah menonton gratis untuk tentara/polisi dan keluarganya setiap Sabtu siang. Beberapa kali saya menonton film di dua gedung bioskop itu tanpa membayar alias gratis karena diajak teman-teman yang orang tua mereka kebetulan tentara. Kami menyebut karcis gratis itu “freepass.”

Bila berlibur ke rumah orang tua ibu, mbah kakung yang PNS di Kodim juga sering membawa saya dan beberapa sepupu menonton film gratis di gedung bioskop Guntur menggunakan freepass berwarna hijau. Film-film yang diputar biasanya adalah film kungfu yang pada era itu banyak dibintangi oleh Chan Hsi atau Lo Mang.

Saya memang menyukai menonton film. Sebelum menonton film di gedung bioskop, saya menonton film “Charlie Chaplin.” Film bisu itu diputar di halaman rumah oleh bapak pada suatu malam ketika saya baru kelas 1 SD, tahun 1974. Di pekarangan, orang-orang menyemut di depan dan di belakang layar yang terbuat dari kain blacu yang kedua sisinya terikat pada dua tiang bambu yang ditanam sejak sore oleh bapak di samping tembok rumah.

Saya menontonnya dari teras langgar yang terbuat dari kayu jati, sambil menemani bapak menunggui proyektor yang diletakkan di atas meja tamu yang diangkut dari rumah. Suara proyektor itu berderit mirip roda yang hendak lepas dari asnya, tapi kalah dengan tawa penonton yang sambung-menyambung karena menyaksikan ulah Charlie Chaplin.

Pengalaman menonton bioskop yang paling mengesankan adalah saat kali pertama saya menonton film seorang diri di gedung bioskop Mitra di Jalan Solo [Urip Sumoharjo] Yogyakarta. Filmnya “First Blood” [Sylvester Stallone] yang nanti terkenal dengan sekuel film “Rambo.” Saya kelas 3 SMP dan datang ke Yogya menumpang truk untuk mengunjungi pak lik yang kuliah di UGM dan ngekos di belakang SPBU yang beberapa tahun kemudian berubah menjadi Gedung Danamon. Gedung bioskop Mitra, juga sudah tidak ada.

Sejak keranjingan menonton film itu, saya menjadi hafal beberapa nama pemain film dan sutradara. Sjuman Djaya, Wim Umbo, Teguh Karya, Zhang Yimao, Sophia Loren, Christine Hakim, Charles Bronson, Sean Connery, Roy Marten, El Manik, Tuti Indra Malaon, dan Yenny Rachman adalah beberapa nama yang melekat di benak saya hingga sekarang.

Saya juga tidak lupa dengan nama-nama Wolly Sutinah, Ratmi B-29, Kusno Sudjarwadi, A. Hamid Arief, Benyamin S. dan Muni Cader. Wajah dan senyum Lucinda Dickey yang bermain di film “Breakin 2” dan Jennifer Beals [“Flashdance”] pun masih jelas saya ingat, selain wajah dan senyum Isabelle Rosselinni yang bermain di “Blue Velvet.”

Sewaktu berkuliah di Malang, saya sering menonton film gedung bioskop Mutiara yang tak jauh dari terminal bus lama di Jalan Patimura, dan bioskop misbar di Jalan Kelud. Tapi baru di Jakarta, saya merasakan menonton film di gedung-gedung ber-AC yang tidak membagi kelas penonton. Di masa-masa awal tinggal di Jakarta, hampir setiap pekan saya menonton film-film Hollywood di gedung-gedung bioskop yang banyak muncul di pusat-pusat belanja itu, tapi kemudian beralih menonton film-film yang diputar di pusat-pusat kebudayaan kedutaan besar beberapa negara, yang ternyata jauh lebih menarik.

Beberapa kali saya membeli DVD bajakan film-film dari Peru, Palestina, Prancis, Iran, Meksiko dan lain-lain, lalu menontonnya di rumah lewat pemutar DVD. Seorang kawan, wartawan di majalah “Tempo” telah memberitahu saya ciri film-film bagus yang dikemas di keping DVD. “Pokoknya lihat sampulnya. Kalau ada gambar padi dan kapas di ujung atas, itu pasti film bagus.”

Sampai sekarang saya masih menyukai menonton film. Bedanya, semenjak menikah saya selalu menontonnya bertiga dengan istri dan anak, yang sejak masih balita sudah saya ajak menonton bioskop. Kadang kami menonton di gedung bioskop yang ber-AC yang mahal itu, tapi akhir-akhir ini kami lebih sering menonton hanya melalui jaringan HBO atau Cinemax.

Bila berlibur ke Situbondo atau Bondowoso, sering muncul keinginan mengajak mereka menonton film di gedung bioskop, tapi gedung-gedung bioskop di kota kami sudah lama mati. Sudah tidak ada lagi. Hal yang sama mungkin juga terjadi di kota Anda. []

 

 

 

1. Disalin dari tulisan Rusdi Mathari

2. Arsip

Nonton Film di Bioskop Situbondo Nonton Film di Bioskop Situbondo Reviewed by Redaksi on Oktober 10, 2024 Rating: 5

Tidak ada komentar