Resensi: Anjing Mengeong, Kucing Menggonggong



Kenapa harus menjadi saleh?

Oleh: M. Kholilur Rohman

Novel besutan Eka Kurniawan itu menggiring pembaca untuk mengingat bagaimana kenakalan-kenakakan di masa kecil yang bisa ditertawakan kembali. Seperti main bola hingga menjelang petang, berburu jangkrik di sawah-sawah, atau kegilaaan apapun yang bisa tertawa dan bahagia. Ya, bukankah anak kecil masih terbebas dari dosa dan belenggu agama?

Sato Reang sebagai ingin menyuarakan kebebasan anak dari segala bentuk perintah dan kekangan orang tua. Apa setiap orang tua tidak sadar kalau anak memiliki dunianya sendiri? Sebelum kewajiban agama membebani setiap orang untuk beribadah. Menyembah Tuhan. Berperilaku baik pada orang lain. Dan lain sebagainya.

Mungkin para orang tua lupa bahwa anak memiliki dunianya sendiri. Bagi saya, di masa-masa Sato Reang, seorang anak akan berinteraksi dengan banyak hal di sekitarnya. Bermain apa saja. Termasuk dengan cara-cara nakal yang dicontohkan Sato Reang dalam novel "Anjing Mengeong, Kucing Menggonggong" anggitan Eka Kurniawan.

Di sisi lain, Novel terbitan Gramedia dengan ketebalan 135 itu menjadi pelajaran bagi orang atau kalangan tua untuk mengerti posisi dan psikologi anak. Bahwa tidak seharusnya mereka dikekang untuk melakukan kewajiban agama dengan dalih menjadi anak saleh. Memang, kebiasaan baik harus dimulai sejak usia dini. Tapi bukan berarti membatalkan dunia mereka: bermain.

Secara umum, Seto Reang menjadi sosok anak pemberani yang punya cara tersendiri untuk berontak. Melawan segala macam perintah dan kekangan yang menurutnya tidak berperi-kemanusiaan versi anak-anak. Seolah-olah Sato Reang ingin mengatakan bahwa dosa besar bagi orang tua yang merenggut kebebasan anak yang masih dalam fase bermain adalah prioritas utama.

Lebih jauh lagi, tak salah jika karakter Sato Reang membawa ingatan kita pada tokoh Holden Caulfield dalam novel fenomenal karangan J.D. Salinger, The Catcher in the Rye. Seorang bocah yang punya kegelisahan berlebih dan segudang masalah di masa transisi hidupnya menjadi remaja. Sebagai protagonis antihero, sikap keduanya pun nyaris sama persis: mereka suka mengeluh dan hobi mengumpat atas semua hal. Tolol! Anjing! Wewe gombel! Setan jembut! Termasuk kata-kata kasar lainnya.

Umpatan-umpatan tersebut adalah bentuk ekspresi yang diungkapkan secara total. Ya, lagi-lagi anak memiliki keistimewaan yang membuatnya dibebaskan dari ikatan sopan santun. Bahwa anak masih labil. Anak masih belum mengerti adab. Dan anak masih terbebas dari beragam jenis dosa.

Mungkin seharusnya, orang tua memiliki cara-cara kreatif untuk menjelaskan bagaiaman kepatuhan terhadap Tuhan harus dilaksanakan. Tentu, banyak pertanyaan yang berjelempah di pikiran seorang anak. Tentang mengapa laki-laki harus disunat. Mengapa orang islam harus salat lima waktu. Dan mengapa adat masyarakat memiliki kekuatan yang begitu luar biasa.

Dari keadaan di atas, tak heran jika seorang Sato Reang dalam Novel Anjing Mengeong, Kucing Menggonggong memilih jalur menjadi pribadi bebas yang tak mau taat. Bukan karena dia terkena kutukan atau godaan setan, tapi hanya karena belum mengerti kenapa banyak kebaikan harus ditegakkan. Perkara ini penting dipahami dan dihayati oleh para orang tua yang ingin memiliki anak saleh. Anak yang membanggakan negara dan agama.

Terakhir, jika orang tua sudah memiliki keterampilan menjelaskan kenapa sejak usia dini harus menjadi saleh, ditambah menjadi teladan yang baik, maka besar kemungkinan anak akan mudah diatur dan diarahkan. Tak seperti Sato Reang yang menentukan arah hidupnya sendiri. Termasuk membenci sosok Ayah yang sering membuatnya rishi dengan perintah salat lima waktu yang harus dilaksanakan setiap hari.

 

INFO BUKU

Judul: Anjing Mengeong, Kucing Menggonggong

Pengarang: Eka Kurniawan

Penerbit: Gramedia Pustaka Utama, 2024

ISBN: 9786020673851, 9786020673844

Halaman: 135 halaman

 

Tentang penulis

M. Kholilur Rohman – Penulis adalah pegiat literasi yang berasal dari Kota Sumenep. Tulisannya banyak dimuat di pelabagi media. Saat ini bermukim di Kota Malang dan menjadi Murabbi di Ma’had Sunan Ampel al-Aly (MSAA) UIN Malang. Instagram: kholil_rohmann

 

Resensi: Anjing Mengeong, Kucing Menggonggong Resensi: Anjing Mengeong, Kucing Menggonggong Reviewed by Redaksi on Oktober 08, 2024 Rating: 5

Tidak ada komentar