Krisis Pelanggaran HAM Terhadap Anak di Lingkungan Pendidikan
Oleh:
Nabila Septilani
Lingkungan pendidikan seharusnya menjadi tempat yang aman dan mendukung bagi anak-anak untuk belajar dan berkembang. Namun, kenyataan yang ada sering kali jauh dari harapan. Kasus pelecehan seksual di lingkungan pendidikan, baik di sekolah, pondok pesantren maupun panti asuhan, telah mencuat sebagai pelanggaran hak asasi manusia (HAM) yang serius. Krisis pelanggaran hak asasi manusia (HAM) terhadap anak di lingkungan pendidikan, termasuk kekerasan fisik, emosional, dan seksual, telah menjadi masalah yang serius dan mendesak untuk ditangani. Hal ini tidak hanya mengancam kesejahteraan anak-anak, tetapi juga menghambat masa depan mereka.
Pendidikan
adalah hak dasar setiap anak, yang dilindungi oleh berbagai konvensi
internasional, termasuk Konvensi Hak Anak. Anak memiliki hak
konstitusi untuk mendapat
perlindungan dari kekerasan seksual yang termuat dalam Undang Undang Dasar
Negara Republik Indonesia tahun 1945 pasal 28 B ayat (2) yang berbunyi
"Setiap anak berhak atas kelangsungan
hidup, tumbuh dan berkembang serta berhak atas perlindungan
dari kekerasan dan diskriminasi". Namun,
banyak anak yang seharusnya mendapatkan pendidikan dengan aman malah mengalami pelanggaran
HAM. Kasus-kasus yang muncul di media menunjukkan bahwa pelanggaran ini tidak
hanya terjadi di luar lingkungan pendidikan, tetapi juga seringkali dilakukan
oleh pihak yang seharusnya menjadi pelindung, seperti guru atau pengasuh.
Dalam
banyak kasus, kekuasaan dan kepercayaan yang diberikan kepada mereka digunakan untuk
menutupi tindakan-tindakan tercela, sehingga pelanggaran seksual dapat berlangsung
terus-menerus tanpa adanya intervensi. Minimnya pendidikan tentang hak-hak korban
juga menjadi faktor yang signifikan. Kesadaran tentang hak-hak anak dan perlindungan
terhadap pelecehan seksual masih rendah dibanyak komunitas, sehingga korban tidak
tahu bagaimana melaporkan pelecehan atau mencari bantuan. Kurangnya edukasi ini
membuat korban merasa takut atau malu untuk berbicara, sehingga pelecehan seringkali
tidak terungkap dan pelaku tidak dihukum.
Terdapat
beberapa hal yang menarik topik ini untuk dibahas. Pertama, sekolah dan lembaga
pendidikan seharusnya menjadi tempat aman bagi anak-anak. Namun, ketika lembaga
ini gagal melindungi mereka, itu menciptakan masalah yang perlu diatasi. Tentu
perlu adanya upaya atau langkah-langkah pencegahan dan solusi yang dapat
diterapkan, baik di tingkat individu, keluarga, maupun pemerintah. Kedua, Pelanggaran
HAM seperti kekerasan atau pelecehan seksual, dapat memiliki dampak psikologis
dan emosional yang mendalam dan berkepanjangan. Mengkaji isu ini dapat membantu
memahami bagaimana trauma dapat memengaruhi masa depan anak, termasuk pendidikan
dan hubungan sosial mereka. Ketiga, kebanyakan korban tidak memiliki keberanian
untuk melaporkan apa yang terjadi. Rasa malu dan ketidakpercayaan terhadap orang
lain sering kali menjadi penghalang bagi mereka untuk berbicara. Oleh karena
itu, perlu adanya upaya untuk menyuarakan dan memperjuangkan hak mereka.
Salah
satu bentuk pelanggaran HAM yang paling mencolok di lingkungan pendidikan
adalah kekerasan dan pelecehan seksual. Banyak media yang memberitakan tentang
kekerasan seksual yang terjadi di sekolah-sekolah, dan baru-baru ini terdapat
kasus pelecehan seksual di Panti Asuhan yang di mana anak-anak menjadi korban
dari orang dewasa yang mereka percayai. Namun tindak pidana pelecehan
seksual tidak pandang bulu, korban pelecehan dapat menimpa siapa saja seperti
laki-laki, berjenis kelamin
yang sama lawan
jenis dari pelaku
pelecehan dan korban pelecehan bukan
hanya mahasiswi namun
juga bisa anak
yang dibawah umur
seperti jenjang SMA, SMP, SD bahkan TK (Audina
& Tianingrum, 2019). Situasi
ini menciptakan ketidakpercayaan yang mendalam terhadap sistem pendidikan. Banyak
anak merasa terjebak dalam situasi yang tidak aman, dan kebanyakan dari mereka
tidak memiliki keberanian untuk melaporkan apa yang terjadi. Anak-anak yang
menjadi korban sering kali merasa terisolasi dan tidak berdaya. Rasa malu,
takut akan stigma, dan ketidakpercayaan terhadap otoritas sering kali menjadi
penghalang bagi mereka untuk berbicara. Situasi ini semakin diperparah oleh
kurangnya sistem pelaporan yang efektif dan dukungan bagi korban.
Dampak
dari pelanggaran ini sangat serius. Anak-anak yang menjadi korban kekerasan
sering mengalami gangguan psikologis, seperti depresi, kecemasan, dan gangguan
stres pascatrauma (PTSD). Hal ini dapat mengganggu proses belajar mereka dan
menghambat potensi mereka di masa depan. Selain itu, mereka mungkin juga
menghadapi kesulitan dalam menjalin hubungan sosial yang sehat. Dengan kata
lain, pelanggaran HAM di lingkungan pendidikan tidak hanya merusak individu,
tetapi juga merusak masa depan masyarakat secara keseluruhan. Oleh karena itu,
masyarakat harus bergerak untuk menciptakan lingkungan yang lebih aman bagi
anak-anak. Hal ini termasuk memperkuat mekanisme pelaporan dan dukungan bagi korban.
Sekolah dan panti asuhan perlu memiliki kebijakan yang jelas dan tegas terhadap
kekerasan seksual. Pendidikan tentang hak asasi manusia dan pencegahan
kekerasan harus menjadi bagian dari kurikulum, sehingga anak-anak dilatih untuk
mengenali dan melaporkan tindakan yang tidak pantas.
Peran
orang tua juga sangat penting dalam pencegahan pelanggaran HAM terhadap anak.
Orang tua harus terlibat dalam pendidikan anak-anak mereka dan membangun
komunikasi yang terbuka. Anak-anak yang merasa didengar dan dihargai akan lebih
cenderung untuk berbagi pengalaman mereka, termasuk jika mereka menghadapi
situasi berbahaya atau merasa tidak nyaman. Hal ini juga dapat menjadikan
anak-anak lebih merasa aman untuk melaporkan masalah yang mereka hadapi. Di
tingkat pemerintah, tindakan tegas perlu diambil untuk melindungi anak-anak
dari krisis pelanggaran HAM. Penegakan hukum harus dilakukan secara konsisten
terhadap pelaku kekerasan di lingkungan pendidikan. Sanksi yang berat harus
diterapkan untuk memberikan efek jera dan mencegah kejadian serupa. Selain itu,
pemerintah harus mengalokasikan sumber daya untuk program-program pencegahan
dan dukungan bagi korban. Kesadaran masyarakat tentang isu ini sangat penting.
Diskusi terbuka tentang kekerasan seksual di lingkungan pendidikan harus
didorong, tanpa stigma yang melekat pada korban. Masyarakat perlu memahami
bahwa anak-anak tidak seharusnya menjadi korban, dan mereka berhak mendapatkan
perlindungan yang layak.
Dalam
mengakhiri pelanggaran HAM dan kasus pelecehan seksual di lingkungan pendidikan
terdapat banyak cara yang dapat dilakukan. Sudah saatnya bertindak untuk
melindungi anak-anak dalam krisis pelanggaran HAM. Dengan kesadaran, pendidikan,
dan kebijakan yang tepat dapat menciptakan lingkungan pendidikan yang aman dan
mendukung bagi semua anak. Keberanian untuk berbicara dan mengambil tindakan
adalah langkah awal dalam memulihkan suara yang terhilang dan memastikan bahwa
setiap anak dapat belajar dan tumbuh tanpa rasa takut.
Referensi
Audina, Y., &
Tianingrum, N. A. (2019). Hubungan antara Pengetahuan Seksualitas dengan
Pelecehan Seksual pada Siswa Sekolah di Wilayah Puskesmas Harapan Baru Kota.
Samarinda. Universitas Muhammadiyah Kalimantan Timur, Samarinda, Indonesia,
217–224.
Tidak ada komentar