Analisis Puisi Nikmati Hidup
kulturalindonesia |
Oleh: Iis Dahlia
Pada 28 Juni 1933 terbitlah sebuah majalah yang dinamakan Pujangga Baru. Majalah tersebut didirikan oleh Sutan Takdir Alisjahbana (STA). Tujuan didirikannya adalah untuk menumbuhkan kesusastraan baru yang sesuai dengan semangat zamannya untuk mempersatukan para sastrawan dalam satu wadah, karena sebelumnya boleh dikatakan cerai-berai dengan menulis di berbagai majalah. Berdirinya majalah Pujangga Baru merupakan bukti kebutuhan masyarakat pada zaman itu akan suatu media publikasi yang menampung dan membahas tentang sastra dan kebudayaan untuk dimodernkan.
Faktanya,
angkatan Pujangga Baru lebih fokus pada perubahan sosial melalui sastra, namun
kurang berhasil mengubah bentuk sastra itu sendiri menjadi lebih modern. Chairil
Anwar-lah yang kemudian membawa perubahan signifikan dalam bentuk dan gaya
penulisan puisi Indonesia dengan gaya modernnya.
Mengapa
gerakan pujangga baru di anggap gagal memodernisasi seni-sastra? Salah satu
alasannya adalah karya sastra pada masa itu lebih difungsikan sebagai alat
untuk menyebarkan ide-ide modernisasi masyarakat, bukan untuk mengembangkan
sastra sebagai sebuah bentuk seni. Padahal pendiri majalah pujangga baru
sendiri pernah menyatakan bahwa sastra harus menjadi wadah untuk mengungkapkan
kebenaran dan semangat kebangsaan—modernisasi.
Ideologi
Pujangga Baru tentu tidak lepas dari pemikiran Sutan Takdir Alisjahbana yang
dari awal mengusung Pujangga Baru berkaca pada Barat. Sutan Takdir Alisjahbana
adalah seorang sastrawan intelektual, dan pemikir terkemuka di Indonesia yang
lahir di Natal, Sumatra Utara, Hindia Belanda. Pada 11 Februari 1908. Sutan
Takdir Alisjahbana memulai pendidikan pertamanya di Hollandsch inlandsche (HIS)
di bengkulu tahun 1921. Setelah lulus dari HIS, Sutan Takdir Alisjahbana lanjut
ke Kweekschool di bukit tinggi-Lahat Muara Enim, kemudian, ia melanjutkannya ke
jenjang lebih tinggi di Hogere Kweekschool (HKS) di Bandung tahun 1928. Selain
itu, ia juga berhasil meraih gelar Meester (MR) dari sekolah hakim tinggi di Jakarta
pada tahun 1942.
Maka
dari itu, dalam Apresiasi
ini saya akan memfokuskan pada karya Sutan Takdir Alisjahbana yang katanya ia
sebagai pencetus ideologi modernitas. Namun, apakah benar, bahwa dalam karyanya
ia benar-benar melakukan pembaruan dalam karyanya? Di sini saya meragukan itu,
maka, Di sini saya
akan menganalisis puisi Sutan Takdir Alisjahbana dari buku Tebaran Mega (1935),
saya menganalisis puisi ini menggunakan pendekatan studi proses kreatif.
Wellek dan Warren (1988:81) membagi psikologi sastra menjadi empat bagian, pertama, psikologi pengarang, kedua, studi proses kreatif, ketiga, studi tipe dan hukum-hukum psikologi, dan yang keempat, psikologi pembaca.
NIKMAT
HIDUP
Api
menyala di dalam kalbu,
Ganas
membakar tiada bergerak
Hangus
badan rasa seluruh,
Kepala
penuh bersabung sinar.
Malam
mata tiada terpicing,
Gelisah
duduk sepanjang hari
Rasa
dicambuk rasa didera,
Jiwa
‘embara tiada sentosa.
Ya
Allah, ya tuhanku!
Biarlah
api nyala dikalbu,
Biarlah
badan hangus tertunu.
Api
jangan Engkau padamkan,
Mata
jangan engkau picakan,
Jiwa
jangan Engkau lelapkan.
14
April 1935.
Pada
bait pertama, /Api menyala di dalam kalbu/ Ganas membakar tiada bergerak /
mungkin api yang di maksud aku-lirik
pada umumnya api memancarkan cahaya dan bersifat panas. Namun, sebanarnya api
di sini merujuk bahwa semangat yang membara dalam kalbu. Di larik ke dua, api
membakar tiada ragu. Mengartikan aku-lirik di sini lelah memaksimalkan
usaha. Namun, di sisi lain, api itu yang memberikan cahaya semangat.
/ Hangus badan rasa seluruh,/ kepala penuh bersabung sinar./ di larik ketiga dan ke empat ini aku-lirik seluruh tubuhnya terbakar karena api, Namun, di sisi lain, api itulah yang menjadi sumber semangat aku-lirik.
/
Malam mata tiada terpicing,/ Pada bait kedua di waktu gelap dan sunyi ia enggan
terlelap. Sebab, aku-lirik
di sini hatinya gelisah tak menentu jiwanya enggan untuk merasa damai.
/
Ya Allah, Ya Tuhanku!/ Biarlah api nyala
di kalbu,/ / Biarlah badan hangus tertunu./
Isi
dalam bait ketiga, yaitu aku-lirik meminta dan memohon kepada Tuhan agar
semangatnya tak pernah padam Walaupun lelah tak terhingga. walau “badannya
hangus tertunu” mengartikan aku-lirik memasrahkan dirinya kepada Tuhan, entah
apapun yang akan terjadi terhadap dirinya.
/
Mata jangan Engkau picakan/ Jiwa jangan Engkau lelapkan/ Pada bait ke empat aku-lirik
ia meminta agar penglihatannya selalu sempurna akan kebaikan. Di larik
terakhir, sekali lagi aku-lirik meminta, agar jiwanya tak mati
akan kebaikan. Aku-lirik ingin beristirahat sejenak untuk memulihkan kembali
semangat dalam dirinya.
Secara
keseluruhan, puisi ini tidak menujukkan adanya modernitas di dalamnya. Hal itu
sangat bertolak belakang dengan ideologi yang digaungkan oleh Sutan Takdir
Alisjahbana. Modernitas, memiliki makna tersirat berkaca ke barat. Yang
artinya, tidak lagi melibatkan Tuhan. Visi modernitas sendiri adalah memusatkan
pada manusia sebagai Axis mundi. Jadi, jika ditilik dari puisinya, STA dapat
dikatakan gagal membawa misi modernitas ke dalam karya kreatif.
Sangat menarik untuk dibaca.
BalasHapussgt bgs
BalasHapusbaguss, mudah di pahami
BalasHapus