Cerpen: Perjalanan Panjang Mencari Sebuah Angka
freepik |
Oleh: Puji M. Arfi
“Tuhan menyayangi keluarga kita, Bujang. Ia memberi kita makan lewat sebuah angka.” Begitu kata ayah setelah memenangkan angka yang ditebaknya dengan penuh perhitungan.
Pada
hari itu pula, ayah membelikan segalanya untukku, anak semata wayangnya. Aku
dibawa ke pasar untuk membeli es krim, mobil remot kontrol, sepatu, dan pakaian
baru. Kebahagiaan menyelimuti keluargaku, seolah Tuhan memberkati perjuangan
panjang ayah untuk menemukan sebuah angka. Dalam waktu semalam saja, keluargaku
menjadi orang paling kaya di Desa Hilir setelah Wak Suman Sawit.
Mendengar
kemenangan besar ayah, ibu segera memberikan rentetan barang yang ia inginkan,
mulai dari baju, kerudung, sepatu, dan sebuah tas paling mahal yang ia tahu.
Hari itu pula, ibu langsung mendapatkan barang yang ia mau. Bahkan tas mahal
itu, hanya ada dua di Desa Hilir ini, satu milik ibu dan satunya milik istri
Wak Suman Sawit. Ibu menganggap Tuhan sedang mengasihi keluarga kami, rezeki
pada hari itu seperti air yang mengalir deras dari sebuah gunung besar dan
berhilir di dompet kusam ayahku.
Dua
hari berselang, ibu memakai semua barang barunya ke acara sunatan anak Wak
Suman Sawit yang bernama Abon Sawit. Tentu saja ibu menenteng tas itu dengan
perasaan bangga. Aku melihat lirikan istri Wak Suman Sawit seperti menyimpan
amarah. Penyebabnya tentu saja karena ia bukan lagi satu-satunya orang yang
memiliki tas mahal itu di Desa Hilir ini.
Abon
Sawit adalah teman sekelasku, ia anak paling beruntung yang pernah dilahirkan
di desa kami, sebab semua sepatu merek terbaru ia dapatkan dengan mudah. Hal
itu tentu saja karena ayahnya orang kaya, seorang toke sawit yang memiliki
tanah berhektar-hektar di Desa Hilir. Aku kadang iri padanya, karena semua
barang yang sulit aku dapatkan, ia beli dengan mudah.
Walaupun
ia orang kaya, Abon Sawit adalah temanku yang paling setia. Kesetiaannya
terbukti ketika aku tidak mengerjakan PR pelajaran Matematika, ia ikut dihukum
bersamaku dan disuruh hormat menghadap bendera merah putih pukul 11 siang
sampai pelajaran terkutuk itu selesai. Kemudian Abon Sawit baru mengaku kalau
dia sudah mengerjakan PR-nya, namun alasannya tidak memberikan tugas itu pada
Bu Sundari adalah karena ia tidak suka pelajaran Matematika.
“Di
rumah aku selalu disuruh belajar menghitung, karena suatu saat ayah mau aku
menjadi penerus usaha sawit-sawitnya. Belajar menghitung itu wajib untukku,
sebagaimana juga sembahyang lima waktu di surau.” Ucap Abon Sawit.
Wak
Suman Sawit adalah orang yang taat beragama, lima kali sehari tak pernah ia
lewatkan untuk pergi ke surau yang ia bangun tepat di seberang rumahnya. Ia
juga sering duduk di depan surau itu bersama Tengku Basro. Aku pun akhirnya
mengerti kenapa kekayaan Wak Suman Sawit tak ada habisnya. Harta-hartanya itu
mungkin murni dari kasih sayang Tuhan. Ketaatan inilah yang coba ia tularkan
kepada anaknya.
Pernah
suatu kali ia menjemput Abon Sawit ketika kami sedang menerbangkan layangan di
tanah lapang dekat rumahku. Alasannya hanya satu, yaitu sembahyang. Dan Abon
Sawit akan pulang mengikuti langkah ayahnya dari belakang seperti anak itik
mengikuti induknya pulang ke kandang.
Abon
Sawit pernah bilang padaku, kata ayahnya, “Sembahyang itu tak bisa
ditunda-tunda, apa pun kesibukannya.”
***
Keluarga
Abon Sawit tentu berbanding terbalik dengan keluargaku. Berbeda dengan Wak
Suman Sawit yang taat pada agama, ayahku justru sering duduk di kedai Rojak
Togel sambil meminum kopi dan menyulut rokok. Kata ayah, rokok dan kopi adalah
perpaduan yang sempurna saat pikiran sedang bergelut dengan angka-angka.
Rojak
Togel, sebagaimana julukannya, ia membuat kedai kopi itu hanya untuk
menyalurkan hobinya sebagai seorang pecinta angka, syukur-syukur ia menemukan
orang-orang yang sehobi dengannya. Dan terbukti, tidak sedikit orang yang
menghabiskan waktu di kedai Rojak Togel dengan kepala yang dipenuhi angka-angka
dan fatamorgana, salah satunya adalah ayahku.
Setiap
hari penghuni kedai Rojak Togel akan mencari angka cantik lewat kode yang
dikirimkan Tuhan dalam bentuk kejadian-kejadian. Beberapa kejadian akan
ditafsirkan menjadi angka, untuk kemudian dilakukan hitung-hitungan guna
mendapatkan angka yang cantik dan dipasang demi meraup keuntungan.
Segala
macam akan dilakukan untuk mendapatkan angka-angka tersebut, mulai dari
bertanya pada orang gila di pasar, mengunjungi makam-makam keramat, hingga
berharap terjadi sebuah musibah di jalan. Jika terjadi sebuah kecelakaan, para
pecinta angka ini akan langsung mencatat plat nomor kendaraan dan langsung
melakukan hitung-hitungan.
Pernah
sekali waktu ayah mendapat kabar dari ibu bahwa terjadi sebuah kecelakaan di
Pasar Paken, hal pertama yang ditanyakan ayah adalah berapa plat nomor
kendaraannya.
“Aku
tak ingat, siapa pula yang peduli dengan angka sialan itu. Barangkali masih ada
motornya di pasar, kau lihat sajalah sendiri.” Jawab ibu ketus.
Tanpa
berlama-lama, ayah langsung mengayuh sepeda ontel bututnya ke arah pasar, tentu
untuk memastikan motor itu masih ada di tempat kejadian atau tidak. Segala
macam akan dilakukan oleh pecinta angka untuk mendapatkan nomor yang cantik.
Bahkan
aku pernah mendengar cerita dari temanku yang bernama Pendra Tungau—julukan itu
ia dapatkan karena kebiasaan memancingnya di tepi sungai dan selalu membawa
pulang tungau yang menempel di kemaluannya, lalu binatang itu membuat ia tak
bisa kencing berhari-hari. Katanya, demi mendapatkan angka keberuntungan, pada
suatu sore Rojak Togel pernah melakukan semacam ritual pemujaan di sebuah
batang pohon keramat dekat sungai dengan beberapa sajian. Rojak Togel membawa
nasi kuning lengkap dengan ayam bakar dan tempe bacem. Pendra Tungau yang saat
itu sedang memancing di sungai mengintai dari balik-balik semak. Setelah Rojak
Togel menyalakan dupa dan berdoa, ia pergi meninggalkan sajen itu dan berharap
mendapatkan wangsit entah melalui kejadian apa.
Temanku
mendatangi pohon keramat itu lalu menyantap nasi kuning dengan penuh
kegirangan. Aku memuji keberaniannya. Lalu ia menjelaskan bawah ia tak pernah
takut pada demit, ia hanya takut pada tungau.
“Binatang
laknat itu bisa membuat kemaluanku tidak berfungsi sebagaimana mestinya.” kata
Pendra Tungau pada waktu itu.
Suatu
kali aku juga pernah mendengar ayah bertanya pada seorang dukun di kampung
kami, namanya Nek Gadong. Kesaktiannya sangat terkenal di Desa Hilir, tidak ada
yang mampu menandingi ilmunya. Jika ada rumah yang kena maling, ia akan
memberikan semacam penerawangan apakah barang yang hilang itu akan bisa
ditemukan kembali atau tidak. Bahkan ia juga memberikan ciri-ciri si pencuri
lewat penerawangannya yang luar biasa itu. Lewat sebuah mantra dan semburan air
doa, entah bagaimana hampir semua ucapannya bisa menjadi kenyataan. Karena
kesaktian Nek Gadong inilah, ayah menemuinya dan mendapatkan sebuah angka.
Saat ayah pulang dari rumah dukun itu, aku
mengambil sebuah kertas dari saku jaket ayah dan menemukan sebuah angka, 782.
Setelah menyantap gulai ikan mujair yang ayah dapatkan dari hasil mancing tadi
pagi, ia langsung mengambil jaket di ruang tamu dan pergi menuju kedai Rojak
Togel.
Keesokan
paginya aku mendengar ayah menggerutu tentang dukun sakti itu. “Dua ratus ribu
melayang begitu saja demi mendapatkan angka tolol dari dukun biadab itu.”
Kepercayaan ayah pada Nek Gadong sebagai dukun yang paling sakti di Desa Hilir
akhirnya lenyap seketika. Lagian aku juga bingung pada ayah, jika memang benar
dukun itu sakti, ia pasti akan memasang angka sendiri dan jadi kaya raya
melebihi Wak Suman Sawit.
Pada
pagi itu pula ayah masuk ke kamarku dan menanyakan tentang mimpi apa yang aku
alami tadi malam. Seketika mataku langsung mengarah ke celana yang sudah basah
akibat mimpi aneh yang menimpaku. Mata ayah terus melihatku seakan menodong
ingin mendapatkan jawaban saat melihat celana basah di bagian kemaluanku. Lalu
aku kembali melihat mata ayah tanpa menjawab sepatah kata pun. Ayah tersenyum
dan keluar kamar lalu mengambil sebuah kertas dan langsung melakukan
hitung-hitungan untuk mendapatkan angka. Setelah itu, ia beranjak dari ruang
tamu lalu pergi ke kedai Rojak Togel.
Keesokan
harinya, kabar kemenangan ayah sudah tersiar di Desa Hilir. Banyak yang memuji
keluarga kami atas kemenangan ayah. Tanpa aku sadari, saudara yang awalnya jauh
tiba-tiba menjadi saudara paling dekat. Mereka tidak tahu, bahwa ayah
memenangkan sebuah angka bertuah itu dari hasil menafsirkan mimpiku yang
memalukan. Aku langsung paham bahwa mimpi juga bisa jadi kode alam yang membawa
keberuntungan dan ditafsir menjadi angka-angka yang berpotensi mendapatkan
kemenangan.
***
Tepat
setelah sebulan Abon Sawit disunat, pada suatu subuh, terdengar kabar kematian
dari surau bahwa Wak Suman Sawit telah meninggal dunia. Dikabarkan ia jatuh di
kamar mandi saat ingin mengambil air wudu dan menghadiri sembahyang subuh di
surau bersama anaknya. Aku mengerti betapa terpukulnya temanku saat kehilangan
ayahnya.
Pagi
itu, aku bersama ayah langsung ke rumah Wak Suman Sawit dan aku melihat Abon
Sawit menangis di pelukan ibunya. Sebelum jenazah Wak Suman Sawit
disembahyangkan, Tengku Basro yang merupakan pemuka agama di desa kami
memberikan sedikit tausiah:
“Orang
baik akan cepat diambil, sedangkan orang yang terkontaminasi limbah duniawi
akan dibiarkan hidup, diberikan kesempatan oleh Tuhan untuk mengubah catatan
buruk menjadi baik di buku malaikat Munkar-Nakir.”
Seketika
mataku tertuju pada ayah dan ayah ternyata juga menatapku.
Yogyakarta,
2024
Tentang Penulis
Puji
M. Arfi. Seorang
mahasiswa akhir S2 Jurusan Sejarah Peradaban Islam, UIN Sunan Kalijaga
Yogyakarta. Buku terbarunya berjudul Negeri Keabadian (Takanta,
2024). Buku lainnya adalah sebuah novel Dilema
Penjara Suci; Sebuah Catatan Harian Santri Bodoh (Farha Pustaka, 2019) dan kumpulan
cerpen Perahu Pinggiran Kota (Pena Borneo, 2019). Pernah menulis
berbagai jenis tulisan di Times.id dan JurnalAceh.com.
Tidak ada komentar