Gus Miftah dan Dakwah yang Merendahkan: Sebuah Kritik dari Perspektif Teologi Antroposentris
Oleh: Fadhel Fikri
Dakwah,
sebuah kata yang begitu sering kita dengar, namun terkadang maknanya terasa
begitu jauh dari realitas. Bukankah seharusnya dakwah menjadi oase penyejuk,
menyampaikan ajaran agama dengan kelembutan dan kebijaksanaan?
Namun,
menyaksikan fenomena Gus Miftah, saya merasa ada yang tersendat dalam pemahaman
kita tentang dakwah. Candaannya yang kerap kali merendahkan martabat individu,
seperti kasus pedagang es teh yang baru-baru ini viral, membuat saya
bertanya-tanya, benarkah ini cara yang tepat dalam menyampaikan pesan-pesan
agama?
Tentu
saja, humor memiliki tempatnya dalam dakwah. Rasulullah SAW sendiri dikenal
sebagai pribadi yang humoris. Namun, humor yang baik adalah humor yang
mencerahkan, bukan humor yang menyakiti. Humor yang membangun, bukan humor yang
meruntuhkan.
Saya
melihat candaan Gus Miftah, dalam kasus ini, justru cenderung menghina dan
merendahkan, sebuah tindakan yang jelas bertentangan dengan prinsip-prinsip
dakwah yang humanis. Ia seolah lupa bahwa inti dari dakwah adalah mengajak
manusia menuju kebaikan dengan cara yang santun dan penuh kasih sayang, bukan
dengan cara-cara yang justru menjauhkan manusia dari agama.
Lantas,
bagaimana seharusnya kita memahami dakwah dalam konteks masyarakat modern yang
penuh dengan kompleksitas? Untuk menganalisis fenomena ini lebih lanjut, saya
tertarik untuk menggunakan kacamata teologi
antroposentris Hasan Hanafi.
Sebuah perspektif yang menempatkan manusia sebagai subjek, bukan objek pasif dalam kehendak Tuhan. Mungkin dengan memahami pemikiran Hanafi, kita dapat menemukan jawaban atas pertanyaan mendasar: bagaimana seharusnya dakwah dilakukan dengan menjunjung tinggi martabat manusia?
Teologi
Antroposentris Hasan Hanafi: Manusia Sebagai Subjek
Hasan
Hanafi, seorang cendekiawan Muslim yang brilian, menawarkan sebuah perspektif
teologi yang menyegarkan. Teologi antroposentris, begitulah ia menyebutnya.
Dalam pandangannya, manusia bukanlah makhluk yang lemah dan tak berdaya,
melainkan subjek yang memiliki agensi dan berperan aktif dalam menentukan
nasibnya. Manusia adalah khalifah di muka bumi, yang diberi amanah untuk
memakmurkan dan menjaganya.
Saya
selalu tertarik dengan gagasan human agency yang ditegaskan Hanafi.
Manusia, menurutnya, memiliki kemampuan untuk bertindak dan membuat pilihan
secara mandiri. Ia bukanlah boneka yang digerakkan oleh tangan tak kasat mata,
melainkan aktor yang memiliki kehendak bebas.
Dan
kebebasan itu menuntut tanggung jawab. Tanggung jawab untuk menghormati
martabat sesama manusia, terlepas dari latar belakang sosial dan ekonominya.
Bukankah dalam Al-Quran sendiri ditegaskan bahwa
"Dan
sungguh telah Kami muliakan anak-anak Adam, Kami angkut mereka di daratan dan
di lautan, Kami beri mereka rezeki dari yang baik-baik dan Kami lebihkan mereka
dengan kelebihan yang sempurna atas kebanyakan makhluk yang telah Kami
ciptakan." (QS. Al-Israa: 70)
Teologi
antroposentris juga mengajarkan kita untuk tidak berpuas diri dengan sekadar
memberikan bantuan material kepada yang membutuhkan. Kita juga harus berusaha
memberdayakan mereka, memberikan mereka akses terhadap pendidikan dan
kesempatan untuk mengembangkan potensi diri.
Seperti
kata pepatah, "Jangan hanya memberi ikan, tetapi ajarkanlah cara
memancing." Dalam konteks dakwah, ini berarti kita harus berusaha
menyentuh akar permasalahan sosial, bukan hanya mengobati gejalanya.
Gus
Miftah dan "Dakwah yang Lupa pada Kemanusiaan": Analisis Kritis
Kembali
ke kasus Gus Miftah. Jika kita melihat candaannya melalui lensa teologi
antroposentris, maka akan terlihat jelas bahwa tindakannya telah merampas hak
sang pedagang es teh untuk diperlakukan dengan hormat. Gus Miftah, dengan
segala kepopulerannya, seolah-olah berada di atas angin.
Ia
lupa bahwa di hadapan Tuhan, kita semua sama. Tidak ada yang lebih tinggi atau
lebih rendah. Kekuasaan dan popularitas bukanlah lisensi untuk merendahkan
orang lain.
Saya
berpendapat bahwa tindakan Gus Miftah ini tidak hanya merugikan sang pedagang,
tetapi juga merugikan citra dakwah Islam itu sendiri. Dakwah yang seharusnya
menjadi sarana untuk menyebarkan kedamaian dan cinta kasih, justru tercoreng
oleh tindakan yang tidak bermartabat. Bagaimana mungkin kita mengajak orang
lain untuk memeluk agama yang rahmatan lil 'alamin, jika cara kita berdakwah
justru menimbulkan luka dan perpecahan?
Fenomena
ini mengingatkan saya pada konsep symbolic violence yang dikemukakan
oleh Pierre Bourdieu. Kekerasan simbolik adalah bentuk kekerasan yang
terselubung, yang dilakukan melalui simbol-simbol dan struktur sosial.
Dalam
kasus ini, Gus Miftah, dengan kekuasaannya sebagai seorang pendakwah terkenal,
secara tidak langsung melakukan kekerasan terhadap pedagang es teh yang berada
pada posisi sosial yang lebih rendah. Ia menggunakan humor sebagai senjata
untuk menegaskan dominasi dan menunjukkan keunggulannya.
Dakwah
yang Memanusiakan Manusia: Meneladani Hasan Hanafi
Lalu,
bagaimana seharusnya dakwah dilakukan? Hasan Hanafi, melalui teologi
antroposentrisnya, telah memberikan kita sebuah pedoman. Dakwah yang
memanusiakan manusia adalah dakwah yang menjunjung tinggi nilai-nilai
kemanusiaan, menghormati martabat setiap individu, dan menebarkan rasa cinta
kasih. Ia adalah dakwah yang inklusif, mengakui keragaman, dan menghargai
perbedaan.
Saya
sering merenungkan figur-figur inspiratif seperti Gus Mus, seorang ulama yang
dikenal dengan kearifan dan kerendahan hatinya. Dakwah Gus Mus tidak hanya
menyentuh akal, tetapi juga menyentuh hati. Ia adalah contoh nyata bagaimana
dakwah dapat menjadi sarana untuk mempersatukan dan menginspirasi.
Gus
Mus menunjukkan kepada kita bahwa dakwah yang efektif bukanlah dakwah yang
menghakimi dan menghujat, melainkan dakwah yang menyapa, merangkul, dan
memberdayakan.
Para
pendakwah, menurut saya, perlu mempelajari pemikiran Hasan Hanafi. Teologi
antroposentris menawarkan sebuah perspektif yang lebih relevan dengan tantangan
zaman modern. Dakwah tidak boleh terjebak dalam ritualisme dan
formalisme.
Ia
harus mampu memberikan solusi bagi permasalahan-permasalahan konkret yang
dihadapi umat manusia. Dakwah harus mampu menjawab pertanyaan-pertanyaan
eksistensial manusia modern, seperti kesenjangan sosial, krisis lingkungan, dan
konflik ideologi.
Dakwah
yang Humanis dan Bermartabat
Dakwah
bukanlah sekadar menyampaikan ayat-ayat suci atau hadis-hadis Nabi. Ia adalah
sebuah proses transformasi sosial yang bertujuan untuk mewujudkan keadilan,
kesetaraan, dan kemanusiaan.
Dakwah
yang baik adalah dakwah yang mampu menyentuh hati dan menggerakkan manusia
untuk berbuat kebaikan. Ia adalah dakwah yang membebaskan, bukan dakwah yang
membelenggu.
Kasus
Gus Miftah seharusnya menjadi momentum bagi kita untuk berefleksi. Sudahkah
dakwah kita sejalan dengan nilai-nilai kemanusiaan? Sudahkah kita menghormati
martabat setiap individu, terlepas dari latar belakang sosial dan ekonominya?
Sudahkah kita berdakwah dengan cara yang bijaksana dan
menyejukkan?
Marilah
kita bersama-sama berusaha mewujudkan dakwah yang lebih humanis dan
bermartabat. Dakwah yang menyejukkan, mencerahkan, dan memanusiakan. Dakwah
yang menghormati martabat manusia sebagai ciptaan Tuhan yang paling mulia.
Referensi
Hanafi,
Hasan. Islamologi 3: Dari Teosentrime ke Antroposentrisme, Yogyakarta:
Lkis, 2004.
Bourdieu,
Pierre. Outline of a Theory of Practice. Cambridge: Cambridge University
Press, 1977.
Tentang Penulis
Fadhel Fikri. Co-Founder di Sophia Insitute dan pegian filsafat dan Sains. Dan
pembisnis di Sabda Literasi Palu
Tidak ada komentar