Resensi: Lord of the Flies

 


Kegelapan yang Tersembunyi di Hati Manusia

Oleh: Edo Arnanda

Misteri hati manusia tiada seorang pun yang tahu. Bahkan dengan moral yang telah ternilai baik bagi sebagian manusia, dapatkah kita menilai isi hatinya?  Apakah semua manusia tercipta dengan moral baik? Atau malah sebaliknya?

Betapa abstraknya hati manusia inilah yang membuat berbondong-bondongnya kajian yang tertuju kepada moralitas. Begitu juga yang dilakukan oleh William Golding dalam novelnya yang berjudul Lord of the Flies. Novel ini merupakan karya tulis pertama yang ia ciptakan, namun keberadaanya sangat mengguncangkan dunia. Hal ini yang membuat Penerbit Bentang Pustaka mengalihbahasakan menjadi bahasa Indonesia agar masyarakat dapat menikmati karyanya yang sangat fenomenal. Balutan sastra dalam kisah moralitas yang sangat eksentrik, menunjukkan bahwa ia piawai dalam merangkai prosa yang panjang dan kompleks. Alhasil, ia memperoleh penghargaan nobel dalam bidang sastra pada tahun 1983.

Lord of the Flies dalam Bahasa Indonesia memiliki arti penguasa lalat. Pemberian judul ini tidak semata abstrak tanpa memiliki makna yang mendalam, namun William Golding menggambarkan penguasa lalat sebagai simbol tentang kebiadaban moralitas yang ada pada hati manusia. Hal ini sama dengan yang dilakukan oleh Goerge Orwell dalam novelnya yang berjudul Animal Farm. Ia menggambarkan kebiadaban moral seorang penguasa dengan karakter babi. “Para hewan di luar melihat dari babi ke manusia, dan dari manusia ke babi, kemudian dari babi ke manusia lagi. Mereka sudah tidak bisa membedakan yang mana babi dan yang mana manusia.” (Animal Farm, hal.120)

Di tengah berkecamuknya perang dunia, usaha penyelamatan anak-anak dilakukan, naasnya pesawat yang mereka tumpangi jatuh di pulau tak berpenghuni beserta wafatnya sang pilot. Tidak ada sama sekali tanda kehidupan, yang terlihat hanyalah hamparan hutan yang sangat luas beserta mencekamnya suasana pulau itu. Ralph dan piggy namanya, merekalah sang inisiator pemanggilan seluruh anak yang terdampar agar saling berhimpun dan membuat koloni masyarakat.

Ralph terpilih sebagai ketua di antara mereka. Alasan Ralph terpilih sangatlah gampang, Ralph terlihat cerdas, berpenampilan menarik dan yang paling utama adalah karena dia yang meniup kerang saat memanggil seluruh anak-anak yang terdampar. Jack tidak menerima aklamasi tersebut, ia bersikeras ingin menjadi ketua karena merasa dirinya yang paling pantas bukan Ralph. Usaha Jack sia-sia, Ralph tetaplah terpilih karena mengantongi suara terbanyak. “Anak yang membawa kerang itu, biarkan dia yang jadi pemimpin dengan terompetnya.” (hal.25)

Api merupakan buah pikiran dari sang pemimpin agar dapat selamat dari terdamparnya mereka di pulau taka berpenghuni. Tugaspun ia bagi bahwa ada yang menjaga api dan ada yang berburu babi di hutan. Ia berharap bahwa kelak pesawat ataupun kapal yang lewat dapat melihat asap dari api yang mereka produksi. Hal tersebut nihil dan tidak menghasilkan apapun, namun Ralph selalu yakin pasti suatu saat akan datangnya penyelamat mereka. Hari semakin berlalu dan tidak ada satupun kapal maupun pesawat lewat. Sikap pesimis menyerbu hati mereka, konflik pun lama-kelamaan membesar antara pihak yang selalu ingin api dengan asap yang menyala dan pemburu yang ingin hidup nyaman di pulau dengan daging babinya.

Perpecahan pun dimulai, terbit dari keegoisan saling tidak menerima pendapat. Jack membuat koloninya sendiri tanpa menyatu dengan Ralph yang ia anggap tidak bisa melakukan apa-apa. “Aku akan pergi sendirian, dia bisa menangkap babi sendiri. Siapapun yang mau berburu ikut bersamaku” (hal 190). Ralph pun masih berteguh hati bahwa api adalah harapan mereka, namun pengikutnya lebih sedikit dan lama kelamaan hilang mengikuti Jack yang memiliki babi. Namun, Jack memanglah biadab lebih dari hewan. Piggy meninggal dibunuh olehnya karena tak sependapat, ia dilempar batu hingga terkapar dan meninggal. “Kepalanya terbelah, isinya keluar dan berubah merah. Lengan dan kakinya mengejang sesaat, seperti seekor babi yang baru saja disembelih. Lalu, air laut Kembali mendesah dengan suaranya yang panjang dan pelan, airnya berbuih putih dan merah muda di permukaan batu, dan saat airnya mengalir pergi, Kembali terisap, tubuh Piggy telah lenyap.” (hal.275) Ralph kabur, dan kebiadaban Jack semakin membabi buta dengan bernyanyi dengan nyanyian sukunya yang terdengar mengerikan dan aneh. “Bunuh makhluknya! Potong lehernya! Tumpahkan darahnya!” (hal.283) Lantas apakah yang akan terjadi pada Ralph selanjutnya?

William Golding sangatlah piawai memainkan diksi! penggambaran latar dan situasi yang sangat detail membuat pembaca berimajinasi dengan sangat liarnya. “Ralph berkelit kesamping di atas tubuh yang menggeliat-geliat dan merasakan napas yang panas di pipinya.” (hal.252) Penggambar suasana yang mencekam benar-benar membuat pembaca merasakan apa yang terjadi dalam novel tersebut. Kalimat yang digunakan pun sangat efektif dan tidak membingungkan pembaca dalam memahaminya. Simbolisme yang kuat juga menjadi keunggulan dari novel ini, seperti kepala babi yang menggambarkan kebrutalan dan kejahatan dalam diri manusia, cangkang keong melambangkan hukum, tatanan, dan kekuasaan yang sah. Ketika keong dihancurkan, itu menandakan berakhirnya keteraturan dan runtuhnya peradaban di pulau itu. “Kerang yang dipegangnya hancur berkeping-keping menjadi beribu serpihan putih dan kemudian berangsur lenyap.” (hal.274)

Karakterisasi yang sangatlah kuat juga membuat novel ini menjadi menarik untuk dibaca. Penokohan Ralph, Piggy, Jack, dan yang lainnya mewakili beberapa aspek dalam kompleksnya sifat dan psikologi manusia. Meskipun penggambaran situasi sangatlah apik, Stereotip gender dan representasi anak-anak merupakan kelemahan yang mendasar pada novel ini. Mengapa di novel hanya bergenderkan laki-laki? Apakah tidak ada anak perempuan pada masa perang dunia? Mengapa anak-anaknya berpikiran seperti orang dewasa? Apakah anak-anak sudah pandai membunuh?  “Kepalanya terbelah, isinya keluar dan berubah merah. Lengan dan kakinya mengejang sesaat, seperti seekor babi yang baru saja disembelih. Lalu, air laut Kembali mendesah dengan suaranya yang panjang dan pelan, airnya berbuih putih dan merah muda di permukaan batu, dan saat airnya mengalir pergi, Kembali terisap, tubuh Piggy telah lenyap.” (hal.275) Pertanyaan-pertanyaan inilah yang muncul dari pembaca tentang novel ini. Namun, hal ini semua benar-benar tertutup oleh kepiawaian William Golding dalam menyusun cerita yang teramat seru, mencekam, lagi mendidik moralitas.

Substansi yang teramat mewah dari novel Lord of the Flies ini adalah kepentingan bersama jauh lebih baik daripada kegelapan yang tersembunyi pada hati manusia, mungkin dapat kita sebut egois. Menerima dan mendengarkan pendapat orang lain tidaklah buruk. Tidakkah lebih mulia berunding dan bermusyawarah dalam mencapai suatu kesepakatan urusan daripada mengurusnya sendiri? Novel ini sangatlah mendidik moralitas, dengan menegaskan tentang memanusiakan apa yang disebut manusia. Sepatah kata untuk William Golding, luar biasa!

 

Info Buku

Judul Buku  : Lord of the Flies

Pengarang   : William Golding

Penerbit        : Bentang Pustaka

Cetakan        : Februari 2022

Tebal              : 312 Halaman

ISBN               : 978-602-291-877-6

Harga             : Rp. 75.650,00

 

Tentang Penulis

Edo Arnanda. Ia seorang mahasiswa semester 3 Program Studi Tadris Bahasa Indonesia Fakultas Adab dan Bahasa Universitas Islam Negeri Raden Mas Said Surakarta. Lahir di Lampung pada tanggal 18 Agustus 2003. Ia memiliki minat besar dalam dunia literasi, apapun genrenya. Penulis sangatlah tertarik dalam literasi dengan berpacu dalam gaya kebahasaan dan sering menulis berbagai macam puisi. Telfon: 085174118083 Email: edoarnanda180803@gmail.com

Resensi: Lord of the Flies Resensi: Lord of the Flies Reviewed by Redaksi on Desember 08, 2024 Rating: 5

Tidak ada komentar