Senandung Kasih dari Ibu
Oleh: Supriyadi
Kasih
sayang ibu kepada anak tak dapat diukur. Ikhtiarnya dalam membesarkan anak tak
akan bisa dibalas. Tak heran jika para musisi menjadikan laku hidup ibu sebagai
sumber inspirasi dalam menggubah lagu. Koes Bersaudara dengan “Untuk Ibu”, Iwan
Fals dengan “Ibu”, Mochtar Embut dengan “Kasih Ibu”, hingga Melly Goeslaw dengan
“Bunda” adalah beberapa ikhtibarnya.
Lagu-lagu itu adalah katarsis dari perspektif seorang anak dalam mengungkap sosok ibu. Kasih sayang, pengorbanan, hingga penderitaan seorang ibu dapat dibaca melalui lirik-lirik yang digurat oleh si anak. Ada baiknya, kita juga perlu membaca katarsis dari perspektif ibu dalam mengungkap kasih kepada anak-anaknya.
Kasih
Sejati
Kasih
seorang ibu kepada anak tak akan bisa dieja dengan aksara. Akan tetapi, ibu
tetap seorang manusia. Ia ingin memonumenkan kasihnya melalui kata-kata
bernada. Itu tentu tak seberapa dibanding laku hidupnya. Tetapi, melalui
lagu-lagu itu, kita dapat membaca tak terhingganya kasih ibu kepada anaknya.
Diawali
oleh Ikke Nurjana dengan lagu bertajuk “Anakku” yang dirilis tahun 2011. Ada
penggalan lirik yang maknanya sangat dalam, “bila dirimu mencari cinta kasih sayang sejati // di hatiku pasti engkau
dapati”. Lirik serupa juga termuat dalam lagu bertajuk “Anakku” anggitan
Dewi Gita tahun 2021. Lihat saja, “di
sini, di tempat hatiku // kan slalu ada ruang untuk obati sayapmu pabila patah
// di sini, di tempat rengkuhku // kan slalu terbuka bila kau butuh rangkulku,
sayangku!”.
Lirik
itu mengartikan tentang kasih sayang ibu yang sejati. Ibu akan selalu ada kala
sang anak membutuhkannya. Ia akan menampung segala keluh. Tak hanya itu, ia
akan menyirnakan keluh itu dengan segala upayanya. Sentuhan, pelukan, nasihat,
materi, bahkan tubuhnya akan diberi tanpa pamrih sedikitpun. Semata-mata agar
sang anak dapat tetap terbang menggapai keinginannya.
Ibu
adalah tujuan akhir. Tatkala tak ada seorangpun yang peduli, ibu adalah muara
untuk menggapai kepedulian itu. Ibu tak akan memperkarakan keadaan anak.
Sekalipun si anak dalam pilihan hidup yang salah atau menyimpang, ibu akan
tetap menerima semuanya. Ia tidak akan meninggalkan anaknya berjalan sendirian.
Teriring musik yang sendu, Ikke dan Dewi menyampaikan pesan menyayat itu
melalui penggalan liriknya.
Sepanjang
Masa
Mocthar
Embut telah menyampaikan, “Kasih ibu
kepada beta // tak terhingga sepanjang masa “. Kasih ibu memang selalu
langgeng. Ia tidak akan pudar meski terhalang oleh ruang dan waktu. Astrid
melalui lagunya bertajuk “Lagu untuk Anakku” (2013) juga menyampaikan nilai
yang sama. Lihat saja penggalan liriknya, “dan
bila jalanmu akan tak selalu indah // ku kan tiupkan doa untukmu // ... //
simpanlah dalam hatimu // ku kan selalu ada untukmu”.
Astrid
menyuruh anaknya untuk mengingat bahwa dia akan selalu ada untuknya. Ketika
tubuh tak lagi saling menyentuh, maka doalah yang dapat dijumpa. Doa itu
bersemayam di dalam hati sang anak. Ia terus ada di sana dan tak akan pernah
lekang oleh apapun.
Vina
Panduwinata melalui lagunya bertajuk “Anakku” yang dirilis tahun 2002 lebih
menyayat lagi. Terma “selamanya” dalam lirik “doaku selalu bersamamu // membuat aman di hidupmu // selamanya” terasa
begitu magis. Terma selamanya itu diucapkan dengan lantang. Seolah-olah, Vina
ingin menekankan bahwa doanya akan terus berpijar dan tak pernah padam.
Ada
kata kunci dalam dua penggalan lirik itu, yakni doa. Ibu juga manusia. Ia akan
dijemput ajal kala waktunya tiba. Tetapi tidak dengan kasihnya. Kasih itu tidak
akan pernah gugur. Ia akan terus hidup dan menemani sang anak dalam menitih
kehidupan. Ibu dan kasihnya melampaui ruang dan waktu. Ia abadi.
Akhirnya,
kita dituntun untuk berimajinasi melalui lirik Astrid dan Vina. Kala ibu sudah
tiada, ia akan terus mungujubkan doa dari alam baka. Ia mengangkat tangan
kanan, meletakkan di bawah dagu, kemudian meniupkannya ke dunia. Sembari
tersenyum, ia mengatakan, “Anakku, doaku selalu bersamamu selamanya!”. Doa itu
lantas menjelma semangat untuk tidak pantang mengarungi hidup.
Menyimpan
Derita
Ibu
adalah pembohong paling hebat. Ia mampu menyimpan rasa lapar demi anaknya tetap
makan. Ia rela menanggung perih agar anaknya tak merintih. Paduan suara Dialita
menyampaikan kebohongan itu melalui lagunya bertajuk “Lagu untuk Anakku”. Lihat
saja liriknya, “duka derita kubawa setia
// cinta dan cita lahirlah semua // menyinari hari mendatang, sayangku! //
jadilah putra harapan bangsamu!”.
Bagian
derita adalah bagian ibu. Bagian bahagia adalah bagian anak. Demikian makna
lirik itu. Ibu tidak akan mengumbar deritanya kepada anak. Ia akan menyimpannya
serapat mungkin. Pengorbanan itu semata-mata ditujukan agar anak hanya
merasakan cinta kasih dari ibu. Berbekal cinta, si anak dapat tumbuh dan
menggapai cita-citanya. Akhirnya, sang anak menjadi lebih sejahtera dibanding
ibunya.
Lagu
ini dicipta oleh Heryani dan Mayor Djuwito pada tahun 1965. Mereka ditahan
karena disinyalir mempunyai hubungan dengan PKI. Di dalam penjara, Heryani dan
Djuwito cemas terhadap kondisi anak-anak yang tiba-tiba kehilangan orang tua.
Akhirnya, mereka menganggit lagu ini sebagai katarsisnya.
Kisah
di balik lagu itu menerangkan bahwa orang tua—khususnya ibu akan tetap
mengasihi anaknya. Kendati keadaannya menderita di dalam penjara, tetapi lirik
yang diguratkan tetap berupa harapan dan doa. Benar kata Iwan Fals, “ribuan kilo jalan yang kau tempuh // lewati
rintangan untuk aku anakmu // ibuku sayang, masih terus berjalan // walau tapak
kaki penuh darah penuh nanah”.
Pengorbanan
ibu terlalu banyak. Kendati menderita, ibu tetap mengalirkan kasihnya kepada
anak. Seperti lirik lagu Andien bertajuk “Anakku sayang” (2020), “kehadiranmu membuatku bahagia // membuatku
percaya menghadapi dunia”. Bagi seorang ibu, anak adalah pelitanya. Anak
adalah penunjuk arah dalam lautan hidup. Duka, lara, dan derita tak akan terasa
jika itu demi anaknya.
Hari
ibu tak selalu tentang perayaan, namun juga tentang perenungan. Saya rasa, kita
perlu membaca kasih yang ibu berikan melalui lagu-lagu yang sudah ada. Sama
halnya, kita perlu mendengarkan curahan hati dari ibu. Mungkin saja, ibu masih
sering kita abaikan. Kita terlalu banyak memberinya penderitaan. Hingga kita
lupa, bahwa ibu juga manusia yang perlu didengar. Selamat hari ibu!
Tentang Penulis
Supriyadi,
etnomusikolog.
Tidak ada komentar