"Karpet Merah" Rakyat Situbondo
Oleh Melqy Mochamad*
Orang
menggelar karpet merah untuk dua maksud: menjebak dan menghormat. Keduanya
memiliki riwayat panjang. Hal ini ternyata ditolak Bupati terpilIh Kabupaten
Situbondo Rio Prayogo dan Ulfi untuk memakai perayaan pada pelantikan dengan
“ngimbuh” karpet merah.
Desakan pribadi pasangan Rio-Ulfi seolah sentimentil namun populis
yakni “agar tidak memisahkan rakyat dan pemerintahnya”. Seolah berbau menolak
pemisahan kelas sosial, namun bukankah karpet merah inilah, panggung legitimasi
yang tidak semua publik Situbondo bisa mendapatkannya secara cuma-cuma,
sekalipun bisa membuat perayaan sama persisnya?
Karpet merah di bawah langkah pembesar membuat legitimasi dan
jarak sosial memang semakin jauh. Seumpama pemerintah dan yang diperintah
menjadi dua corak warna yang selalu ada, suka tidak suka harus terima.
Perayaan dengan karpet merah se-tua lipatan perebutan kekuasaan.
Literatur Yunani yang ditulis pada 458 Sebelum Masehi berkisah tentang
Agamemnon. Raja Argos itu baru kembali dari Perang Trojan. Sebagai panglima
perang, ia membunuh kepala pasukan lawan, juga 15 prajurit Trojan.
Clytemnestra, permaisuri, menggelar karpet merah, dari tempat kereta kuda raja
berhenti sampai gerbang istana.
Alkisah, Raja ternyata menolak. "Hanya Dewa yang layak
mendapat penghormatan sebesar itu." Firasatnya menangkap konspirasi jahat.
Melalui karpet merah, Raja diarahkan memasuki oikos. Di bangunan utama itu,
ketika Raja berada di bak mandi, pembantaian keji dirancang: jubah mandi
dijaringkan untuk menutup muka, dan tiga tongkat pelekus dipakai untuk
menggebuki kepala raja yang meronta-ronta sampai benar-benar lunglai.
Ihwal menyejarah, Karpet merah bukan hanya tentang jebakan, tapi
juga penghormatan. Untuk pertama kali, pada 1821, Presiden Amerika Serikat
James Monroe mendapat penghormatan berupa hamparan karpet merah dalam sebuah
kunjungan. Pada 1902, The New York Central Railroad membentangkan karpet merah
untuk penumpang kereta api 20th Century Limited.
Lalu apa yang dipisahkan karpet merah antara rakyat dan
pemimpinnya? Bukankah masyarakat yang tidak sempat dihibur oleh pemimpin
sebelumnya terkadang butuh selebrasi semu semacam ini? Inilah mengapa desakan
perayaan pelantikan bukan saja kemauan pribadi raja atau pemimpin, melainkan
juga dari rakyat dengan tujuan mendapatkan jeda dari “repotnya hidup” kelas
sosial rendah.
Babat Aristokrasi
Gambaran karpet merah lekat dengan aristokrasi budaya politik.
Pernyataan Rio Prayogo seolah menyisipkan pesan mendalam tentang apa yang
tergambar dalam benaknya tentang makna ruang hidup Kabupaten Situbondo. Negasi
pesan Rio sama dengan pernyataan terbuka untuk berbeda dengan praktik
aristokrasi budaya politik sebelumnya.
Jika benar dasar menolak karpet merah demikian, itu artinya
Rio-Ulfi punya jalan berat. Residu budaya “kawula” dalam tatanan politik
pemerintahan sebelumnya di Kabupaten Situbondo bisa jadi hambatan yang luar
biasa.
Sebagai peringatan khusus bahwa munculnya elite bukan sebatas “kun
fayakun”. Mereka mendapat restu dan dikehendaki tanpa dikontrol. Bukan benar
jika kaum elite sengaja menciptakan kesempatan yang lebih bersifat memburu
keuntungan pribadi dan koleganya daripada memikirkan kepentingan rakyat. Orang
seperti ini hanya menjalani kehidupannya secara monologis. Pola berelasi
sosial, politik, dan keagamaan di desain tanpa memikirkan penderitaan atau
kesulitan orang lain.
Tanpa karpet merah Rio-Ulfi bisa memangkas jarak sosial citra atas
dan bawah yang umumnya melekat pada seorang bupati dan wakil bupati.
Aristokrasi membuat Hidup manusia semakin tidak acuh pada sesama. Mereka hanya
berorientasi pada diri. Manusia makin jauh dari sifat altruis, yang mengarahkan
hidup demi orang lain.
Situbondo Baru
Situbondo yang historis itu harus berada pada pemimpin dan
kepemimpinan yang tepat. Rio-Ulfi memulai dengan elegan dengan mengurai elitisme.
Pemimpin itu khitahnya mesti berjangkar pada kekuatan moralitas (Immanuel
Kant). Cermat memberikan ruang bagi tumbuhnya demokrasi deliberatif dengan
mengembangkan argumentasi diskursif rakyatnya (Habermas). Memiliki kemampuan
untuk mempengaruhi dan membujuk orang lain (incuding) (Edwin A Locke).
Rio-Ulfi kini milik Situbondo secara utuh, mereka berdua punya
pengetahuan mendalam, dapat menangkap yang terungkap di permukaan sekaligus
punya kemampuan menyimak yang ada di dalam, pengetahuan esensial dan yang
eksidental dapat diterka (Plato).
Memang Boleh “saja” berasal dari kaum aristokrat yang keluar
sebagai manusia pilihan dan tercerahkan di tengah masyarakatnya (Aristoteles).
Namun jangan sampai memiliki kecerdikan selincah kancil dan kalau bisa, dapat
‘mengelabui’ dengan sempurna tatapan manusia biasa, berperangai seganas
serigala (Machiavelli). Sehingga akhirnya rakyat Situbondo melihat Rio-Ulfi
bisa menyatu dengan pengalaman dialektis dan keringat massa (Marx).
Di negeri ini, sudah banyak ditemukan model manusia-manusia macam
(Machiavelli). Mereka hanya sibuk memburu kepentingan duniawi dan mengejar
ambisi. Langkah-langkahnya selalu dihitung berdasarkan uang. Perilaku mereka
jauh dari mementingkan rakyat. Jalan kriminal pun terkadang ditempuh demi
memperoleh keuntungan sebesar-besarnya. Anggaran negara mereka keruk
sebanyak-banyaknya untuk memenuhi pundi-pundi.
"Tak disebut beriman di antara kalian, sehingga mencintai
saudaranya (rakyatnya) sebagaimana mencintai diri sendiri," demikian
penegasan Nabi Muhammad SAW. Dia mengajak para pemanggul amanat rakyat agar
selalu membantu kesulitan rakyat. Jadi, tindakan para wakil rakyat seharusnya
meringankan beban masyarakat, bukan sebaliknya justru memperberat.
Mencintai tak dibatasi sekat sosial, kultural, agama, struktural,
primordial, partai, dan sebagainya. Jika saja semua elite mencintai rakyat,
maka tak banyak korupsi. Seperti tagline Rio-Ulfi “ta’ ngico’ah, ta’ congocoah
(tak mau mencuri, tak mau menipu”). Masih ingat tragedi bancakan anggaran di
Kabupaten Situbondo lalu dengan melibatkan BupatinYa?
Tangan-tangan mereka harus digunakan untuk mengubah kehidupan
rakyat jelata ke taraf yang lebih baik atau lebih sejahtera. Mereka yang hanya
mementingkan diri sulit diharapkan untuk membebaskan penderitaan rakyat. Jiwa
mereka harus bersih agar peka dan mampu mensejahterakan rakyat. Kini, Kabupaten
Situbondo harus punya cerita lain di tangan duet Bupati muda Rio-Ulfi!
*Penulis :
(Penikmat Masalah Sosial)
Maaf saya orang awam ... Bahasa yg di pakai terlalu ilmiah.. JD saya kurang begitu paham dg karpet merah yg saya bisa semoga mas Rio - Ulfi amanah memimpin Situbondo dan TDK melihat kubu dan sebelah mata semua harus di rangkul itu harapan kami
BalasHapus