Menggugat Integritas Pejabat Publik

 


Oleh Raisa Izzhaty*

Lini masa kita semalaman diramaikan dengan berita penangkapan Bupati Situbondo, Karna Suswandi beserta Kepala Bidang Bina Marga Dinas PUPR Kabupaten Situbondo, Eko Prijonggo Jati, Selasa (21/1). KPK menjerat keduanya atas dugaan korupsi dana Pemulihan Ekonomi Nasional serta pengadaan barang dan jasa di lingkungan Pemerintah Kabupaten Situbondo.

Membacanya saat sedang berada di rantau, membuat dada saya sesak. Ini bukan kali pertama KPK mencokol pemimpin daerah kita. Apa yang terjadi, ya?

Barangkali, saya akan membuka paragraf ini dengan keprihatinan yang luar biasa kepada yang bersangkutan. Terlepas dari proses hukum yang sedang berlangsung, sedikit banyak BK juga telah berkontribusi bagi perkembangan daerah, meski tentu saja, kejadian ini melukai sebagian besar masyarakat Situbondo. Jujur saja, hati ini seperti merasakan patah hati yang tidak kalah sakit dengan sakitnya dikhianati kekasih.

Ada hal-hal yang barangkali bisa menjadi catatan, mengapa korupsi nampaknya sangat erat dengan puncak kepemimpinan, tidak hanya di pemerintahan kita. Tulisan saya kali ini akan berfokus pada ekosistem politik dan integritas pemimpin dalam mengubah ekosistem politik yang sakit.

Dalam sebuah percakapan saya dengan seorang kawan jurnalis, ada sebuah kutipan yang menarik. “Ekosistem politik kita berkemungkinan besar untuk menyeret orang-orang berintegritas sekalipun.”

Dengan berat hati, saya menyetujui ungkapan kawan tersebut. Dalam setiap pemilu, masyarakat menaruh harapan besar pada pemimpin yang mereka pilih. Harapan bahwa pemimpin tersebut akan membawa perubahan, menjunjung integritas, dan mewujudkan kesejahteraan bagi semua. Namun, sering kali harapan itu kandas ketika realitas ekosistem politik yang koruptif menarik mereka ke dalam pusaran praktik yang mencederai kepercayaan publik.

Perilaku koruptif tidak akan membudaya jika dilakukan seorang diri.

Pernyataan kawan tadi menjadi masuk akal pada akhirnya jika kita melihat dan menelaah lebih jauh tentang sistem demokrasi kita yang pada praktiknya, tetap berpegang teguh pada budaya patronase. Dalam sebuah artikel yang ditulis oleh Johanes Danang Widoyoko berjudul Politik Patronase dan Pengadaan yang diterbitkan oleh Jurnal Antikorupsi INTEGRITAS tahun 2018, misalnya. Penulis menyoroti bagaimana praktik politik patronase memengaruhi mekanisme pengadaan barang dan jasa yang dilakukan oleh pemerintah, baik di tingkat pusat maupun daerah.

Pengadaan barang dan jasa adalah salah satu sektor yang rawan penyalahgunaan dan menjadi arena bagi praktik korupsi, di mana politisi atau pejabat publik sering memanfaatkan proses ini untuk mendapatkan keuntungan politik atau pribadi. Seringkali, keputusan tentang pengadaan didorong oleh kepentingan politik dan bukan oleh transparansi atau prinsip efisiensi, anggaran publik dapat disalahgunakan untuk keuntungan pribadi atau kelompok tertentu. Proses pengadaan yang berbasis patronase seringkali terjadi tanpa pengawasan yang memadai, yang mengarah pada lemahnya akuntabilitas dan transparansi.

Masyarakat atau badan pengawas yang seharusnya memeriksa penggunaan anggaran negara tidak memiliki kekuatan untuk mencegah penyalahgunaan. Sistem patronase juga memperburuk ketimpangan ekonomi, karena hanya pihak-pihak tertentu yang mendapatkan akses ke peluang bisnis melalui hubungan politik, sementara kelompok yang lebih luas, termasuk pelaku usaha kecil dan menengah, tidak memiliki kesempatan yang sama.

Coba dihitung, kira-kira dalam praktik sistem politik patronase yang pada akhirnya melahirkan perilaku koruptif di atas saja, untuk satu proyek, ada berapa bagian yang bahu-membahu? Benar dan nyata adanya, bahwa korupsi tidak dapat dilakukan seorang diri.

Kita mau tidak mau, ikut bersepakat dengan pernyataan kawan saya tadi. Sekali lagi.

Lantas, jika semuanya telah menjadi sistemik, apakah kita masih mampu berangan-angan tentang masa depan tanpa perilaku koruptif?

Kabar baiknya, Ya. Sejarah menunjukkan bahwa sistem yang korup dapat diubah.

Sejarah menunjukkan bahwa sistem yang korup dapat diubah. Secara teknis, perangkat hukum, dan hal-hal yang sifatnya tools barangkali telah khatam dan dimiliki masing-masing daerah. Jika hubungannya dengan sesuatu yang lebih abstrak namun ternyata esensial, barangkali saya akan sedikit jabarkan apa saja yang diperlukan untuk mengubah sistem bobrok ini.

Pertama. Efek Domino Positif: Pemimpin sebagai Penggerak Integritas

Pada era Lee Kuan Yew, reformasi pemerintahan Singapura dimulai dari atas, dengan memastikan bahwa para pejabat tinggi tidak terlibat korupsi. Hal ini menciptakan budaya pemerintahan yang bersih, yang kemudian menyebar hingga tingkat bawah seperti semacam efek domino yang positif. Studi dari Institute for Governance and Accountability menyebutkan bahwa reformasi antikorupsi yang dimulai dari pemimpin dapat mengurangi praktik korupsi di tingkat bawah hingga 40%, karena pejabat lainnya merasa diawasi oleh atasan yang bersih.

Kedua. Empati

Kesadaran seorang pemimpin tentang dampak besar korupsi terhadap masyarakat sangat penting untuk membangun pemerintahan yang berintegritas. Rasa takut melukai masyarakat adalah elemen moral yang harus ditanamkan sejak dini kepada calon pemimpin. Jika mereka memahami bahwa setiap tindakan korupsi berarti merampas hak rakyat, mereka akan lebih termotivasi untuk menjaga integritas mereka.

Ketiga. Kemauan Mendengar

Kemudian, satu hal yang barangkali sederhana namun sulit untuk dilakukan: mendengarkan. Mendengar apa saja. Mendengar aduan, kritik, keluhan dari masyarakat, utamanya. Kemauan pejabat publik dalam mendengar serta menelaah kritik tentu dibutuhkan dalam pencegahan perilaku perilaku koruptif dalam tubuh pemerintahan. Saya selalu ingat ini, "Manusia diciptakan dengan dua telinga dan satu mulut. Maka mendengarlah lebih sering."

Sebuah penutup, saya mengutip sebuah lirik lagu dangdut Elvy Sukaesih yang mewakili perasaan galau masyarakat Situbondo hari ini.

 

Ku pikir janjimu seperti mentari..

Dan selalu tepat serta..pasti..

Tetapi kenyataan-nya kau pungkiri..

Kau tak perdulikan..aku lagi..

Sungguh, pedih..,”


Selamat benyanyi dalam tangis. Syedih~

___

*) Penulis merupakan pendiri Komunitas Ruang Teduh.

**) Editor Hans.


Menggugat Integritas Pejabat Publik Menggugat Integritas Pejabat Publik Reviewed by takanta on Januari 22, 2025 Rating: 5

Tidak ada komentar