SID, Keroncong, dan Lirik Penggugah



Oleh: Supriyadi

Beberapa waktu lalu, Grup Superman is Dead (SID) telah menelurkan lagu anyarnya bertajuk “1984”. Mereka mengapropriasi novel distopia anggitan George Orwell dengan tajuk yang sama. Dalam deskripsi di kanal YouTube SID, lagu ini ditujukan untuk menghargai kemerdekaan personal maupun komunal yang hendak dirampas oleh oligarki. Saya rasa, “1984” penting untuk dibaca ulang. Alasan pertama karena SID menggunakan genre keroncong dalam lagu ini. Alasan ke dua karena tema lagu semacam ini terasa penting dalam dinamika musik Indonesia kiwari.

 

Keroncong Nge-beat

“1984” dikemas dengan genre keroncong. SID bekerjasama dengan Keroncong Seba untuk keperluan aransemennya. Kendati demikian, jargon dan identitas SID sama sekali tak menyusut. Justru, tampak ada kebaruan berupa persentuhan antara kehalusan keroncong dan kelantangan nyanyian beserta liriknya.

Lihat saja suara Eka yang tetap lantang dengan corak rocknya. Eka sama sekali mengabaikan estetika nyanyian keroncong yang dikenal halus, penuh vibrasi, dengan liukan-liukannya yang khas. Kendati begitu, hasilnya tetap syahdu. Tidak terlihat ketimpangan antara musikalitas keroncong dan kelantangan suara Eka.

Untuk menyiasati suara Eka yang lantang, musikalitasnya juga dibubuhi ornamen-ornamen musik rock. Lihat saja dalam peralihan-peralihan kalimat lagu. Tampak jelas adanya elemen perkusi ala SID seperti lagu “Kuat Kita Bersinar”, “Kuta Rock City”, ataupun “Aku Anak Indonesia”. Selain itu, tempo lagu “1984” juga agak cepat. Tempo itu tak selazim keroncong pada umumnya.

“1984” adalah bukti bahwa kehalusan keroncong dapat berpadu dengan kelantangan rock. Sesungguhnya, dulu telah ada keroncong dengan tempo yang agak cepat macam “1984”. Suka Hardjana dalam bukunya “Esai dan Kritik Musik” (2004) menyebut jenis itu dengan keroncong nge-beat.

Suka menuliskan, bahwa keroncong nge-beat terlahir dan sempat populer pada kurun 60-70an. Jenis ini dicetus oleh Idris Sardi sebagai alternatif estetis musik keroncong. Tetapi, ide Idris tak gayung bersambut. Ia dikecam dan dihujat oleh sesama pemusik. Imbasnya, kepopuleran keroncong nge-beat patah di tengah jalan karena desakan keroncong mapan.

SID bersama “1984” adalah denyut baru keroncong nge-beat. Musikalitas yang ada di dalamnya memungkinkan keroncong dapat dinikmati dengan lebih luas, terutama kaum penggandrung pop-rock. Di lain sisi, jagad keroncong akan menjadi lebih kaya. Bukankah keroncong adalah hibriditas musikal dan kultural? Maka, keroncong nge-beat adalah salah satu wujudnya. Kehadiran SID dengan keroncongnya pantas mendapat apresiasi.

 

Lirik Penggugah

Lirik yang digurat SID menunjukan tentang gugatan sebagai manusia merdeka. SID tak ingin kemerdekaan itu dirampas oleh oligarki. Lagu ini sesungguhnya melafaskan lirik-lirik nasionalisme, kendati tak menggunakan jalur ‘lurus’ yang menyatakan kecintaan dan keindahan negeri ini. Tetapi, agaknya justru menjadi penting untuk dilingkari.

Beberapa tahun terakhir, lagu-lagu berlafas nasionalisme agak sempoyongan. Lagu tersebut hanya akan hadir kala peringatan ulang tahun negeri ini: musiman. Selain itu, lagu yang muncul kebanyakan hanya berkutat tentang kecintaan dan keindahan negeri ini. Memang tak salah! Tetapi, apakah kecintaan harus selalu diwujudkan berupa puji-pujian?

Barangkali, kita perlu bercermin pada lagu-lagu Iwan Fals macam “Wakil Rakyat”, “Bento”, “Galang Rambu Anarki”, dan seterusnya. Beberapa lagu Iwan Fals itu tak sedikitpun yang terang-terangan menyatakan pujian. Sebaliknya, ia justru menyatakan sindiran terhadap keadaan negeri.

Sindiran tak selalu menyakitkan jika diterima dengan bijaksana. Maka, lagu-lagu yang menyindir sejatinya memuat harapan agar objek yang disindir menjadi lebih baik. Selain itu, lagu-lagu Iwan juga mengungkap tentang realitas negeri. Dulu wakil rakyat banyak yang tidur kala rapat, dulu harga BBM naik tinggi hingga Iwan tak mampu beli susu untuk anaknya, dulu kekuasaan hanya ada di tangan satu orang. Lagu Iwan adalah wakil suara dari banyak orang yang terbungkam oleh ketidakberdayaan.

Semenjak Iwan, lagu yang mengungkap realitas hanya bisa dihitung jari. Lagu yang beredar cenderung menyatakan puji-pujian. Kecintaan dan keindahan negeri ini memang realitas. Tanpa diungkap, masyarakat kita teramat sangat mencintai negeri ini. Tetapi, realitas yang lebih realitas adalah tentang pajak yang naik, petani tembakau yang terlunta-lunta, korupsi timah yang besar dengan hukuman yang kecil, makan siang gratis beserta lika-likunya, dan seterusnya.

Isu ataupun wacana tentang realitas tersebut agaknya absen dari lagu-lagu berlafas nasionalisme. Maka, kiranya penting untuk merefleksi hal ini. Saya teringat pernyataan Sal Murgiyanto dalam bukunya bertajuk “Kritik Pertunjukan dan Pengalaman Keindahan” bahwa karya seni yang baik adalah tentang kemanusiaan. Ada yang diperjuangkan dalam lirik-lirik bernada itu.

Terlepas dari latar belakang juga kontroversi JRX—drumer SID yang bertautan dengan “1984”, lagu ini seolah menjadi penggugah dan pengingat. Lagu berlafas nasionalisme tak melulu tentang puji-pujian, tak harus juga diproduksi kala peringatan ulang tahun negeri, juga ada manusia lain yang harus diperjuangkan. Melalui “1984”, musisi, penyanyi, dan penulis lagu diingatkan tentang nasib lagu bertema nasionalisme yang tengah sempoyongan.

 

 

Supriyadi, etnomusikolog.

 

SID, Keroncong, dan Lirik Penggugah SID, Keroncong, dan Lirik Penggugah Reviewed by Redaksi on Januari 14, 2025 Rating: 5

Tidak ada komentar