Resensi: Lelaki, Cinta, dan Masa Lalu



Oleh: Cahyo Saputro

Selepas melalui perjalanan jauh sepanjang 256 halaman yang diawali daftar isi singkat, saya dijumpai sebuah prolog yang sangat-sangat asoy, lima belas batang tubuh yang “terluka”, dan sebuah epilog sebagai penutup yang “sakit”.

Prolog yang asoy mulanya membawa saya ke tempat perenungan menyoal hidup dan perkuliahan, “… kamu mematikan dering beker? Dengan malas ia mengiyakan, habis kata dia, aku toh tidak akan bangun juga. Dia mengenalku dari dulu, aku amat sangat malas untuk bangun pagi. Aku hampir memarahinya. Tapi urung. Mungkin memang ada sesuatu yang datang, terjadi, hanya untuk sia-sia. Semua, ya semua, hampir mirip hal-hal itu. Hanya ada rasa tertegun yang kosong. Tidak tahu harus berbuat apa-apa selain kemudian menghabiskan waktu dengan lebih banyak ketololan.” (Sebuah Prolog hlm. 3)

Saya rasa pembukaan ini menuang rasa kesal penulis atas kebiasaannya sendiri, tentang kebiasaan begadang dan pantangan bangun lebih awal di pagi hari. Dan, barang siapa tahu prolog ini dinamai Seraut Wajah di Genangan Waktu. Unik, memang berkesan seperti setiap orang bisa melihat sosok di balik masa lalunya. Hal ini membawa saya lebih lanjut, untuk menapaki bagian tubuh pertama dan kedua.

Percakapan di Taman dan Calon dari Ibu serupa hidangan yang pahit manis. Coba bayangkan ketika kalian berada di taman untuk sebuah acara dan bertemu seorang dari masa lalu yang akrab denganmu? Sedikit cuap-cuap atas kesalahan dan perlakuan lampau kembali memenuhi ingatan rumit dan perasaan sesak yang tak bisa masuk dalam kantung celana. Penulis mengakhiri itu dengan sesak yang dipaksa muat dalam tas dan menghidupi kenangan-kenangan lama yang perih dan menyedihkan. Selang berapa waktu, penulis butuh ruang untuk menyendiri, lalu kembali ke tempat “pulang” melihat ayah dan ibu yang ternyata menyiapkan perempuan untuk dijodohkan, walau tidak terlalu memaksa, tidak seperti zaman Sitti Nurbaya.

Tak cukup sampai di situ, penulis menyeduh keegoisan karakter utama dalam bagian ketiga, Ia Tahu Dirinya Cantik. Judul ini akan membawa pembaca pada sebuah pernyataan setuju terhadap seorang perempuan yang agaknya, mungkin memang dianggap cantik. Bagian ini membawa sesiapa pun lanjut untuk sejenak menikmati Sesaat di dalam Kamar dan Sesaat yang Kembali Gagal. Apa yang bisa  terpikirkan selain di dalam kamar dan menangis karena sebuah rekam jejak kejadian yang lawas dan rusak, seperti kaset pita kusut yang tak lagi bisa diputar.

Sungguh kesal memang, untuk ukuran seorang lelaki matang yang terpesona masa lalu. Bisa tidak, untuk berhenti suka dan tiba-tiba memvalidasi perasaan untuk setiap perempuan yang ditemui? Ah, sungguh mengesalkan. Aku di sini selalu seperti itu. Kikan dan Bab Khusus, tentang Kamu, untuk kamu adalah bagian yang paling romantis dengan harapan-harapan yang bisa dirasai oleh setiap lelaki. Mungkin, setidaknya menurut saya begitu, walau sial juga, luka memang tak pernah bisa lupa siapa tuannya.

Aku masih dengan lemas, pergi ke kamar mandi. Dan, terus mengumpat dalam hati. Mengumpati kenapa semua ini terjadi hanya dalam mimpi.” (Kikan hlm. 90)

Kamu masih akan tetap resah, masih tetap ada onar. Dan, kamu juga punya masalah besar dalam hidupmu: mencari pasangan hidup! Di sanalah, kamu sangat bermasalah. Tidak ada seseorang yang kamu bangunkan di pagi hari ….” (Bab Khusus, tentang Kamu, untuk Kamu hlm. 98)

Begitu pelikkah untuk mencari pasangan hidup? Entah, saya pun belum sampai untuk fase itu. Tapi, aku bercerita Hampir Mengulang Kesalahan dengan sedikit kelumit luka-luka masa lalu pada bagian Ah, Badai Itu. Barangkali pembaca pun tahu selepas bagian-bagian lalu yang bercerita tentang ketololan seorang lelaki dan sakit yang dibuatnya sendiri. Bukankah seseorang terluka karena dirinya sendiri?

Lalu, bagian tubuh ini  saya rasa lebih mempunyai luka lebih banyak dengan nama yang dibawa dalam Bayang Wajah di Jendela Kereta, Ketika Musim Demam Tiba, dan Berkas Kenangan. Ini akan membawa pembaca ke dalam ruang paling sempit yang kosong dan sepi. Sungguh, lagi-lagi aku tak paham dengan ketololan aku yang mudah terbawa suasana dan perasaannya terhadap seorang perempuan. Perjalanan-perjalanan panjang ini membawa aku dalam perenungan yang beruntungnya, ia menemukan Surga-Surga Kecil di beberapa tempat yang menyediakan nyaman dan kasih sayang. Dan, sungguh, rasa sakit itu mekar menjadi rasa bersalah dalam bagian Kecil Itu Berat. Perasaan ini membawa aku menemui ruang merenung yang turut menyembuhkan hatinya.

Dan, pada bagian tubuh yang “terluka” ini, akan diakhiri oleh Kania, Perempuan Itu yang lagi-lagi disukai dengan ketololan-ketololan. Pada akhirnya bagian ini menjadi perjalanan terakhir sebelum semuanya benar-benar diakhiri.

Aku turun dari kereta. Aku menyusuri rel, menjauhi stasiun kecil itu, menjauhi lampu-lampu itu. Aku mendekati gelap. Aku mendekati malam. Aku ingin berteriak keras-keras. Tapi, lagi-lagi itu hanya keinginan belaka. Aku diam sambal terus berjalan. Dadaku perih. Tapi, tidak ada air mata yang jatuh. Aku sedih sekali. Tapi, aku tahu, aku jauh lebih kuat dibanding dulu-dulu….” (Sebuah Epilog hlm. 248)

Pun, untuk mengakhiri sesi ini, saya membaca kembali halaman bernomor kosong, memandangi judul yang sialan, dan menggantung satu pertanyaan, hanya satu pertanyaan, “Bagaimana kalau memang cinta tak pernah hadir di waktu yang tepat?” Saya pikir Puthut EA seringkali kehilangan cinta pada tiap karyanya, tapi saya tetap yakin bahwa sebenarnya ia punya cinta. Tapi, apakah betul seorang lelaki yang tenggelam akan masa lalu dan selalu mengulang ketololan yang sama berulang kali tidak bisa berubah? Atau mencintai satu saja perempuan? Ah, coba kalian baca saja buku ini dengan diiringi lagu pop indie Fiersa Besari – Waktu yang Salah. Selamat membaca.

Yogyakarta, 18 Februari 2025

 

Identitas Buku

Judul Buku: Cinta Tak Pernah Tepat Waktu

Penulis: Puthut EA

Tahun: 2019 (edisi revisi)

Penerbit: Buku Mojok

ISBN: 978-623-7284-20-8

 

Tentang Penulis

Cahyo Saputro lahir di Banyumas. Berstatus sebagai mahasiswa UNY yang mulai gemar untuk membaca, menulis, dan mendengarkan. Aktif di komunitas Area Penjelajah Sastra (APSA). Karyanya belum bisa ditemui di mana-mana, tetapi silakan berkunjung di Instagram @chys06_. WA: 089682072755 

Resensi: Lelaki, Cinta, dan Masa Lalu Resensi: Lelaki, Cinta, dan Masa Lalu Reviewed by Redaksi on Februari 22, 2025 Rating: 5

Tidak ada komentar