Oleh: Ienna katanny
Aku
tidak punya kisah hidup yang terlalu indah untuk dibagikan, beberapa rentetan
kisah bahkan sengaja ingin kuhapuskan. Beberapa lagi sampai ingin kutanam
dalam-dalam, tidak ada yang istimewa. Banyak dari kisahmembuat nyeri di dada,
ditambah air mata yang kujamin lagi-lagi turun dengan derasnya. Aku selemah itu
nyatanya. Tergores sedikit saja bisa meraung seharian, sampai bunda kehabisan
cara untuk menenangkan. Apalagi jika bunda yang terluka sebab pisau dapur
kesayangannya.
Mataku terus menatap gerbong-gerbong kereta
yang terus melaju dengan cepat, pergi, hilang, dan tak terlihat. Aku menghela
napas, harusnya tidak kuiyakan perkataan ayah beberapa hari lalu. Sekarang aku
harus apa? Bagaimana bisa aku pergi sedangkan setengah hatiku masih ingin menetap
di sini.
"Ketinggalan
kereta, Mbak?" Aku tersentak, menatap pria bertubuh tinggi itu beberapa
saat. Lalu menunduk menatap ujung sepatuku yang berdebu.
"Hm." Hanya itu yang keluar dari
mulutku.
"Kalau gitu saya duluan, Mbak. Kereta
saya sebentar lagi."
Aku
hanya diam, melirik punggung laki-laki itu hingga hilang termakan keramaian.
Kuputuskan duduk di salah satu kursi kosong dekat gadis kecil yang sedang
berusaha meniup balon di tangannya. Sesekali air liurnya tersembur keluar, aku
tersenyum kecil. Gemas melihatnya.
"Bunda,
balonnya gak bisa ditiup." Gadis itu merengek memperlihatkan balonnya yang
sudah basah sebab salivanya.
"Ya
sudah, nanti kita beli yang lain aja, oke?" Hatiku menghangat mendengar
ucapan ibunya, teringat bunda di sana. Ah, sial. Aku rindu nyatanya.
Tubuhku
membeku, diam seolah tak bernyawa. Beberapa orang menahan bahuku untuk
berjaga-jaga agar tidak tumbang tanpa aba-aba. Kutatap wajah putih bunda dengan
beberapa kerutan di matanya. "Bun ...," panggilku lirih. Aku berusaha
tenang, tapi jantungku seperti ditikam pisau tajam.
"Bun," kupanggil lagi, namun tidak
ada respons juga. Kedua sudut mataku mulai memanas, kugenggam tangan lembutnya
dengan tenaga yang tersisa. Bulir-bulir jernih itu mulai deras tanpa diminta,
dadaku naik turun tak seirama. Ayah mengusap kepala ku mencoba menenangkan.
"Bunda,
ini Kenny
," lirihku dengan isakan. "Kenny pulang, Bun. Katanya Bunda mau
jalan, ayo. Kenny udah di sini."
"Kenny?" Aku melirik ayah, matanya
juga memerah. Aku memeluknya erat, menangis sesenggukan di sana.
"Sudah ya, kita berdoa saja."
Sudah?
Ayah bilang sudah? Bagaimana bisa, separuh nyawaku terbujur kaku di sana dan
ayah mengatakan sudah?
"Sudahkan, Pak?" tanya seseorang
berkopiah hitam itu. Aku menatap ayah yang mengangguk. Tubuhku seketika
terhempas, pandanganku sedikit demi sedikit menggelap. Aku masih dapat
mendengar samar-samar ayah meneriaki namaku.
"Tak
apa, Yah. Biarkan aku bersama Bunda.
***
Aku
duduk di pinggir ranjang dengan kepala yang sedikit berdenyut. Seorang wanita
berjilbab panjang menyibak tirai jendela. Aku memicingkan mata; silau.
"Sudah mendingan?" Aku tersenyum, berdiri pelan-pelan lalu
memeluknya.
"Sudah,"
kataku. "Kamu sudah besar, ya, biasanya kalau sakit pasti nangis."
Aku
terkekeh, lalu mencium pipi bunda.
"Bunda
... ini nyata. Iya, kan?"
"Mulai
deh," sahut bunda. Lalu, mencium keningku. "Sudah mandi sana,
sebentar lagi ayah datang."
Aku tersenyum hambar dan mengangguk. Aku cukup
mensyukuri sebab itu hanya mimpi yang akhir-akhir ini sering menghantui
malamku. Bunda masih ada, itu sudah lebih dari hal terindah. Ya, walaupun tetap
saja. Kenyataan berulang kali menghunjam dada. Toh, aku bisa apa? Pada akhirnya
aku harus kembali membuka mata, antara ayah dan bunda sudah tidak ada lagi kata
kita. Mereka telah memilih jalan sendiri. Itu cukup menghancurkan hatiku.
Namun, Tuhan menyadarkanku. Dia masih memberiku waktu bersama mereka. Ke mana
lagi aku harus pulang, Jika rumah yang kutuju sudah hilang? Mereka adalah rumah
untuk anaknya. Mereka akan tetap ada, walaupun kelak anaknya akan pergi dengan
pilihannya. Aku tidak pernah menyesali perpisahan itu, toh, mereka tetap
menjadi alasanku untuk tetap bertahan. Sepahit apa pun hidup nyatanya. Senyumku
merekah sempurna menyaksikan dua insan itu berbincang, bagaimana aku bisa
menyesal menjadi bagian dari mereka? Jika pada akhirnya, semua tetap baik-baik
saja.
"Lama
banget.” Ucap bunda saat aku selesai mandi
Aku
hanya tertawa pelan mendengar ucapan bunda.
"Balik
dulu ya, Tii”
Ayah
mengambil alih tas ranselku dan membawanya keluar lebih dulu. Aku mengeluarkan
sesuatu di balik saku kemeja, tersenyum lalu memberikan bros berbentuk
kupu-kupu itu kepada bunda. Aku melihat mata bunda yang berkaca- kaca. Bukan
tanpa alasan memberikannya. Minggu lalu saat ikut ayah keluar kota, aku melihat
bros berbentuk kupu-kupu itu. Cantik dan elegan seperti bunda. Aku mencium
tangannya, memeluknya beberapa saat.
"Bunda,
sehat-sehat ya. Bulan depan aku pulang lagi," gumamku. Bunda menahan air
matanya, aku tahu itu. Jarak membuat kami harus berpisah cukup lama. Tapi,
tidak apa. Kelak aku akan mengajak bunda, pergi ke mana pun yang ia suka.
"Hati-hati,
ya. Nurut sama ayah."
"Bunda ... aku mencintaimu."
Sudah itu saja.
Tentang Penulis
Ienna katanny. Panggil saja INA, aku penyuka coklat dan buku novel
mellow, fantasy. Dua hal itu selalu
membuat hidup ku terasa berwarna. Aku menatap di daerah galaxy. Aku suka
menghabiskan waktu dengan minum cokat dan baca buku novel. Menulis adalah wadah
untuk aku menuangkan segala imajinasi kuu. Salam semanis coklat.

Tidak ada komentar