Kolong Situbondo: Ada yang Beda pada Diksi Bahasa Madura di Situbondo #1
Situbondo
salah satu kabupaten di ujung timur pulau Jawa. Dengan bentangan pantai indah
sepanjang garis pantai utaranya. Dulunya bernama Kabupaten Panarukan yang juga merupakan
bagian dari Karesidenan Besuki di jaman kolonial Belanda.
Menilik
sejarah lamanya daerah ini pernah menjadi daerah seberang lautan Kesultanan
Songenep atau Somekkar sampai Banyuwangi Utara atau daerah yang sekarang
disebut Wongsorejo. Sehingga tak heran jika kebudayaan serta bahasanya 95%
mengadopsi dari Kesultanan Songennep atau sekarang Kabupaten Sumenep tersebut,
perihal tentang persebaran bahasa itu telah dijelaskan di beberapa literatur
lama dan sampai sekarang hal itu masih sangat relevan.
Terlepas
dari etnis apa yang mendiami Situbondo ini sekarang, bahasa Madura nyatanya
sangat dominan dituturkan oleh masyarakatnya, namun uniknya diksi-diksi bahasa
Madura di Situbondo ini sedikit berbeda dari induk bahasanya di Pulau Madura
terutama di Sumenep. Perubahan makna, pergeseran makna, asimilasi dan adaptasi
dari letak geografis terutama pada nomina, verba dan adjektiva tampak jelas
terasa terlepas dari masa generasi penuturnya.
Bahasa
Madura di Situbondo berproses menjadi subdialek tertentu dalam bingkai bahasa
Madura dialek Sumenep di Situbondo bagian timur meliputi Kecamatan Bungatan
sampai Kecamatan Banyuputih serta dalam bingkai bahasa Madura dialek Pamekasan
meliputi Kecamatan Mlandingan sampai Kecamatan Banyuglugur. Bahkan pada salah
satu literatur lama berbahasa Madura pasca kemerdekaan tertulis basa madoera
tjara Besoeki yang bisa diartikan bahasa Madura Besukian yang merujuk
kepada bahasa Madura yang digunakan di Besuki serta Bondowoso kala itu.
Perbedaan diksi bahasa Madura akan sangat mudah diamati ketika ragam lisan tertuturkan pada masyarakat Situbondo. Tulisan ini akan mencontohkan secara terperinci dan sedikit demi sedikit tentang perbedaan diksi bahasa Madura di Situbondo ini yang belum tentu ditemukan dan belum tentu bermakna sama dengan induk bahasanya di Pulau Madura.
1.
Tèya [tɛ.ja].
Kata ini adalah kategori kata ganti orang pertama tunggal. Kata ini sebenarnya
ringkasan dari kata satèya yang artinya sekarang, namun di Situbondo
melebar maknanya menjadi "saya" dalam tingkatan bahasa terendah di
bahasa Madura. Kata ini digunakan di Kecamatan Banyuputih ke barat sampai
Situbondo Kota.
Terkadang kata tèya ini pada praktiknya mengalami perubahan menjadi atèya.
Contoh penggunaannya sebagai berikut :
a.
Tèya ta' tao kèya (Saya juga tidak tahu)
b.
Atèya ta' mèlo apa (Saya tidak mendapatkan apa-apa)
Dibandingkan
dengan kata engko', kata tèya lebih sering terpakai pada ragam
lisan di keseharian masyarakat di daerah-daerah yang disebutkan di atas.
2.
Nonto [nɔn.tɔ]. Merupakan
ringkasan kata dari kata sanonto yang bermakna “sekarang”. Kata ini
sebenarnya memiliki makna yang sama dengan tèya yaitu “saya” hanya kata nonto
ini setingkat lebih atas tingkatan bahasanya dari kata tèya, pun kata
ini juga merupakan bentuk kata ganti orang pertama tunggal. Di
Situbondo bagian timur khususnya bermakna melebar menjadi bermakna
"saya". Kata ini identik diucapkan oleh orang yang sudah berumur. Gen
Z Situbondo mengenal tingkatan bahasa kata ini dengan istilah dhika bulâ
meskipun secara kesepakatan lampau tingkatan bahasa kata nonto ini
disebut Engghi Enten atau Bhâsa Tengnga'an. Berikut contoh
penggunaannya:
a.
Nonto ta' anḍi' pènapè, Cong! (Saya tidak punya apa-apa, Nak!)
b.
Jhâ' nonto ta' èbâlâi nè! (Wong saya tidak diberitahu sih!)
3. Non [nɔn]. Kata yang hanya terdiri dari suku
kata ini biasa diucapkan oleh orang tua yang terbiasa menggunakan tingkatan
bahasa Madura paling tinggi. Padanan dalam bahasa Jawa kata ini adalah ndalem,
yaitu untuk memperjelas bahwa ia menyahut atau merespon “iya saya”. Berikut
contoh penggunaannya pada percakapan:
Pa’ Armawi :”Cong,
engko’ mellèyaghi roko’ è tokona Ma’ Sarèp!”
(Na’,
saya belikan rokok di warung Bu Sarep)
Nono :”Non?”
(Iya saya?)
Pa’ Armawi :”Bâ...engko’
mellèyaghi roko’ “
(Loh saya belikan rokok)
Nono :”Èngghi”
(Iya)
4. To [to]. Merupakan ringkasan kata dari kata ka’into
yang maknanya disini. Kata ini persis penggunaannya dengan kata non,
bisa dibilang ini adalah sinonimnya. Tujuannya untuk menegaskan kembali atau
meminta mengulangi kembali ucapan dari lawan bicaranya. Berikut contoh
penggunaannya pada percakapan:
Pa’ Armawi :”Cong,
engko’ mellèyaghi roko’ è tokona Ma’ Sarèp!”
(Na’,
saya belikan rokok di warung Bu Sarep)
Nono :”To?”
(Iya saya?)
Pa’ Armawi :”Bâ...engko’
mellèyaghi roko’ “
(Loh saya belikan rokok)
Nono :”Èngghi”
(Iya)
5. Hè [hɛ]. Kata ini juga hampir sama fungsinya
dengan non dan to, bisa juga dibilang ini adalah sinonimnya namun
dalam tingkatan bahasa Madura pertengahan. Berikut contoh penggunaannya pada
percakapan:
Nono :”Emba! tellasan kaulâ ta’
èmellèyaghina kalambhi?”
(Mbah, hari raya saya mau dibelikan baju kan?)
Bu’ Enjo :”Hè?”
(Iya?)
Pa’ Armawi :”Ta’
èmellèyyaghina kalambhi kaulâ? “
(Saya mau dibelikan baju?)
Nono :”Engghi engghi èmellèyaghina Mong”
(Iya iya mbah belikan sayang)
Di tulisan yang pertama ini hanya lima kata sementara
yang saya jelaskan dan tentunya sesuai dengan realitas di masyarakat, dan
jangan kira hanya lima kata itu diksi bahasa Madura di Situbondo yang khas
masih banyak ratusan kata lain. Situbondo itu kaya Cong Bhing!. Saya
akan meneruskan lagi lain hari sambil menunggu inspirasi kata-kata dari
keindahan dan kekayaan Situbondo yaitu sekitar kita.
Jhuko’ lèlè nyaman mèlè,
Laèn arè èsambhunga polè.
)* Guru & Penggiat Bahasa Madura di Situbondo

Tidak ada komentar