Lagu Religi, Musim, dan Kelindannya
Oleh:
Supriyadi*
Bulan
Ramadan telah tiba. Seperti biasa, ini adalah musim lagu religi. Musisi-musisi
menggunakan momentum ini untuk menganggit lagu bernuansa Ramadan. Di tahun 2025
ini, telah terpampang beberapa musisi ‘langganan’ lagu religi yang kembali
menelurkan karyanya. Sebut saja Opick dengan “Allah Ya Maulana”, Ungu dengan
“Bulan Baik”, atau Wali bersama Mostafa Atef dengan “Forgive Me (Marhaban ya
Ramadan)”.
Sementara,
ada musisi lawas maupun pendatang baru yang juga turut memeriahkan musim lagu
religi di tahun ini. Sebut saja Duta “Sheila on Seven” bersama mantan
gitarisnya, Sakti. Mereka telah mengaransemen lagu “Sephia” untuk diejawantah
menjadi lagu religi bertajuk “Hey Dunia”. Ada juga Fajar Sadboy, Angel Lelga,
dan lain-lainnya.
Harus
kita akui bahwa menganggit lagu religi di Bulan Ramadan adalah sebuah niat baik
dari para musisi. Mereka ingin menerjemahkan sisi religius mereka dalam bentuk
karya. Di samping itu, mereka juga berniat baik untuk menyampaikan pesan
spiritual kepada publik. Akan tetapi, rasanya perlu menyigi apakah seluruhnya
benar-benar dilandaskan pada niat baik tersebut?
Industri
Saya
rasa, tak sedikit musisi yang memproduksi lagu religi hanya untuk kepentingan
industrial. Hal ini bisa dilihat melalui siklus musisinya. Dari tahun ke tahun,
selalu saja ada musisi baru yang menganggit lagu religi. Akan tetapi, boleh
dikata jarang ada yang konsisten. Lihat saja JKT 48, Budi Doremi, Radja, atau
Lucinta Luna. Mereka tidak konsisten memproduksi lagu religi dari tahun ke
tahun, bahkan beberapa di antaranya hanya satu lagu religi saja sejauh ini.
Tidak
hanya itu. Gejala industrial juga dapat dibaca melalui peristiwa visualnya. Lihat
saja di media sosial. Tak sedikit biduan dangdut yang menyanyikan, meng-cover lagu-lagu religi. Bayangkan saja,
penyanyi dangdut yang biasanya memamerkan sensualitas melalui suara maupun
goyangan tiba-tiba memakai kerudung. Ia menyanyikan lagu-lagu religi dengan
begitu sendu, bergoyang dengan begitu santun.
Melihat
realitas-realitas itu, maka kita perlu menelaah ulang, apakah lagu-lagu religi
memang diproduksi berlandaskan niat baik? Niat baik itu memang ada tetapi
kiranya tidak sepenuhnya. Ada faktor industri yang sesungguhnya menjulang
tinggi. Secara spesifik, setidaknya ada dua sub faktornya, yakni finansial dan
eksistensi atau kepopuleran.
Kita
tidak bisa menafikan bahwa industri musik merupakan sebuah kegiatan yang
didorong oleh hitung-hitungan keuntungan. Entah keuntungan finansial maupun
eksistensi. Maka, rasanya tak berlebihan jika menduga bahwa penciptaan
lagu-lagu religi bisa jadi hanya sekadar memanfaatkan momentum untuk meraup
keuntungan-keuntungan tersebut. Jika saja tidak, seharusnya produktifitas
lagu-lagu religi tidak mengenal musim.
Penganggit
Saya
ingin kembali lagi ke penyanyi dangdut yang menyanyikan lagu religi dalam
paparan sebelumnya. Dalam peristiwa itu, si biduan dangdut tentu saja sadar
tentang apa yang dilakukannya. Ia berubah jadi alim dan jauh dari sensualitas
semata-mata untuk meraup keuntungan materi dan eksistensi. Tetapi, bagaimana
setelah Ramadan usai? Apakah ia kembali ke perilakunya sebagai biduan yang
dekat dengan sensualitas?
Tiba-tiba
saya teringat dengan Nisa Sabyan dengan kasus perselingkuhannya dengan Ayus. Bayangkan
saja, Nisa Sabyan yang begitu tersohor dengan kesantunan, kelembutan, dan
dendangan religinya ternyata melakukan tindakan yang dinilai tidak baik oleh
kebanyakan orang. Keironian ini sesungguhnya menunjukan bahwa laku hidup
seorang musisi belum tentu sejalan dengan karya-karya anggitannya.
Padahal,
dalam pandangan etnomusikologi, lagu adalah laku musikal dari si penganggit. Di
dalamnya termuat laku hidup dari si penganggit itu sendiri. Dengan demikian,
lagu tak sekedar bunyi atau hiburan melainkan juga ilmu pengetahuan. Mengetahui
korelasi antara lagu dan penganggitnya akan memperkaya kedalaman nilai dari
lagu yang ada.
Saya
masih mempercayai bahwa lagu religi adalah kisah tentang spiritualitas.
Lirik-liriknya berisi tentang dakwah dan pencerahan terhadap publik. Oleh sebab
itu, peristiwa dari Nisa Sabyan maupun biduan dangdut seharusnya dapat
dijadikan sebagai sebuah pelajaran.
Bahwasanya,
keseimbangan antara lagu anggitan dengan penganggitnya harus diselaraskan.
Jangan hanya mementingkan sisi finansial atau eksistensi semata. Jangan juga
hanya memanfaatkan momentum Ramadan yang saban tahun tiba. Lebih penting dari
itu adalah menjaga perilaku penganggit agar sesuai dengan lirik anggitan yang
mencerahkan. Dengan begitu, lagu yang dihasilkan benar-benar menjadi inspirasi
bagi publik.
Saya
rasa, kita patut berefleksi. Lagu religi sejauh ini memang bersifat musiman.
Sifat musiman inilah yang kemudian membentuk perilaku-perilaku sesaat, letupan.
Akan tetapi, bukan hal yang mustahil untuk menghapus sifat ini. Bukankah
religiusitas it uterus berdenyut tanpa mengenal waktu?
Dalam
konteks ini, musisi atau penganggit lagu harus menyadari bahwa lagu religi
sesungguhnya selalu dinanti-nanti. Lagu religi seharusnya terus berdenyut
seturut dengan denyut religiusitas pendengarnya. Maka, tak perlu menunggu
momentum Ramadan untuk menelurkan lagu religinya. Landasan fundamental lagu religi
adalah kekuatan dakwahnya, bukan keuntungan finansial maupun eksistensi.
Begitu. []
*)
Etnomusikolog.

Tidak ada komentar