Takbiran, Bunyi, dan Memori
Oleh:
Supriyadi*
Takbiran
telah menggema. Kita tahu bahwa bunyi takbiran adalah pertanda tentang hari
Idulfitri yang akan segera tiba. Akan tetapi, apakah bunyi takbiran semata
hanya pertanda itu? Saya rasa, bunyi takbiran tak semata pertanda hari
kemenangan saja tetapi juga simbol tentang kepulangan dan kerinduan.
Ini
adalah pertanyaan sederhana tetapi benar-benar menggambarkan makna lain tentang
bunyi takbiran. Pernahkah anda atau kita tiba-tiba ingat keluarga ketika bunyi
takbiran berkumandang? Apalagi kita sedang merantau, jauh dari rumah? Saya
pernah mengalaminya!
Bunyi takbiran dalam konteks ini mampu membangkitkan ingatan, kenangan terhadap kampung halaman dan keluarga. Bunyi tersebut mampu memantik kerinduan. Rindu itu berbeda dari rindu-rindu sebelumnya. Rindu diiringi bunyi takbiran terasa lebih dalam dan menyayat. Lantas, mengapa hal ini bisa terjadi?
Kultural
Saya
rasa, hal ini bertautan dengan budaya yang sudah terkonstruksi. Tidak bisa
dinafikan bahwa bunyi takbiran telah berkumandang di Nusantara berpuluh-puluh
tahun lamanya. Tak heran jika bunyi takbiran akan melahirkan relasi dengan
kultur atau kebudayaan masyarakatnya. Salah satu wujud yang paling bernas
adalah kultur lebaran.
Lebaran
adalah momentum pertemuan antara insan satu dan lainnya. Entah itu yang terikat
dalam satu keluarga, desa, atau komunitas lainnya. Lebaran menjadi momentum
untuk merekatkan kembali kohesi komunal maupun personal yang renggang karena
kesibukan masing-masing.
Karena
sifat momentum itu, maka tak sedikit orang yang merasa bahwa bersilaturahmi
kala lebaran adalah sesuatu yang dinilai ‘wajib’. Tak heran jika orang-orang
yang merantau akan berupaya untuk pulang. Tak peduli seberapa jauh jarak yang
harus ditempuh, materi yang harus dikeluarkan, atau tenaga yang harus
digelontorkan.
Sementara,
jika perantau itu tak bisa pulang, maka mereka hanya bisa merenung. Ratapan,
penyesalan, bahkan air mata akan datang menghantui. Lebaran yang hanya setahun
sekali akhirnya terlewatkan. Silaturahmi yang ditunggu-tunggu akhirnya hilang.
Perlu setahun lagi untuk tiba pada momentum itu.
Bunyi
takbiran adalah pintu gerbang menuju lebaran. Atas konstruksi budaya yang ada, kumandang
bunyi tersebut tentu saja akan menuntun pendengarnya pada pengalaman lebaran. Oleh
sebab itu, tak berlebihan jika takbiran akan terasa sayu dan mendayu jika
didengar oleh perantau yang tak bisa pulang.
Dalam
konteks ini, bunyi takbiran melampaui kodratnya sebagai penanda hari raya. Lebih
dari itu, bunyi takbiran adalah pengingat kolektif tentang kepulangan. Pulang
menuju kampung halaman, rumah, dan asal-muasalnya untuk melunasi ‘kewajiban’
sebagai makhluk sosial.
Memori
Tak
hanya itu. Atas korelasi antara bunyi takbiran dengan kultur yang dikontruksi,
maka ‘pulang ke rumah’ tentu saja tak cukup dibaca secara wantah. Rumah dalam
konteks ini bukan saja wujud fisiknya. Jauh lebih dalam, rumah adalah tempat di
mana memori masa lalu dipahat dan diukir.
Bunyi
takbiran akan mengantarkan anda atau kita untuk menapaki memori tentang ibu,
bapak, nenek, ataupun kakek. Bunyi takbiran bisa juga melempar kita pada memori
atas suatu peristiwa. Mari kita bayangkan potret seluruh keluarga yang bersatu
dan berkumpul di rumah nenek.
Anak-anak
berlarian di halaman rumah dengan suara yang riuh. Sementara bapak, ibu, dan
saudara saling bercengkerama melepas rindu. Sesekali, mereka melahap pisang
goreng hangat hasil olahan nenek yang begitu lezat. Momentum hangat ini barangkali
hanya bisa dijumpai kala lebaran.
Bunyi
takbiran mungkin juga akan menyusupkan pada perasaan yang sedih. Momentum
berkumpul bersama nenek, kakek, ibu, bapak, ataupun saudara akan terasa berbeda
kala salah satu di antaranya tiada. Seolah-olah, ada kehampaan dalam jiwa yang dirasakan.
Dalam
konteks ini, bunyi takbiran menjelma semacam monumen yang membekukan memori
kita atas suatu peristiwa. Maka, sesungguhnya takbiran telah mampu mengubah
makna ‘rumah’ untuk melampaui arti harafiahnya. ‘Rumah’ tak lagi berwujud fisik
namun berubah menjadi sesuatu tajam fisik, yakni ingatan.
Hal
ini sesungguhnya dapat dibaca melalui kacamata psikologi musik. Levitin dalam
bukunya bertajuk “This Is Your Brain on Music” (2006) menyatakan bahwa di dalam
otak terdapat pusat kalkulasi melodik pada lobus temporal dorsal. Bagian ini
mampu menciptakan wadah bebas nada dari nilai-nilai melodi yang diinginkan. Lebih
lanjut, musik yang akrab, familiar bagi seseorang akan mampu mengaktifkan
bagian ini bersama dengan bagian hippocampus. Hippocampus sendiri adalah
struktur di pusat otak yang berfungsi untuk pengkodean memori atau mengingat.
Melihat
realitas itu, bunyi takbiran menjadi bunyi yang akrab, familiar bagi setiap
orang karena bertautan dengan lebaran. Akan tetapi, atas tautan itu juga, bunyi
takbiran mampu memantik kode memori tentang pengalaman lebaran. Oleh sebab itu,
rasanya tak berlebihan jika mengatakan bahwa takbiran adalah sepenggal bunyi
yang mengekalkan kisah kerinduan akan asal-muasal seseorang. Selamat lebaran!
*)
Etnomusikolog.

Tidak ada komentar