Loreng yang Mengikat: Empat Cerita Tentang Luka dan Ketabahan

Menurut KBBI (Kamus Besar Bahasa Indonesia) macan dan harimau adalah dua jenis hewan karnivora besar yang berasal dari keluarga kucing namun makna keduanya berbeda. Macan digambarkan sebagai hewan yang kuat, liar dan agresif, memiliki sifat mandiri serta insting bertahan hidup yang tajam sehingga lebih menonjolkan kekuatan dan sifat garang secara umum. Di sisi lain, harimau dikenal sebagai hewan berbulu bercorak loreng yang menghuni hutan dan menjadi lambang kekuatan, keberanian serta predator yang menakutkan. Oleh karena itu meskipun keduanya termasuk dalam kelompok kucing besar istilah macan lebih menekankan sifat liar dan agresif sementara harimau lebih fokus pada identitas khusus dan simbolis yang terdapat di alam liar.

Dalam beberapa cerpen yang membahas harimau, pengarang sering menggunakan hewan ini bukan sekadar sebagai binatang literal tetapi sebagai simbol yang bermakna. Menurut para cerpenis harimau kerap menjadi cerminan sifat manusia, menyingkap kesendirian, rasa kehilangan atau pergolakan batin tokoh, kehadiran harimau sering menandai konflik antara manusia dan alam atau menjadi simbol pengalaman perubahan seperti dalam hubungan emosional yang mendalam antara manusia dan binatang. Dengan demikian harimau dalam cerpen bukan sekadar hewan tetapi media bagi pengarang untuk mengekspresikan tema kekuatan, konflik dan hubungan manusia dengan alam.

Seperti yang ditulis oleh cerpenis keempat cerpen yang berjudul Apa yang Paul McCartney Bisikkan di Telinga Janitra? karya Sasti Gaotama,Macan karya Seno Gumira Ajidarma,Mata Harimau karya Anton Kurnia, sertaHarimau dan Gadis Kecil karya Sungging Raga meskipun berbeda latar, gaya dan sasaran pembaca, keempat cerpen tersebut memiliki satu benang merah penting dan sama-sama membahas pergolakan batin manusia dan hubungan manusia dengan kekuatan di luar dirinya. Dalam tiga cerpen hadir melalui metafora harimau sebagai simbol kekerasan, trauma, ingatan panjang maupun kehangatan. Pada cerpen Apa yang Paul McCartney Bisikkan di Telinga Janitra? karya Sasti Gaotama metaforanya tidak hadir dalam bentuk harimau tetapi hadir melalui musik Let It Be yang berfungsi layaknya kekuatan penyembuh, sebagaimana harimau menjadi simbol pelindung dalam cerpen Sungging Raga; karena itu keempat cerpen ini tetap terikat oleh tema besar mengenai cara manusia bertahan dalam tekanan, pertentangan batin dan benturan dengan lingkungan atau orang lain. Melalui Janitra yang menghadapi tekanan rumah tangga, macan betina yang kehilangan pasangannya, arca harimau yang menjadi saksi sejarah manusia selama seribu tahun, serta Nalea yang menemukan perlindungan pada seekor harimau yang baik hati. Tampak bahwa keempat pengarang menghadirkan metafora baik berupa hewan, benda maupun musik untuk menyoroti kerapuhan dan kekuatan manusia ketika berhadapan dengan luka atau ancaman.

Dari sisi judul keempat cerpen tersebut menunjukkan pendekatan topik yang berbeda sekaligus memberikan awalan mengenai fokus dan tujuan masing-masing cerita. Judul Apa yang Paul McCartney Bisikkan di Telinga Janitra? bersifat interogatif sehingga secara otomatis membangkitkan rasa penasaran pembaca. Judul ini menekankan dimensi batin tokoh karena kata bisikan merujuk pada lagu Let It Be yang menjadi sumber ketenangan dan refleksi Janitra, sehingga dari judul saja pembaca sudah bisa mendapat petunjuk bahwa cerpen ini berorientasi pada pengalaman psikologis dan introspeksi tokohnya. Di sisi lain judul Macan karya Seno Gumira Ajidarmasangat singkat, padat dan langsung namun justru ketajamannya memberi kekuatan simbolik yang besar. Dengan satu kata saja, judul ini tidak hanya menunjuk pada subjek utama cerita tetapi juga terdapat kritik terhadap ketidakadilan ekologis dan konflik manusia-lingkungan sehingga kesederhanaannya memperkuat pesan sosial dan kritis cerpen tersebut.

Sementara itu judul Mata Harimau mempersempit perhatian pembaca hanya pada aspek mata, secara KBBI sendiri mata merupakan alat penglihatan, titik atau inti sesuatu, serta simbol atau tanda, yang secara metaforis pada cerpen Mata Harimau berfungsi sebagai saksi bisu sejarah panjang Nusantara, menekankan bahwa tema yang diangkat bukan sekadar tentang hewan melainkan tentang perspektif, pengamatan dan kesadaran historis. Berbeda lagi judul Harimau dan Gadis Kecil langsung menghadirkan dua tokoh yang kontras yaitu seekor harimau dan seorang anak kecil yang sejak awal menunjukkan hubungan unik antara kekuatan dan kelembutan, sekaligus membangun ekspektasi naratif mengenai interaksi antara tokoh manusia dan alam.

Jika dibandingkan keempat judul ini menunjukkan perbedaan orientasi yang jelas: judul Sasti Gaotama paling introspektif dan psikologis, judul Seno paling simbolik, judul Anton Kurnia paling historis dan metaforis, sedangkan judul Sungging Raga paling naratif dan menekankan relasi antartokoh, sehingga masing-masing judul tidak hanya sebagai penanda cerita tetapi juga sebagai pengantar bagi pembaca untuk memahami sudut pandang dan fokus tematik cerpen tersebut.

Kekhasan gaya dan teknik penceritaan empat pengarang ini dapat dibaca dari bagaimana mereka membangun citra, emosi dan ketegangan dalam cerita. Sasti Gaotama menggunakan sudut pandang orang ketiga, menampilkan gaya puitis yang konkret  misalnya pada kalimat,

“Setitik air menggantung di mulut keran. Lalu melonjong, lalu melayang, lalu terjatuh di bak cucian.” (CAYPMCBDTJ:2020)

dan repetisi “Tik! Tik! Tik!” (CAYPMCBDTJ:2020)

yang memperlihatkan bagaimana ritme bunyi menjadi penegas suasana batin Janitra yang tertekan tetapi berusaha tetap tenang. Kehadiran tokoh imajinatif si kumbang juga menandai kekhasan Sasti dalam mengeksplorasi psikologi tokoh perempuan melalui simbol batin.

Sementara itu Seno Gumira Ajidarma juga menggunakan sudut pandang orang ketiga,  menampilkan gaya realis-historis dengan sudut pandang yang tidak lazim yakni sudut pandang seekor macan betina yang menjadikan hewan sebagai subjek yang merasakan kehilangan dan ketakutan. Kalimat seperti,

“Baginya ini hanya suara-suara karena ia memang tidak mengerti bahasa manusia. Namun, ia memang bisa memangsa salah seorang di antaranya.” (M:2021)

Kalimat ini menonjolkan sudut pandang macan betina, hewan menjadi subjek yang merasakan dan menilai lingkungan serta ancaman manusia sekaligus menunjukkan naluri macan terhadap situasi sekitar.Selain itu, kalimat lain yang mendukung adalah,

 “Ia memang tidak memahami bahasa manusia, baginya itu hanya berarti suara-suara, tetapi nalurinya dapat merasakan ancaman.” (M:2021)

 Kalimat ini menekankan perasaan ketakutan dan kewaspadaan macan sesuai dengan gaya realis-historis yang dipakai Seno dengan sudut pandang yang tidak lazim.

Berbeda dengan Anton Kurnia menggunakan sudut pandang orang pertama menghadirkan gaya puitis dengan sentuhan historis yang kuat melalui narasi arca seribu tahun. Diksi-diksi seperti Jawadwipa, panembahan, wanodya, dan prabu linggasakti bukan hanya nuansa masa lalu tetapi juga menandai kekhasan Anton yang gemar menggabungkan sejarah, mitologi dan kritik peradaban, menempatkan arca (Maung Lodra) sebagai narator non-manusia yang mampu melihat dan menyimpan memori peristiwa manusia, termasuk cinta, konflik dan kehancuran. Kalimat,

“Sejak itu aku menjadi saksi berbagai perkara dalam lintasan sejarah. Mataku melihat semuanya. Di tubuhku tersimpan berlaksa ingatan akan keping-keping peristiwa yang terpatri seiring perjalananku menembus zaman.” (MH:2022)

Dan juga kalimat “Dapat kubaca pertanyaan yang terlintas di kepalamu: bagaimana mungkin arca bisa berpikir dan merasa? Jika kau mengira benda-benda yang seakan tak bernyawa itu tak punya jiwa, tak bisa merasa, dan tak sanggup bercerita, kau sungguh keliru. Aku memang tak bisa bicara, tetapi aku bisa bercerita.” (MH:2022)

Kalimat ini menunjukkan kekhasan Anton dalam memberikan sudut pandang non-manusia yang reflektif dan histori, sehingga pembaca diajak melihat sejarah dan peristiwa dari sudut pandang yang unik, memperlihatkan bagaimana sejarah dipadatkan dalam pandangan simbolis sebuah arca.

Adapun gaya Sungging Raga menggunakan sudut pandang orang ketiga dan dengan cenderung sederhana, hangat dan sangat visual misalnya ketika ia menuliskan,

“Belum sempat ada yang bergerak, tiba-tiba harimau itu bangkit lebih dulu. Dengan terpincang-pincang, harimau itu berlari mendekati sungai, lalu, hup! Harimau itu melompat dan berenang mengejar Nalea.” (HDGK:2024)

Yang menunjukkan keharmonisan antara manusia dan hewan. Berbeda dari pandangan umum bahwa harimau itu berbahaya. Bahasa Sungging tidak serumit Anton atau seintens Seno tetapi kekhasannya justru ada pada kehangatan narasi yang cocok bagi pembaca pemula.

Dari keempat cerpen ini terlihat bahwa setiap pengarang punya cara unik dalam menyampaikan makna dan perasaan tokohnya. Sasti Gaotama menekankan sisi psikologis dan perasaan batin tokoh; Seno menyoroti kritik sosial dan kepedulian terhadap lingkungan; Anton memadukan cerita sejarah dengan simbol-simbol puitis; sementara Sungging Raga menonjolkan kehangatan, ketulusan dan hubungan harmonis antara manusia dan alam. Jika keempat cerpen ini dibaca bersama, mereka membentuk gambaran utuh tentang bagaimana manusia menghadapi tekanan dan tantangan hidup.

Penulis

  • Selviana Indah Ayu Sari

    Selviana Indah Ayu Sari. Ponorogo, Jawa Timur. Mahasiswa bahasa dan sastra indonesia STKIP PGRI PONOROGO.  Ig @ selvianaaindah_


Comments

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Cerpen Puji M. Arfi

Cerpen: Perjalanan Panjang Mencari Sebuah Angka

Apacapa Moh. Imron

Madubaik: Manis Kadang Bikin Menangis

Cerpen Imam Sofyan

Negeri Kocar-Kacir

Apacapa Fadhel Fikri

Revolusi Digital dan Keterasingan Sosial: Siapa yang Diuntungkan?

Agus Hiplunudin Cerpen

Cerpen: Perempuan Capung Merah Marun

Agus Hiplunudin Apacapa Esai

Merajut Kembali Keindonesiaan Kita Melalui Gotong Royong di Era Millennials

Nurillah Achmad Puisi

Puisi : Levhicausta Karya Nurillah Achmad

Apacapa Nanik Puji Astutik

Kenapa Tuhan Menciptakan Rindu?

Apacapa M. Indra Kusumayudha S.H.

Optimisme Penegakan Hukum di Tengah Resesi Ekonomi dan Pandemi Global

Nida Nur Fadillah Puisi

Puisi: Angin Misterius

Irwant Musik Ulas

Lek Marni dan Interpretasi Perasaan

Apacapa Madura

Parabân Nyangsang

Apacapa Kakanan Situbondo

Tajhin Sora

Cerpen Ulfa Maulana

Cerpen: Peri dan Kekuatan Kenangan

Apacapa Esai Khossinah

Dari Secagkir Kopi ke Minuman Instan

Apacapa Marlutfi Yoandinas Situbondo

Refleksi September Hitam

Prosa Mini

Cerita: Ghangan Oto’

Mored Puisi Silvana Farhani

Puisi Mored: Sabit Hingga Purnama

alif diska Mored Moret

Puisi Mored: Kepada Bumi dan Manusia

Mored Rini Yulianti

Cerpen Mored: Sang Keramat Batu Pandhusa