
Akhir adalah awal
Perasaan ingin menikah semakin bergebu, barangkali menjadi sesuatu yang harus segera saya capai. Setidaknya dalam 3–5 tahun ke depan. Saya ingin menikah di antara usia 25–30 tahun. Di kampung halaman, saya termasuk pemuda yang terlambat menikah. Banyak teman-teman di bawah usia saya sudah menikah, bahkan sudah punya anak, ada juga yang sudah bersekolah SD. Saya tidak peduli dengan keputusan teman-teman di kampung. Saya mengabaikan ucapan-ucapan tetangga ataupun saudara yang mempertanyakan kapan saya akan menikah. Kala itu, usia saya sudah memasuki 27 tahun. Tapi di sisi lain, ketika saya segera menikah mungkin hal itu juga diinginkan ayah dan membuatnya bahagia, setidaknya tugas dan tanggung jawab mulai berkurang.
Saya sudah mempunyai seorang perempuan yang ingin dinikahi. Kebersamaan dengan sosok itu kerap muncul dalam angan dan harapan. Sewaktu senggang, saya duduk sendirian di rumah baca Damar Aksara. Saya menghubungi seseorang yang dekat jika berbicara asmara. Anggap saja namanya Raflesia. Itulah sosok yang ingin saya nikahi. Di telepon, saya berbicara banyak termasuk keinginan untuk melamarnya. Rupanya Raflesia masih belum siap, meski hanya untuk bertunangan. Memberikan isyarat untuk mencari perempuan lain jika terburu-buru, tapi tetap saling berkomunikasi dan memberi kabar seperti biasanya.
Saya menolak. Saya justru menawarkan sebuah akhir kepada Raflesia. Biar semuanya tampak jelas bagaimana perjalanan saya ke depan. Saya lelah bertahan dalam ketidakpastian. Di ujung telepon itu, saluran telepon putus, diiringi dan dua hati juga putus.
Saya menarik napas dengan gemetar di dada, terasa berat. Tapi ketika diempaskan dengan pelan, terasa ringan. Saya memejamkan mata, dieratkan dengan kedua telapak tangan sembari tiduran. Di suasana sunyi, bayangan Raflesia hadir. Kebersamaan yang pernah kami lalui terlihat dengan jelas. Saya larut dalam kebersamaan yang dihadirkan oleh kenangan. Dari sorot mata, senyuman, kerudung, dan ketika melambai dari jauh.
Jika ingin melupakan seseorang yang dicintai maka teruslah mengingatnya, nanti akan bosan dengan sendirinya.
Entah siapa yang mengatakan, saya sedikit terpaku memikirkan kata itu sepintas dan saya pun menganggap itu konyol. Sebenarnya tanpa disadari, saya pasti menjalankan nasihat itu. Mungkin efek dari kehilangan seseorang itu. Saya merenung di setiap ada kesempatan, saya mengingat Raflesia lagi di waktu-waktu tertentu. Perasaan menyalahkan keadaan kadang datang menghampiri, mengapa seperti ini, mengapa tidak bisa bersama, mengapa ia tidak mau, haruskah mencari yang lain. Sampai juga dengan pertanyaan, kenapa saya kenal dengan Raflesia dan jatuh hati? Raflesia berada di wilayah cukup jauh meski dalam kabupaten. Bagi saya itu tidak masalah, bukankah cinta tidak mengenal jarak?
Saya mengenal Raflesia sejak ia kelas 3 SMA. Ia berasal dari lingkungan keluarga yang tidak bebas atau mudah bertemu dengan laki-laki. Tidak bebas berjalan-jalan ke wisata, nongkrong di kafe, tidak bebas untuk bertatap wajah.
Ketika Raflesia kuliah, dia meminta untuk mengakhiri hubungan dengan saya. Ingin fokus kuliah, katanya. Dengan perasaan berat, saya menerima keputusannya meskipun saya mencoba meminta Raflesia untuk bertahan. Tidak apa-apa tidak menghubungi saya, tidak saling berkomunikasi demi fokus belajar. Bagi saya yang penting bukan perpisahan sebagai akhir. Tapi, Raflesia tetap bersikukuh untuk mengakhiri hubungan.
Entah berapa tahun kemudian, ia mengajak saya untuk CLBK. Ia meminta maaf dan menjalani lagi hubungan dengan saya. Raflesia juga menyempatkan diri untuk bertemu ketika sedang pulang kampung. Atau ketika saya mengunjungi kota tempat Raflesia kuliah, saya juga menyempatkan untuk bertemu. Pertemuan-pertemuan sederhana membuat saya bahagia. Saya mulai menjalani hari penuh semangat, bunga-bunga seperti tumbuh di pinggir-pinggir jalan seperti hologram.
Setelah semakin dewasa, mungkin Raflesia punya pandangan sendiri soal masa depannya termasuk pertimbangan dari keluarga. Mungkin ia masih ingin menyelesaikan kuliah dulu atau fokus kariernya. Pada akhirnya, saya tidak perlu menyalahkannya ketika semua ini berakhir. Raflesia juga punya hak dengan siapa ia ingin bersama. Dengan siapa ia ingin menikah. Termasuk akhir hubungan dengan saya untuk yang kedua kali.
Barangkali sayalah yang tidak berusaha menjadi lelaki yang ia impikan. Tidak menjadi lelaki yang ia takut kehilangan. Tidak menjadi lelaki yang dianggap punya masa depan cerah. Tidak menjadi lelaki yang ia banggakan. Lelaki dekil, lelaki yang tidak rapi dalam berpakaian, rambut gondrong, kerempeng, dan pengangguran.
Istirahat
“Jika tetap di sini, tidak akan berkembang. Tidak apa-apa jika sembari mencari pekerjaan lain,” kata pemilik warnet.
Setelah empat tahun bekerja sebagai operator warnet, saya tidak menyangka pemilik warnet akan berkata seperti itu. Saya tidak langsung menjawab, tapi diam sejenak. Saya menganggap itu bentuk kepedulian. Ia mengatakan itu setelah saya selesai wisuda.
“Jika di warnet, karirmu tidak akan berkembang, gajinya tidak akan naik,” lanjut pemilik warnet.
“Setahun lagi, saya akan berhenti,” saya pun menjawabnya. Saya sudah memikirkan dengan penuh pertimbangan.
Maka ketika setahun berlalu, saya benar-benar berhenti bekerja sebagai operator warnet. Saya mengalami hari-hari yang tidak biasa. Syok. Sebenarnya saya baik-baik saja bekerja di warnet. Sebagaimana di awal memilih pekerjaan ini, supaya memudahkan tugas kuliah, bisa main game, main media sosial sepuasnya. Sejak masih kanak-kanak, saya mulai bermain ding-dong, Nintendo, dan PlayStation. Kemudian ketika SMA, hiburan mulai bergeser ke warnet untuk mIRC, YM, Friendster, Facebook, dan game Counter Strike dan Point Blank.
Selama bekerja di warnet, saya tidak pernah libur, kecuali dua hari raya, itu pun tidak lama dan ketika saya sakit. Menjadi operator warnet rupanya membawa saya untuk belajar banyak hal. Misalnya saya mulai menyukai desain grafis dengan Corel Draw dan Photoshop. Kadang juga membaca cerita atau esai di media online, membuat blog. Mulai sering dengar musik dan nonton film, kemudian diunduh mengunduhnya dengan menunggu kualitas Blu-ray untuk dibagikan kepada pelanggan warnet.
Di sisi lain, saya lelah. Saya tidak punya waktu libur. Saya tidak punya waktu untuk berkumpul bersama teman atau mengikuti kegiatan komunitas. Saya ingin beristirahat dalam kurun waktu setahun. Saya ingin bebas, bisa ke mana saja dengan suka-suka.
Kehidupan saya menjadi nokturnal, tidur dimulai setelah subuh, bangun setelah azan Zuhur. Sore sampai malam tidak pernah tidur. Momen itu saya manfaatkan untuk senang-senang, nongkrong di mana saja. Kemudian saya mencoba mencari pekerjaan lagi, ternyata susah. Saya masih terpengaruh gengsi, cara pandang saya mulai berubah. Padahal tinggal di desa juga banyak pekerjaan jika saya tidak gengsi.
Dua tahun setelah berhenti menjadi operator warnet, saya masih pengangguran. Ditambah lagi punya keinginan untuk menikah, sementara sosok yang dicintai sudah saya relakan meskipun tidak benar-benar rela. Mau gimana lagi. Terpaksa saya melewati hari tanpanya. Hari yang cukup berat, dengan dua kehilangan. Anggap saja, Tuhan mengirim dia untuk menguji saya supaya lebih kuat, keadaan ini supaya saya lebih sabar, tidak mudah menyerah dan tidak putus asa.
Rasa sakit, sedih, kecewa selalu datang menghampiri. Kepergian Raflesia mungkin salah satunya. Itu sudah menjadi bagian dalam kehidupan. Yang terpenting dari semua itu bagaimana saya bertahan dan melewatinya. Sebaliknya, banyak hal yang juga membuat saya senang. Menjalani hari dengan senyuman, berproses, dan menekuni hobi adalah salah satunya. Ya, saya hanya tetap menekuni keterampilan-keterampilan apa saja yang ingin saya kuasai sejak menjadi operator warnet.
Saya menganggap, menjadi pengangguran lepas adalah ketika saya tidak melakukan sesuatu yang bermanfaat dan menghasilkan untuk diri, dan itu tidak harus berupa materi, sebab bisa saja manfaatnya bisa datang kemudian. Maka sesekali saya juga bermalas-malasan, membuang-buang waktu tanpa menghasilkan apa-apa. Bagi saya, itulah pengangguran.
Awal tahun 2018, saya memutuskan menerbitkan buku untuk pertama kali meski hanya menerbitkan secara mandiri. Awal tahun itu, saya harus menyambutnya dengan mimpi baru. Dalam dua tahun terakhir selama menjadi pengangguran lepas, saya menyempatkan untuk belajar menulis catatan atau cerita pendek dengan mengetik di HP Samsung Young Duos. Saya cukup percaya diri untuk mencetak 150 eks. Buku yang berisi kumpulan cerpen dan catatan perjalanan. Paling tidak, saya bisa mendapat pemasukan untuk pertama kali dari berjualan kata-kata. Sekaligus penyemangat bahwa saya pernah belajar berproses, sebagai dokumentasi bahwa saya pernah terluka.
Sekitar dua puluh lebih buku sudah terdistribusi. Saya baru mengetahui bahwa ada dua halaman yang kosong, disebabkan kesalahan percetakan. Saya mengoreksi softcopy, ternyata masih lengkap. Saya menghubungi kembali percetakan dan buku tersebut diminta untuk di-return sesuai jumlah bukunya.
Saya mulai menghubungi orang yang sudah membeli untuk ditukar. Ada sebagian buku yang saya ambil, terutama yang saya kenal. Ada yang saya biarkan dan akan diganti setelah buku selesai. Dalam proses itu saya tidak begitu bersemangat. Buku yang akan di-return terlambat saya kirim ke percetakan. Meskipun begitu, percetakan berkomitmen menggantinya. Setelah buku terbit, akhirnya saya menerima kembali buku itu. Mengganti buku-buku yang cacat. Buku ini bukan membuat saya untung, tapi rugi uang dan waktu karena saya sudah malas promo dan berjualan.
Di sela itu, saya mengetahui Raflesia sudah melangsungkan pernikahan dengan lelaki pilihannya. Saya mengetahuinya lewat foto yang dibagikan Raflesia di Instagram. Saya tidak perlu mencari tahu mengapa tiba-tiba menikah. Bagi saya, hal tersebut menegaskan bahwa saya dan dia benar-benar harus menjalani kehidupan masing-masing. Meskipun kabar itu membuat saya sedikit merasakan sakit lagi, yang susah dijelaskan.
Maka saya pun tidak bersemangat. Tapi saya tetap mengganti semua buku yang cacat, mengantarnya ke pembeli, dan hanya tinggal seorang perempuan yang sempat saya lupakan. Saya menghubunginya bahwa bukunya akan ditukar. Kami bersepakat bertemu di alun-alun. Saya berharap dengan perempuan itu tidak hanya menukar buku tapi juga perasaan. Hehe. Di pertemuan kedua ini, saya ngobrol lebih lama dan benar-benar merasa nyaman.
Saya menyadari, betapa sulitnya mencari pasangan apalagi untuk bersama seumur hidup. Di hari-hari berikutnya, saya memberanikan diri untuk mendekatinya. Perempuan itu pun memberi kesempatan pada saya untuk saling mengenal. Saya dan perempuan itu menyempatkan bertemu beberapa kali untuk saling bercerita, untuk saling mengenal diri masing-masing. Kami bersepakat untuk tidak pacaran. Usianya hanya terpaut dua tahun lebih muda dari saya dan sedang menyelesaikan program magister. Kelak, perempuan itu benar-benar menjadi istri dan ibu dari anak saya.
Tinggalkan Balasan