Cerpen : Hujan di Paris Karya Andhy Kh


Dia bercerita
tentang hujan. Hujan yang turun membasuh tubuhnya. Dulu dia sering bermain bola
di tanah kelahiran saat matahari terik maupun hujan turun bersama kawan-kawan
klubnya dan dia berhasil meraih pencapaian gemilang. Kini dia tersenyum kecut
sembari di dadanya tersimpan isak-tangis kepedihan. Dia merasa terluka, sakit
hati, dan kecewa karena federasi tim sepak bola yang dia tukangi, secara
sepihak dan tiba-tiba membohonginya.
“Cukup
sering,” katanya pada perempuan yang baru dikenalnya itu di Castel Cafe
pada suatu sore, “aku tiba-tiba dibuat kecewa olehnya. Saat mereka
meminta maaf, entah mengapa aku memaafkannya dan menerimanya lagi. Namun, tidak
lama setelah itu, mereka kembali membuatku kecewa. Entah bagaimana lagi sikapku
kepada mereka, hingga kemudian aku memutuskan pulang ke negaraku,
Spanyol.”
Perempuan yang
baru dikenalnya itu ikut merasakan kepedihan di hatinya. Dia berpikir apakah
seseorang dipertemukan dengan cara demikian? Tuhan menciptakan bahu seseorang
untuk bersandar. Tuhan juga menciptakan hati untuk merasakan dan menampung
kepedihan seseorang. Jika benar hati seseorang sedalam dan seluas lautan, maka
semua rasa kecewa, sakit hati, dan kepedihan akan melebur bersama canda-tawa
dan kebahagiaan. Dan bahu seseorang bagaikan sebidang pantai, tempat
ombak-ombak berjuluran.

“Mungkin
tanpa sadar kau telah membuat federasi itu kecewa,” ujar perempuan itu.
“Aku tidak
tahu. Aku suka bola. Aku suka mengajari anak-anak bagaimana bermain bola yang
indah, bagus, dan berkualitas. Aku suka melihat hasrat belajar anak-anak itu
berkobar dan itu tampak sekali jika kemampuan bola mereka tumbuh-berkembang.
Aku pikir aku tidak pernah setengah-setengah.”
“Aku tahu
hatimu pada mereka kok,” balas perempuan itu, “betapa
tulusnya…”
“Ketulusan
yang tidak dihargai ya,” katanya lirih.
Segelas rum di
depannya dia raih dan satu tegukan disesapnya pelan. Rambut ikalnya yang pirang
itu tampak mulai ditumbuhi helai-helan uban. Dia tiba dari Spanyol kemarin. Di
Paris, dia tinggal di sebuah hotel hanya beberapa mil dari Menara Eiffel.
Menyusuri Avenue
de Suffren,
sendirian dia berjalan sore itu, lalu setelah mendapati Castel
Cafe
menghadap Menara Eiffel, dia tertarik dan masuk ke dalamnya. Itu
adalah sebuah kafe yang menjadi selera kesukaannya. Kafe modern yang menurutnya
artistik dan cantik.
“Mungkin iya,
ketulusanmu tidak dihargai federasi itu,” komentar perempuan itu,
“tapi para fans tim sepak bola negeri itu kupikir merasakan dan menghargai
ketulusanmu. Begitu juga anak-anak asuhmu di sana. Bukankah begitu?”
Lelaki itu
tersenyum. Ya, benar, dia tersenyum. Wajahnya sedikit lebih cerah ketimbang
sebelumnya. Dia pasti sedang membayangkan kenangan saat-saat indah di negeri
itu. Bagaimana suasana kota, aroma udara, masakan, juga perilaku baik
orang-orang kepadanya selama sekitar satu setengah tahun tinggal di sana.
“Anak-anak
dan staf tim berlaku baik padaku, tentu saja aku senang dan berterima kasih
padanya. Hanya satu, federasinya yang bobrok.”
Begitu memasuki Castel
Cafe
dan memesan segelas rum, dia melihat sekitar dan menemukan hanya ada
sebuah kursi kosong di pojokan dengan seorang perempuan tengah duduk sendirian.
Perempuan itu berpenampilan kasual dan terkesan ramah. Rambutnya panjang dan
pirang, dibiarkannya terurai. Dia mendekatinya, meminta ijin duduk di sana, dan
begitulah dia memulai perkenalan dan saling bercerita.
Nama perempuan itu
Jessy. Dia datang dari London ke Paris untuk liburan. Dia juga mengaku
berkunjung ke negeri itu sendirian. Sama 
seperti lelaki itu yang datang dari Spanyol ke Paris sendirian hanya
untuk liburan. Keduanya pun menyadari ada kesamaan tujuan.
“Sebenarnya,
Luis,” kata perempuan itu mengaku, “aku datang ke sini untuk
menenangkan diri dan mengambil jarak dari negeriku.”
“Benarkah?
Kalau begitu, itu juga yang sebenarnya aku pikirkan.”
“Baiklah. Apa
kau ingin berbagi kisah denganku?” tanya perempuan itu. “Aku akan
sangat senang mendengarnya. Ayolah, setelah itu aku yang akan berbagi kisahku
padamu. Bagaimana, sepakat?”
Lelaki yang
bernama Luis itu mengangguk setuju. Namun, apa benar seorang lelaki dulu yang
bercerita baru kemudian perempuan? Itu yang muncul dalam pikiran Luis. Niatnya
untuk saling berbagi kisah menurut Luis mesti mengikuti etika juga, agar nanti
tidak ada yang dikecewakan.
Ladies
first,
” usul Luis yang dibalas senyuman manis Jessy.
“Apakah itu
aturan wajib?” tanya Jessy merasa enggan. “Eh, kenapa sih untuk
memulai saling berbagi kisah saja mesti ada aturan siapa yang duluan?
Jangan-jangan kita manusia memang suka diatur-atur. Padahal kalau aku sendiri,
aku lebih senang tidak diatur seperti itu. Terlalu repot tahu! Maaf, Luis, aku
orangnya lebih suka bebas. Kalau misal ada aturan, aku sendiri yang membuat
aturan untuk diriku.”
“Pengakuan
yang manis dan jujur,” puji Luis. “Aku sependapat.”
“Terima
kasih. Jadi mau gimana nih? Siapa yang cerita duluan?”
“Menurutmu?”
“Kalau
menurutku, mending mengalir saja. Lebih enak. Lebih bebas.”
“Baiklah. Aku
setuju.”
Setelah keheningan
beberapa menit diantara mereka, hanya saling bertatapan sembari terkadang
memandang ke arah megahnya Eiffel, Luis memulai kisahnya. Dia mengakui kalau
dirinya telah menikah dan memiliki dua orang anak. Dia baru saja didepak secara
sepihak oleh federasi yang pernah dia lakoni guna mengasuh tim sepak bola.
Sepak bola adalah olahraga kesukaannya. Dia sendiri dulu bermain di salah satu
klub kebanggaan di Eropa. Sering ketika hujan turun, dia tetap bermain dan
pernah sewaktu kecilnya, dia bertelanjang dada dan hanya mengenakan celana
pendek hitam sambil bermain bola di lapangan bersama teman-temannya.
Kisah tentang
hujan turun mengguyur tubuh Luis yang telanjang itu membuat Jessy tertawa.
Baginya itu adalah kisah sederhana, tetapi luar biasa. Namun, kisah tentang
skandal federasi yang menimpanya membuat Jessy ikut larut dalam kepedihan Luis.
Dari situlah Jessy memintanya untuk bercerita lebih dan Jessy siap menyediakan
dua telinganya.
“Begitulah
kekecewaanku pada federasi itu membuatku bertolak ke Paris hingga kita pun
bertemu dan mengobrolkannya saat ini,” Luis mengakhiri kisahnya.
“Nah, kini giliranmu berbagi kisah, Jessy.”
Jessy diam. Dia
meraih segelas scotch di depannya yang sisa separuh. Dia melihat ke
luar. Langit Paris dengan pemandangan Menara Eiffel tiba-tiba tampak muram di
matanya. Hujan turun mengguyur Paris. Salah satu kota romantis di dunia itu
perlahan basah dibasuh hujan. Jessy masih diam, bahkan ketika tangan Luis
meraih bahunya.
Sewaktu Jessy
menolehkan wajahnya menghadap Luis, air matanya mengalir deras tanpa isakan.
Hanya bulir-bulir air mata yang jatuh dan meleleh di kedua pipinya. Luis
kebingungan. Hatinya tersentuh.
“Jessy,”
tanya Luis pelan. “Kamu kenapa menangis?”
Jessy tak kuasa
menjawab. Sepatah kata pun Jessy tak bisa berkisah. Dia hanya ingin bersandar
pada bahu seorang lelaki, siapa pun saja orangnya. Luis mendekatkan kursinya
pada Jessy hingga keduanya duduk berdekatan. Tak peduli lagi pandangan orang
yang bisa saja menyebut tindakannya sebagai affair, Luis kemudian
menyodorkan kedua bahunya untuk dijadikan sandaran perempuan itu. []
–untuk Coach
Luis Milla Aspas.
Cerpen “Hujan
di Paris” ini ditulis oleh Andhy Kh.

Andhy Kh
dilahirkan di Kebumen, Jawa Tengah. Pernah belajar di UIN Sunan Kalijaga
Yogyakarta.

Penulis


Comments

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Cerpen Yudik Wergiyanto

Cerpen : Geger Karang Gegger Karya Yudik Wergiyanto

Cerpen Devi Tasyaroh

Cerpen: Menggadai Kebahagiaan

Apacapa Buku Muhammad Fadhil Alfaruqi Resensi Ulas

Resensi: Si Anak Cahaya

Apacapa apokpak N. Fata

Cahaya Literasi dari Ujung Langit Baluran

Pantun Papparekan Madura Totor

Pantun Madura Situbondo (Edisi 6)

Cerpen Salwa Ratri Wahyuni

Cerpen: Pohon Jeruk Bali Simbah

Apacapa Indra Andrianto

Merayakan Lebaran: Ada yang Hilang

Ahmad Zaidi Cerpen

Kematian Bagi Kenangan

Alif Febriyantoro Cerpen

Cerpen: Bunga-Bunga Berwajah Ibu

Apacapa Mored Vania Callista Artanti

Curhat: Pak Menteri, Kami Jenuh!

Apacapa

Sudahkah Anda Konsisten?

Apacapa Nanik Puji Astutik

Menjadi Perempuan Cerdas di Era Milenial

Apacapa redaksi

Kampung Langai, Dik: Apa Kamu Gak Mau Nonton?

Ahmad Syauqil Ulum Puisi

Puisi – Nostalgia Bangunan Tua karya Ahmad Syauqil Ulum

Febrie G. Setiaputra Resensi

Resensi: Sunyi di Dada Sumirah

Apacapa Esai Tjahjono Widarmanto

Menghikmati Sejarah

Agus Hiplunudin Apacapa

Meningkatkan Mutu Pendidikan Melalui Profesionalisme Asesor

Apacapa fulitik masrio

Mimpi Mas Rio untuk Situbondo

Buku M Firdaus Rahmatullah Ulas

Ulas Buku: Cerita-cerita Kemanusiaan Orang-orang Oetimu

Alex Apacapa

Sebuah Kado di Hari Pernikahanmu