Jika Marlina Terlahir di Situbondo

Barangkali tahun 2017 merupakan tahun emas perfilman
Indonesia. Beberapa judul film produksi anak negeri berhasil membawa pulang
beberapa penghargaan bergengsi. Selain itu, tentu saja, jumlah penonton film
Indonesia yang meningkat pesat dibanding tahun-tahun sebelumnya, merupakan
penghargaan sesungguhnya untuk sineas-sineas lokal. Jumlah itu tidak perlu
dibuktikan dengan data-data yang ribet. Saya sudah membuktikannya sendiri.
Biasanya, ketika menonton film Indonesia, saya tidak pernah mengantre hingga
sekian meter. Bahkan pernah, kala itu saya menonton film Siti (film terbaik FFI
2016), satu studio hanya diisi lima orang termasuk saya. Sekarang? Antrean
sungguh mengular. Sebut saja Pengabdi Setan, Ayat-Ayat Cinta 2, dan tentu,
Marlina Sang Pembunuh dalam 4 Babak. Film-film tersebut sukses membuat saya
ditolak mbak-mbak ticketing bioskop karena kursi habis.

Oleh : Raisa Izzhaty
Saya beruntung, Marlina, Sang Pembunuh dalam 4 Babak
dapat saya tonton saat pertama kali tayang di bioskop. Saya lupa saya menonton
dengan siapa. Maklum, menjadi single bukan berarti tidak punya teman nonton.
Saya sungguh menikmati film ini. Jujur, dari awal sampai akhir, saya seperti
membaca Feminist Thought, sebuah buku pengantar mahdzab feminis yang
tebalnya seperti muka Papa Setnov. Namun, sesuatu mengganggu saya ketika film
telah selesai. Suara Cholil yang apik membawakan music pengiring film
tersebut, Lazuardi, menemani pikiran pikiran mbeling  saya:
bagaimana jika Marlina tidak terlahir di Sumba, melainkan di Situbondo?
Kira-kira, berikut cuplikan adegan yang akan terjadi
ketika Marlina adalah warga kota santri.
1.     Marlina tidak naik kuda.
Ya, tentu. Marlina tidak akan naik kuda. Selain kuda
yang sungguh sudah jarang ditemukan di Situbondo (terakhir kali saya melihat
delman di Kendit dua tahun lalu), Marlina tentu lebih memilih Mega Pro atau
Vixion untuk membawa kepala Markus ke kantor polisi. Khayalan ini tidak lahir
tanpa logika dan data. Coba, siapa yang tidak pernah melihat perempuan
perempuan Situbondo dengan tangguh ngebut pakai Mega Pro/Vixion? Saya kagum
atas keberanian mereka. Tidak semua perempuan bisa dan mau pakai motor cowok.
Mereka tidak perlu kenal Beauvoir atau Friedan dulu untuk menjadi feminis. Saya
membayangkan pemeran Marlina, Marsha Timothy, duduk dengan gagah di atas Mega
Pro dengan menenteng kepala Markus. Tentu, tanpa menggunakan helm.
2.       Kepala Markus tidak dibungkus keranjang.
Apa guna kantung plastik Alfamart dan Indomart? Tidak
akan sulit menemukan keranjang Alfamart atau Indomart di Situbondo. Jumlah
minimarket kapitalis itu tentu, sungguh menjamur di Situbondo. Setiap seratus
meter ada. Kanan kiri. Bahkan, mereka berdiri berdampingan. Oh, sungguh sebuah
kerukunan antar umat minimarket yang mengesankan. Jadi, jangan heran kalau
pasokan kantung plastik dua minimarket tersebut sungguh membabi buta. Saya
kesulitan mencari kantung plastik polos di rumah. Apa apa selalu dibungkus
plastik minimarket. Tentu, Marlina tidak akan memilih keranjang yang berat,
toh, kantung plastik Alfamart lebih catchy.
3.       Marlina tidak naik Truk
Alat transportasi Marlina jika Marlina terlahir di
Situbondo bukanlah truk, melainkan colt (baca: ekkol). Jangan harap
Marlina akan bebas bernapas dan duduk dengan nyaman di dalam kendaraan ini.
Sopir akan tetap berkata ‘kosong’ meski bangku bangku sudah terisi penuh dan
napas penumpang sudah tinggal satu-satu. Belum lagi jika ada bapak-bapak tidak
tahu diri yang tega-teganya merokok di dalam ‘kol maut’ itu.
4.       Ikon adegan yang berbeda
Sumba dieksplorasi dengan baik di setiap adegan di
film Marlina. Begitupun ketika Situbondo yang menjadi latar tempat dalam kisah
Marlina. Keindahan alam Situbondo dengan padang savana di Taman Nasional
Baluran yang luas membentang akan jadi suguhan menarik dalam film. Marlina akan
ngebut dari arah Baluran menuju Polres Situbondo dengan membawa kepala
Markus yang telah dibungkus kantung plastik Indomaret. Kamera akan mengambil
gambar Marlina dari atas Mega Pro dengan latar belakang taman-taman kota Situbondo
yang asri, aspal yang bergelombang, baliho besar berisi gambar Bapak Ibu yang
sedang tersenyum, dinding-dinding perkantoran beraksen batik Situbondo, dan
tentu saja, sebuah ikon kota Santri, sebuah karya adiluhung yang sungguh
memukau: Tugu Ancak Agung.
5.       Suguhan warung di dekat kantor polisi yang
berbeda
Tepat di depan kantor polisi, Marlina mampir berhenti
di warung sate ayam. Jika Marlina terlahir di Situbondo, adegan itu akan tetap
ada. Namun, dengan ukuran sate ayam yang berbeda. Warga kota santri menyebutnya
‘sate lalat’. Meski bukan lalat sungguhan, ukurannya yang mini membuat pada
akhirnya penikmatnya setuju menamai sate ini sebagai sate lalat. Lokasi sate
lalat yang yahud? Tentu, sama persis dengan adegan film Marlina: depan Polres.
6.       Soundtrack yang berubah.
Tidak afdol rasanya jika soundtrack Marlina tidak ikut
menyesuaikan, jika Marlina terlahir di Situbondo. Soundtrack ini tentu, akan
menjadi suatu yang tidak terpisahkan dari film tersebut. Bedanya, kalau Cholil
dengan Lazuardinya memasarkan via spotify dan juga baru baru ini dalam bentuk
rilisan fisik, soundtrack Marlina versi Situbondo telah diajarkan di
sekolah-sekolah dan sungguh sangat wajib dinyanyikan pada setiap kesempatan
resmi. Sungguh pola pemasaran yang luar biasa. Jangan heran kalau adik adik
kecil, kelas 3 SD, sungguh hapal lagu ini di luar kepala. Atau barangkali,
pembaca takanta.id juga sudah hapal? Coba, mari kita nyanyikan bersama-sama,
sembari menutup segala omong kosong dalam tulisan ini. Eits, nyanyikan bagian
berbahasa Inggrisnya, ya. Jangan pura-pura tidak hapal!
Situbondo is My Beloved Town
The land of blessing peace and welfare
I have stepped
My Feet gently around the town
To live my life with worship intention

Penulis

  • Raisa Izzhaty

    Raisa Izzhaty mengawali kecintaannya terhadap dunia tulis menulis sejak menjabat sebagai pemimpin redaksi majalah SWARA SMASA. Ia melanjutkan studi di Fakultas Sastra di Universitas Negeri Malang serta Language Faculty Chiang Mai University, Thailand. Sempat menjadi tutor BIPA untuk mahasiswa asing, beriringan dengan aktivitasnya belajar menulis di Pelangi Sastra Malang dan Komunitas Penulis Muda Situbondo. Beberapa tulisan nya beredar di beberapa media massa, antologi, serta buku tunggal yang diterbitkan secara indie.


Comments

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Muhammad Rifki Puisi

Puisi : Guntur itu tak Pernah Ada Karya Muhammad Rifki

Cerpen Yolanda Agnes Aldema

Cerpen : 7 Tanda Kematian Waliyem

Alexong Cerpen Dody Widianto

Cerpen: Gelas, Pion dan Lukisan Picasso

Apacapa

Belajar Jurnalistik melalui SEMEJA DARING

alif diska Mored Moret

Puisi Mored: Di Ujung Senja yang Abadi

Buku Dani Alifian Resensi Ulas

Resensi: Mengarungi Latar Sosio-Kultural Masyarakat Minang

Apacapa Rahman Kamal

Menghidupkan Kembali Semangat Ki Hadjar Dewantara

Nurillah Achmad Puisi

Puisi : Nafsu Pohon Surga dan Puisi Lainnya Karya Nurillah Achmad

Cerpen Kakanda Redi

Cerpen: Ular-Ular yang Bersarang dalam Kepala

Apacapa Ipul Lestari

Memeluk Bayangmu di 1250 MDPL

Aang MZ Puisi

PUISI: Antara Lidah-Api Karya Aang M,Z.

Ahmad Zaidi Kuliner Situbondo

Nasi Karak, Takar dan Gesseng

Muhammad Lutfi 2 Puisi Puisi Anak

Puisi Anak Karya Muhammad Lutfi

Lelaki Sungai Puisi

Puisi: Diorama Talang Siring

Advertorial

Rekomendasi Popok Bayi Terbaik Sesuai Usia

carpan Fendi Febri Purnama Madura

Carpan: Sè Ronto

Cerpen Putri Oktaviani

Cerpen: Lelaki Berpayung Putih

Ahmad Zaidi Cerpen

Cerpen – Fragmen Nalea

Apacapa Haryo Pamungkas

Terapi di Warung Kopi

Buku H.O.S. Tjokroaminoto Indra Nasution Ulas

Ulas Buku – Islam dan Sosialisme karya H.O.S. Tjokroaminoto