Kematian Bagi Kenangan

Oleh : Ahmad Zaidi
Suatu malam, ketika jarum jam mengerat kesunyian. Seorang lelaki sedang duduk di kamarnya sendirian. Ia menunggu kantuk. Namun, sebelum kantuk itu benar-benar tiba, teleponnya berdering.
“Halo.”
“Kamu belum tidur?”
“Siapa ini?”
“Ini aku. Maaf malam-malam begini mengganggu.”
Telepon dimatikan. Lampu kamar dipadamkan. Lelaki itu berbaring. Berusaha memejamkan matanya. Lalu kenangan mengucur deras menghantam tanpa notifikasi sebelumnya.
“Hanya ini yang bisa kulakukan demi melupakanmu.”
Ia ingat pada suatu sore, di sebuah pemakaman tua bersama seorang perempuan yang dulu adalah kekasihnya. Keduanya baru saja bersepakat untuk saling melupakan. Setelah sebelumnya adalah sekumpulan kebersamaan yang pernah mereka upayakan, kini tiba saatnya mereka harus tabah melepaskan. Mereka memandangi dua nisan di atas gundukan kenangan yang baru saja dikuburkan.
“Selanjutnya,  waktu akan terasa panjang sekali sampai kita benar-benar saling melupakan.”
Keduanya saling berpandangan. Pandangan yang lebih menyerupai sebagai usaha untuk saling membenci.
“Aku benci pipimu yang selalu tampak kembung.”
“Aku benci rambutmu yang acak-acakan dan jarang disisir.”
“Aku benci matamu yang seperti menjeratku di dalamnya.”
“Aku benci tatapanmu yang selalu menarikku untuk masuk lebih jauh ke dalamnya.”
“Aku benci kamu.”
“Aku benci segala hal yang ada pada dirimu.”
Selanjutnya mereka diam. Senja menyalakan warna-warna dramatis. Blekok terbang di atas mereka menuju sarang. Daun-daun cempaka berguguran menyerahkan diri kepada angin. Sementara langit seperti tengah bersiap menumpahkan kesedihannya.
“Untuk terakhir kalinya, bisakah kita berpelukan?” Pinta si lelaki kepada perempuan itu.
“Tidak. Aku ingin melupakan bau tubuhmu.”
Maka pada satu senja yang redup dan kelam, keduanya berpisah di gerbang pemakaman tua.
“Selamat tinggal.”
****
Lelaki itu masih saja berbaring. Hingga gawai di dekatnya bergetar.
“Kenapa dimatikan teleponnya?”
Sebuah pesan suara baru saja masuk.
“Aku minta maaf.”
Pesan suara kembali masuk, namun urung ia balas.
“Kenapa diam. Kamu marah, ya?”
Lagi-lagi pesan suara itu masuk.
“Untuk apa menghubungiku lagi, bukankah kita telah sepakat untuk saling melupakan? Kita telah selesai.”
Akhirnya ia membalas.
“Kamu baik-baik saja, kan? Aku hanya ingin memastikan itu.”
Sialan. Lelaki itu mematikan gawainya. Menutup mata.
Ia masih ingat saat pertama kali bertemu perempuan itu di acara pameran lukisan. Mereka berkenalan. Ia ingat senyum pertama yang ia terima dari perempuan itu. Ia tentu ingat pertemuan-pertemuan mereka selanjutnya di terminal. Ia ingat perjalanan yang pernah mereka tempuh. Perjalanan yang demikian jauh, kini mereka tiba di ujungnya. Ia masih saja ingat hal-hal kecil yang dulu biasa saja tetapi kini seperti ribuan jarum yang menusuk perasaannya. Mengapa hal yang dulunya teramat kita benci, bisa mendadak menjadi hal yang kita sukai dan rindukan? Ia ingat kalimat-kalimat sederhana menjelang tidur. Ia ingat ucapan selamat pagi. Ia ingat pelukan-pelukan hangat yang dijalarkan padanya. Ia akan ingat bagaimana pertama kali mengucapkan kalimat itu, kemudian mereka memutuskan untuk bersama. Kebersamaan yang tanpa ia tahu hanyalah menunda kesia-siaan belaka. Ia ingat karcis bus yang selama ini mereka kumpulkan dari tiap perjalanan. Ia ingat dengan sopir bus malam yang menyetel lagu dangut pantura. Ia ingat suara Via Vallen. Ia ingat teriakan lembut Nella Kharisma. Ia juga ingat dan tidak tahu bagaimana melupakan saat pertama kali mengajak perempuan itu naik kereta. Ia ingat suasana stasiun. Ia ingat dengan pengamen di ruang tunggu yang menyanyikan lagu romantis seolah ditujukan untuk mereka berdua. Ia ingat pula dengan pelabuhan, sewaktu mengajak perempuan itu menyeberangi lautan. Ia ingat ketika mabuk laut dan perempuan itu tertawa-tawa. Tawa yang renyah. Tawa yang sebaiknya segera ia lupakan.
“Selamat tinggal.”
Begitulah, mereka mengakhirinya dengan dua kalimat yang begitu berat. Setelah sebelumnya tak terhitung berapa banyak kalimat yang dipercakapkan. Kalimat yang kental dengan rencana masa depan dan impian jangka panjang mereka. Kalimat-kalimat pertengkaran yang berujung saling memaafkan. Kalimat-kalimat sederhana yang mengantar mereka untuk berpelukan.
Tanpa memandang sedikit pun ke arah si perempuan, lelaki itu berjalan menjauhi pemakaman. Perempuan itu menyusul pergi tak lama kemudian. Lalu hujan turun demikian derasnya. Jalan-jalan basah dengan aliran air yang menghanyutkan berbagai sampah plastik dan botol minuman. Seperti si perempuan, lelaki itu terus berjalan menembus hujan. Ia melihat sepasang kekasih berteduh di sebuah halte tua yang atapnya bocor. Halte yang sama, yang pernah menjadi latar kebersamaan dengan kekasihnya dulu. Hujan membuat segala hal yang sanggup diingatnya tampak lebih sendu dan memilukan. Hujan yang seolah turun hanya untuk membasuh kenangan sekaligus kesedihannya. Apakah kisah cinta yang berakhir hanya menyisakan dua hal itu?
Lelaki itu terus saja berjalan melewati deret pertokoan dengan sisa kenangan yang hampir habis. Jalan yang terasa menyempit dan teramat sesak untuk dilewati sendirian. Ia mempercepat langkahnya hingga tiba di persimpangan dan berbelok menuju kamar kost yang sempit. Begitu juga dengan si perempuan, terus berjalan di bawah guyuran hujan pada bagian lain kota itu. Di sudut-sudut kota yang menyimpan banyak kenangan mereka. Bagian kota yang menceritakan bagaimana keduanya memesan cokelat panas, berjalan menikmati keindahan taman dan menegaskan betapa di kota itu mereka sangat bahagia. Kebahagiaan yang kemudian runtuh tanpa mereka duga sebelumnya.
Lalu, saat keduanya sama-sama sampai. Lelaki itu berbaring di kamarnya yang terasa kosong. Si perempuan juga baru mengeringkan badannya. Keduanya kembali dihinggapi bayangan pemakaman tua. Bayangan yang menarik mereka untuk segera kembali namun mereka lawan sekuat tenaga. Seperti ada sesuatu yang tertinggal di sana.
Dan malam datang tanpa pernah permisi menabur benih kecemasan di antara keduanya. Malam yang terasa lebih panjang dan berjalan lebih lambat dari sebelumnya. Hingga si perempuan memutuskan menghubungi lelaki itu.
“Mari kita perjelas semuanya.”
Pesan suara kembali masuk.
“Sebenarnya berat untuk meninggalkanmu. Aku bahagia bersamamu. Aku bahagia dengan pertemuan kita. Kebersamaan konyol kita. Tapi kita lupa bahwa aku memiliki sesuatu yang tidak mungkin kutinggalkan. Aku telah berkeluarga. Kali ini, aku ingin membahagiakan mereka. Maafkan untuk semua kesalahanku.”
“Kamu boleh membenciku. Kamu boleh tidak membalas lagi pesan-pesanku. Kamu ingin menghilang dari hidupku? Aku tidak akan mencegahmu. Tapi tolong, berjanjilah satu hal untukku. Kamu harus baik-baik saja. Kamu harus lekas pulih. Itu saja.”
Dua pesan suara beruntun masuk.
“Akan kukabulkan permintaanmu.”
Lelaki itu membalas untuk terakhir kalinya. Dia mematikan gawai kemudian tenggelam dalam kesendiriannya. Sesuatu yang berat telah lepas dari punggungnya.
Maka, kisah mereka benar-benar telah berakhir menjelang petang di sebuah pemakaman tua. Tempat di mana mereka menguburkan kenangan di sana layaknya upacara kematian. Kematian yang sunyi dan miskin dengan kata-kata.[]
____
scoopwhoop.com


Penulis


Comments

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Apacapa Syarafina Khanza Digananda

Begini Serunya Training of Trainer (ToT) Menulis Cerpen

Apacapa Nurul Fatta Sentilan Fatta

Sudahi Tengkarnya, Baluran Butuh Kita

Buku Resensi Thomas Utomo Ulas

Resensi: Rahasia di Balik Pakaian Buatan Nenek

Madura Resensi

Resensi: Ajâgâ Alas Ajâgâ Na’Poto

Apacapa Irwant Kampung Langai

Festival Kampung Langai 4 Dibuka dengan Manis, Ditutup dengan Romantis

Apacapa

Ketika Jurnalisme Tidak Harus Selalu Bergegas

Nurillah Achmad Puisi

Puisi : Nafsu Pohon Surga dan Puisi Lainnya Karya Nurillah Achmad

Daffa Randai Puisi

Bekal Kepulangan dan Puisi Lainnya Karya Daffa Randai

Cerpen Putri Oktaviani

Cerpen: Lelaki Berpayung Putih

Ahmad Zaidi Buku Telembuk Ulas

Membaca Telembuk; Membaca Cinta yang Keparat

Buku M Ivan Aulia Rokhman Ulas

Ulas Buku – Menceritakan tentang Hubungan Manusia dengan Jasad di Kubur

Apacapa covid 19 Marlutfi Yoandinas

Di Tengah Pandemi Kita Bisa Apa?

Advertorial

Memiliki Banyak Rekening Bank, Memangnya Perlu?

Choirun Nisa Ulfa Prosa Mini

Prosa Mini – Irama Kematian

Buku Muhamad Bintang Resensi Ulas

Resensi: Pahlawan Nasional KH. Noer Alie (Singa Karawang Bekasi)

Mored Nurmumtaz Sekar Ramadhan

Cerpen Mored: Secangkir Kopi

Ahmad Zainul Hamli Apacapa Catatan Perjalanan

Malam ini Milik Kita Berdua

Apacapa MA Marzuqin

Apacapa: Ngobrolin Gus Dur: “Gus Dur, Sastra dan Wanita”

Apacapa Imam Sofyan

Kabar Duka itu Datang

Apacapa Esai Ihsan

Jejak Dua Pemuda: Rio Prayogo dan Mohammad Farhan