Puisi Nadhaman dan Hari Chairil Anwar

Malam Apresiasi Sastra Situbondo

Andaikata
puisi (sastra) adalah perjalanan, maka ia ada di masa silam sekaligus yang
menjelang. Bisa pula menjadi sebentuk atavisme, yang muncul lagi sekarang
setelah sekian generasi menghilang.
Sebagaimana
judul “Semoga”, karya Sofyan RH Zaid, dalam buku kumpulan puisi nadhaman
Pagar Kenabian:
yang
lepas kembali # yang tinggal abadi
Dalam
puisi adalah suatu keniscayaan untuk terus mengupayakan adanya harapan. Suatu
asa untuk ajeg mengenali keadaan, menggali dan menghayati keabadian, yang
mungkin luput atau bahkan belum terbahasakan.
Melalui
bahasa kemudian asa dengan mudah dieja, dilafalkan hingga dirapal, sehingga
segala sesuatunya menjadi bermakna. Karena makna inilah, sebuah perjalanan
layak untuk diteruskan.
Puisi
nadhaman yang diinspirasi dari tradisi tulis masa silam, kembali dihadirkankan
dengan tanda pagar. Pagar yang bukan hanya untuk mempertegas suatu batas,
tetapi lebih jauh tentang pemaparan atas dinamika suatu realitas.
Realitas yang seperti apa? Tentu saja realitas puitis: tentang rima dan
metafora.
Rima
yang bukan sekadar kepaduan bunyi akhiran antara jalang dan terbuang. Pun bukan
pula tentang metafora yang sekadar katanya begini, maksudnya begitu.
Realitas
puitis yang dimaksud ialah tentang kebebasan dan kemerdekaan. Membebaskan dan
memerdekakan puisi dari batas-batas untuk mencapai suatu kemungkinan yang ada
di luar bahasa, yaitu kebaruan.
Mempertemukan
antara momentum mengenang 68 tahun Chairil Anwar (28 April) dan Sofyan RH. Zaid
sebagai penulis buku kumpulan puisi nadhaman Pagar Kenabian adalah upaya untuk
menemukan kebaruan dalam sebuah perjalanan realitas puitis.
Semoga:
yang lepas kembali # yang tinggal abadi. Karena dalam puisi tidak ada silam,
sekarang atau yang menjelang, semuanya lèbur1. []

1.    
Lèbur [lЄ.bur] (bahasa Madura)
artinya menarik (senang, bagus, indah).
2.    
Pengantar diskusi dalam kegiatan Malam
Apresiasi Sastra Situbondo, 28 April 2017

Biodata Penulis
Marlutfi Yoandinas, Pendiri Rumah Baca Damar Aksara, Situbondo.

Penulis


Comments

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Apacapa apokpak N. Fata

DPRD Menggonggong, Pak Karna: Ngutang PEN Jalan Terus

Advertorial

Mengenali Gejala dan Cara Mengatasi Demam Berdarah Sejak Dini

Buku Penerbit Ulas

Buku: Embun yang Menari di Mataku

Agus Hiplunudin Apacapa Feminis Opini

Masih Lemahnya Peran Politik Perempuan di Pileg 2019

Ahmad Zaidi Cerpen

Cerpen; Clarissa

Apacapa Imam Sofyan

Sastra, Buku dan Tanah Air Yang Hilang

Apacapa Gusti Trisno

5 Judul Skripsi Ini Membuat Situbondo Layak Menjadi Kabupaten Ramah Skripsi

Hardiana Mored Moret Puisi

Puisi Mored: Ayah, Cinta, dan Nasihat

Puisi Syukur Budiharjo

Puisi: Sajak Kenangan Kota Tua

Puisi Syukron MS

Puisi: Kesaksian Burung Trinil

Apacapa Ardhi Ridwansyah

Bedah QLC Dalam Diri Seorang Pengangguran

Film/Series Review Film Setiya Eka Puspitasari Ulas

Review Film: Jaka Sembung dan Si Buta

Irwant Musik Ulas

Lek Marni dan Interpretasi Perasaan

Apacapa Imam Sofyan

Geliat Literasi dan Harapan yang Takkan Mati

Buku Ulas

Cinta Tak Pernah Tepat Waktu dan Badai Kenangan

Apacapa Catatan Perjalanan Uncategorized

Daun Emas Petani

fulitik

Mas Rio Bantu Biaya Pengobatan Warga Situbondo di Bali

Apacapa Supriyadi

Takbiran, Bunyi, dan Memori

Buku Rudi Agus Hartanto Ulas

Resensi: Tugasmu Hanya Mengizinkan

Puisi Servasius Hayon

Puisi: Minggu Pagi di Ruang Depan