Oleh Hafid Yusik*
Assaalamualaikum Kiai.
Semoga Kiai selalu dalam lindungan Allah Ta’ala. Izinkan saya bercerita dan menyampaikan
uneg-uneg yang dipantik oleh beberapa pernyataan Kiai dalam sebuah berita online.
Kiai Muhyiddin yang
saya hormati. Seorang kawan mengirim link berita kepada saya via WA. (https://narasinews.id/pcnu-situbondo-dukung-bung-karna-simak-kata-kiai-muhyiddin).
Saya membacanya pelan-pelan. Dan tertarik dengan beberapa pernyataan Kiai Muhyiddin
dalam berita tersebut. Maka saya menulis surat ini untuk jenengan, Kiai.
Begini, Kiai.
Point pertama. Kiai mengatakan
bahwa PCNU hanya bergerak di bidang politik kemaslahatan ummat. Saya tentu mengamini
dan setuju. Sepantasnya PCNU konsisten harakah dalam siyasah tegak lurus untuk kemaslahatan
ummat. Kolamnya memang politik kebangsaan, bergerak dengan tepat dan berkeadilan.
TAPI? Nyatanya, Kiai
sebagai KetuaTanfidziyah PCNU memilih menghadiri acara deklarasi dukungan untuk
“KARUNIA“ yang diadakan oleh Forkopontren. Semestinya, hal tersebut tidak
terjadi jika Kiai ingin menghindari asumsi dari warga Nahdliyin. Bahwasanya
Kiai benar-benar menjaga netralitasnya. Tapi Kiai … yang terlihat malah sebaliknya. Sayang sekali.
Kemudian.
Point Kedua. Jenengan
juga memuji kinerja Bupati Karna Suswandi dengan alasan itu suara rakyat bawah.
Katanya, pembangunan sudah merata. Tunggu dulu, Kiai. Pembangunan yang mana
kalau boleh tahu, Kiai?
Mohon maaf Kiai ada baiknya kalau kita komprehensif melihatnya.
Karena begini, saat saya bertanya kepada sejumlah masyarakat dari lintas komponen,
baik petani, nelayan dan lain sebagainya. Mereka itu cerita bahwa selama periode
pertama BK memimpin, pasar sebagai sektor pusat ekonomi tidak ada perbaikan bahkan
yang ada tidak terurus. Padahal kita tahu bahwa pasar adalah muara dari perekonomian
masyarakat. Apakah yang demikian dapat dikatakan pembangunan merata, Kiai?
Sekali lagi saya mohon maaf.
Kemudian, dalam hal
pertanian. Pupuk masih sulit-langka-plus-mahal. Janji untuk menyediakan dan memudahkan
itu hanya buaian dan janji belaka. Sementara program bibit BK 01 dan 02 Agritan
masih belum dirasa manfaatnya oleh masyarakat petani. Ini fakta. Mari kalau ingin
melihat langsung di lapangan, Kiai.
Sayangnya BK justru
lebih memilih membangun citra dengan muncul di TV Nasional lalu berbicara keberhasilan
dalam bidang pertanian tanpa manfaat yang nyata bagi masyarakat. Saya rasa prestasi
yang digelorakan itu semu belaka, Kiai.
Lalu… BLT Dana Bantuan Hasil
Cukai Hasil Tembakau (DBHCHT) TA 2023 tidak terealisasi. Padahal dana tersebut dibutuhkan
oleh petani. Sialnya, kabarnya dana tersebut diduga akan dipakai untuk bagi-bagi
sembako oleh BK, sekalipun kabarnya pihak dinas terkait tidak berani karena benturan
regulasi.
Oh ya, bicara sembako, akhir-akhir ini BK memang massif berbagi sembako
namun ini tidak berbanding lurus dengan turunnya angka kemiskinan. Di tengah maraknya
bagi-bagi sembako malah angka kemiskinan meningkat. Ini fakta yang bisa diakses
di data pusat statistik. Pesannya, jangan sampai ada politisasi sembako dan bansos
yang itu dilakukan justru oleh penguasa yang punya kebijakan untuk
menyelesaikan masalah.
Kalau sudah begitu,
saya jadi teringat, pepatah “jangan kasih ikannya, tapi kailnya“. Solusinya,
saya kira kita wajib mendorong pemerintah untuk menyediakan masyarakat lahan pekerjaan
yang luas. Bukan hanya diapusi dengan
sembako sekilo dua kilo.
Mari kita lanjut lagi,
Kiai.
Berbicara kenaikan
nominal Insentif Guru Ngaji bagi saya itu hal wajar dan memang sudah seharusnya
ditingkatkan. Saya adalah saksi sebelum era Bupati Almarhum Dadang Wigiarto pernah
insentif guru ngaji itu besarannya 500 ribu. Itupun dibagi dua. Setelah itu sampai
priode terakhir Bupati Dadang nominalnya 1.100.000. Jika saat ini nominalnya
naik ya itu wajar karena ada beberapa sumber anggaran yang bisa dimanfaatkan.
Siapapun Bupatinya
program ini pasti dilanjut. Biasa aja. Tapi sekarang, mengapa sampai
dipolitisasi dengan banner banner di jalan-jalan kampung dengan narasi ditingkatkan
dan dilanjutkan. Saya kira itu narsis dan kita perlu mengingatkan itu Kiai.
Selanjutnya.
Point Ketiga. Kiai mengatakan
bahwa pemerintah sering dapat penilaian dan kritik dari para elit. Saya rasa
itu bagus. Namanya kritikan itu memang kewajiban rakyat untuk menjaga tata
kelola pemerintahan. Mau itu kritikan rakyat yang berstatus elit maupun alit. Kita
tentu ingat, Kiai. Bahwa sebelum menjabat, BK menawarkan visi misi, solusi dan siap
dikritisi. So, wajar misalnya kritikan datang dari siapa saja. Kritikan atau masukan
itu juga datang dari masyarakat bawah.
Tapi sayang sekali beberapa waktu lalu
ada oknum tenaga honorer dari salah satu dinas di Situbondo dipecat hanya
karena foto dengan salah satu calon bupati. Padahal ini sebuah sikap yang
artinya juga sebagai kritik terhadap pemerintahan sekarang. Tapi kenapa bentuk
ekspresi itu dibalas dengan pemecatan? Sekali lagi, kita perlu mengingatkan rezim
ini, Kiai.
Masyarakat sejatinya
ingin urun rembuk dengan pemerintah soal membangun Situbondo. Tapi kalau
dibungkam, semuanya menjadi begitu menyeramkan. Padahal untuk membangun
Situbondo membutuhkan kebersamaan.
Kita tak lagi punya
kebersamaan apabila masih saling membalas dendam. Misalnya, apa-apa yang baik, semisal
peninggalan dan kebijakanpemerintah lama yang cukup baik tetapi tidak dilanjutkan.
Kiai tentu paham beberapa tempat-tempat wisata yang sudah ada, sekarang dipunggungi
oleh BK. Nasibnya pun memprihatinkan. Padahal, apa yang salah dari semua yang
dibangun olehpemerintahan lama itu?
Terakhir, Kiai.
Ini bisa menjadi perhatian.
Kebijakan dengan nilai-nilai yang telah lama dibangun oleh Pemerintah Dadang Wigiarto
berupa pembiasaan Shalawat Nariyah yang biasanya setiap ada acara-acara
kedinasan, rapat dan lainnya dimulai dengan Shalawat Nariyah, saat ini tidak terdengar.
Ini fakta. Saya jadi terngiang pada sebuah kaidah :“ al- ishlahhuwa al – ashlahtsumma al – ashlahfal – ashlah “.
Bukannya kebaikan itu harus berkesinambungan dan berkebelanjutan kearah yang
lebih baik.
Saya usul Kiai. Gaya-gaya
balas-membalas itu memang jadi watak yang harus dihilangkan kalau memang ingin Situbondo
lebih baik dan naik kelas.
Sebagai penutup, saya
ingat tokoh, pemuka agama dan kiai itu:
Alladziinayandhuruna
al – ummahbi’ainirrahmah.
(Orang-orang
yang memandang ummat dengan mata kasih sayang (Membimbing, menujukkan pada cahaya
dan haq).
Demikian surat ini saya
susun untuk jenenngan, Kiai. Semoga semua ini dapat menjadi dialog yang membangun untuk Situbondo yang lebih cerah. Wassalam.
*) Kaum Nahdliyyin. Tinggal
di Situbondo.
Tinggalkan Balasan