Tahun: 2019

  • Timpangnya Demokrasi Tanpa Oposisi

    Oleh : Nurul Fata Membiarkan negara tanpa oposisi dianggap hal biasa di negeri ini. Barangkali pendapat itu hanya berlaku bagi elite-elite politik saja. Ya, karena mereka ini yang kerap melontarkan pernyataan itu. Seolah-olah oposisi bagi mereka adalah kelompok yang harus menentang dan bertentangan dengan pemerintah. Sehingga melahirkan mindset negatif di masyarakat, yaitu adanya oposisi tidak…

    selengkapnya…

  • Lelaki yang Kukenal itu tidak Punya Nama

    Oleh : Nanik Puji Astutik Aku tidak mau berkenalan dengannya. Itu yang kuteguhkan dalam hati setiap kali melihatnya. Bukannya membenci tapi sekedar tidak suka. Terlebih kami hanya berbicara seadanya. Dan membuatku memiliki perasaan yang janggal saat pertama kali bertemu dengannya. Bukannya aku berfikiran buruk tentangnya. Tidak. Tapi lebih kepada melihat peringai kesehariannya yang membuatku tidak…

    selengkapnya…

  • PUISI: Antara Lidah-Api Karya Aang M,Z.

    PUISI-PUISI AANG M,Z* SESAKA DALAM BERSETAPAK Lidah kaki telah menjilati lorong-lorong kerontang Kemarau dalam bersetapak Yang menempuh jarak tak bisa dipandang Sampai atau tidak sampainya Tergantung dari peristiwa alam Apalagi mati di hulu bersetapak Jika kemarau berganti hujan Maka tak akan sampai kemuara tujuan Sebab kegigilan menjadi sesaka Jika kemarau masih setia Berarti perjalan kita…

    selengkapnya…

  • Cerpen: Untuk Seorang Perempuan yang Hanya Kepadanya Kesedihan Bertempat

    Oleh: Alif Febriyantoro Perempuan itu selalu bersedih, wajahnya selalu terlihat murung, setiap hari, dari pagi sampai malam, dalam keadaan sadar maupun dalam keadaan bermimpi. Ia bersedih di mana-mana; di rumah, di kantor, di pasar, di taman, di toko baju, atau semua tempat yang biasa perempuan kunjungi. Maka semua orang di kota ini pun mengenalnya. Dan…

    selengkapnya…

  • Puisi: Telanjang Pudar Karya Erliyana Muhsi

    Puisi-Puisi Erliyana Muhsi Telanjang Pudar Pada barisan trotoar berlampu Kaki tanpa alas tertatih Berdarah-darah Mengosongkan ilusi dan mimpi-mimpi Tak ada layak pada tubuhnya Tapi awas, Jangan sampai buruk sangka pada akalnya Manusia memanusiakan manusia Terdengar seperti itu memang jargonnya Hidung saja tak selamanya sepi Inguspun berdiam pada kesepiannya Hati manusia mungkin seharusnya dibuatkan kacamata murni…

    selengkapnya…

  • Cerpen: Ingatan tentang Sepasang Mata

    Oleh: M Firdaus Rahmatullah Beberapa hari ini kepalaku pusing dan tak sempat menulis puisi. Aku pun tak sempat makan dan minum dan merokok dan juga mandi. Hal yang kusebut terakhir itu kulakukan enam hari yang lalu. Hampir seminggu sebenarnya. Jika Yani tidak meneleponku dan mengingatkanku bahwa hari ini adalah hari pernikahannya dan beberapa jam lagi…

    selengkapnya…

  • Memaknai Batik Ala Jomlo

    Oleh: Rahman Kamal* Selamat Hari Batik Nasional, Dik. Ya, setiap tanggal 2 Oktober setiap tahunnya, kita mengingatnya sebagai Hari Batik Nasional. Menyenangkan. Lega. Karena dua hari di depan tanggal 2 Oktober adalah hari-hari yang terlampau serius. Kamu tahu kenapa kan, Dik? Ya, itulah ya. Hehe. Nah, pada hari ini kita bisa ngobrol hal-hal menyenangkan tentang…

    selengkapnya…

  • Puisi: Kota Melankoli

    Puisi Rizqi Mahbubi* Stasiun Kepergian Segenap doa, dilipat rapi dalam koper hitam Dinding, tiang, kursi tunggu berwarna perih perpisahan Kehilangan, dan ketabahan Bahwa tak ada jumpa yang baka. Dekap dan kecup teramat hangat dirangkai Agar di rantau kenangan tetap bising Serupa kereta melaju di rel-rel baja. Apa yang lebih perih di dengar Dari suara speaker …

    selengkapnya…

  • Cerpen: Perempuan Capung Merah Marun

      Oleh:  Agus Hiplunudin Sssssst… bunyi yang keluar dari mulutmu, sambil menempelkan telunjukmu di antara sepasang bibirmu—yang merah muda. Telunjukmu bagaikan sebuah anak selot yang mengunci pintu.  Aku pun seketika diam dan duduk mematung. Sepasang matamu menatap seekor capung merah marun yang hinggap di ujung bunga gelombang cinta. Perlahan kau mengangkat pantatmu, lalu berjalan sangat…

    selengkapnya…

  • GNI Indonesia 2019: Perjalanan Melepaskan Ketergesa-gesaan

    Oleh: Ahmad Zaidi* Kau menyanyikan lagu ini, mengikuti suara vokalis yang memenuhi udara malam. “Sekian lama aku mencoba, menepikan diriku di redupnya hatiku, letih menahan perih yang kurasakan, walau kutahu kumasih mendambamu.” Lagu itu mengantarmu memulai catatan ini. Kau bersama lima orang kawanmu, di sebuah meja cafe di sudut Jember yang dingin. Dari lahan kosong…

    selengkapnya…