Kepergian Seorang Ibu

Tepat pada tanggal 14 September 2017. Sosok wanita cantik di istanaku pergi entah karna apa dia tega meninggalkan sebuah keluarga kecil yang sangat begitu masih membutuhkan selalu berada di sampingnya.
Oleh: Zainul Anshori
Saat aku tatap wajah cantiknya, saat kepergian yang tak pernah keluarga inginkan, seolah terlihat jelas dari wajahnya ada sesuatu yang disembunyikan dan mungkin tak mampu untuk diceritakan pada siapapun. Suasana sudah mulai dingin, pertanda waktu sudah semakin malam. Tepat pada jam 23.00-24.00 tibalah wanita cantikku di suatu tempat terminal, kami duduk berdampingan sambil menunggu bus jurusan Surabaya datang. Di pertengahan pembicaraan akupun mengungkap tanya.
“Sebenarnya mau kemana Ibu?”
Dia pun tak menjawab, hanya tetesan air mata yang mampu menjawab dengan isyarat, ataupun terdiam sambil menatap dengan mesra wajahku. Sosok wanita cantikku yang tinggal hitungan menit akan pergi meski akan kembali lagi tetapi aku merasa belum enak hati. Sesuatu yang kita tunggu akhirnya datang juga (bus) yang berwarna hijau dan kolaborasi biru sudah tiba, kami iringi dengan tangisan ketidak relaan atas kepergiannya.
Tanpa aku harus salam mencium tangan kanan, tapi aku lebih memilih duduk bersimpuh segera kucium kedua telapak kakinya, tak terasa air mata yang seharusnya mampu aku tahan untuk tak mengalir lagi saat itu menetes perlahan-lahan tak terasa. Aku bukan sedih karena aku ditinggal seorang diri, itu semua di luar pikiranku, tapi yang aku tangisi bagaimana nasib kedua adik perempuanku yang sampai saat ini dia pun harus berjuang hidup tanpa sebuah kasih sayang seorang Ibu. Yang lebih menyedihkan lagi dia pun kini tak mau lagi sekolah, sebab apa? Karna dia merasa malu dengan kawannya, dia takut jika sampai di-bully bahkan diejek. Suatu hari semua yang dia takuti akhirnya terjadi, saat dia tidak sengaja bertemu dengan kawannya, kawanya pun bertanya. “Kamu gak punya Ibu ya?” dia pun mencoba untuk tegar, tapi apa daya dia tidak lebih hanyalah seorang anak perempuan yang hanya bisa menangis saat tertimpa masalah. Meski dia mencoba untuk menahan tangisan itu sendiri.
Sebab kepergiannya

Menjelang empat hari kepergiannya ada beberapa orang yang mendatangi rumah, mereka bertanya kemana ibunya? Akupun menjawab ibu pergi entah kemana, hanya mengatakan dia akan pergi sebentar dan akan kembali lagi. Sudah terlalu panjang pembicaraan orang yang sunggah kerumah dan pada akhirnya sampai juga pada maksud inti sebab dia mendatangi rumah. Ternyata: tiada lain dia hanya meminta uang tagihan karna lilitan hutang. Akupun merasa heran, sebab apa, karna ibu tidak bercerita masalah hutang kepada saya dan berhutang kepada siapa. Menjelang beberapa hari ada sosok seseorang berbadan ramping berkumis panjang yang hanya duduk di atas sepeda mewahnya tepat di depan halaman rumah “anj**k”. Tanpa aturan dia ngomong dalam posisi badan di atas sepeda, apakah itu cara menghargai sesama manusia. Terlintaslah aku sebuah tanya maksud saudara ingin menemui siapa. Dengan jawaban yang sama ialah masalah hutang. Dan saat itu pulah saya mengambil kesimpulan dan mendapatkan sebuah jawaban yang selama ini dihantui dengan sebuah tanya. Apa atas kepergiannya. Mengapa seorang ibu tega pergi meninggalkan sebuah keluarga kecil hanya demi bekerja melunasi segalah hutang-hutannya. Terlintas sebuah tanya kembali, seberapah besar hutang-hutangnya. Kini aku mengerti begitu pentingnya rupiah di mata manusia hingga tidak mau berfikir bagaimana cara meraihnya. Dia rela melakukan apa saja demi rupiah hingga hal kemanusiaan tak lagi begitu berharga dan berguna di lingkunganku. Bagaimana tidak pemeras, penindas masih merajalelah saat ini. Sanpai saat inipun saya merasa kesulitan untuk membedakan mana yang benar-benar tulus dan mana yang hanya sekedar pencitraan. Karna semuapun sama, entah itu para tokoh masyarakat,pejabat semuanya membabi buta pada dunia, sehingga tidak lagi memikirkan sesama, hingga tak lagi terlintas bagaimana cara memanusiakan manusia. []

Penulis


Comments

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Fathur Rahman Prosa Mini

Menanti Sebuah Tulisan

Apacapa rizki pristiwanto

Relawan yang Tak Seutuhnya Rela

Cerpen Gusti Trisno

Cerpen – Joe dan Dua Orang Gila

Novy Noorhayati Syahfida Puisi

Puisi: Menggambar Kenangan Karya Novy Noorhayati Syahfida

Apacapa Feminis

Body Shaming: Pelecehan, Bukan Lelucon

Apacapa

Gemalaguna: Laut Tak Pernah Salah

Apacapa Marlutfi Yoandinas

Pemimpin Redaksi takanta.id dan Kebahagiaannya Akhir-Akhir Ini

Cerpen Haryo Pamungkas

Cerpen : Kota dan Hujan di Pagi Hari Karya Haryo Pamungkas

Cerpen Muhtadi ZL

Cerpen: Perempuan yang Suka Melihat Hujan

Apacapa Sejarah Situbondo

Diskusi Penyelamatan Cagar Budaya: Sebuah Ikhtiar Membuka Mata Pemerintah Situbondo

Buku Monique Clariza Resensi Ulas

Resensi: Jejak Kelahiran Manusia Lewat Adaptasi Grafis

Indra Nasution Prosa Mini

Daya Kritis yang Hilang

Aang MZ Puisi

PUISI: Antara Lidah-Api Karya Aang M,Z.

Apacapa Rahman Kamal

Besuki Membaca: Dikira Jualan Buku sampai Mendirikan Rumah Baca

Esai N. Fata

Harlah ke-60: Mimpi-mimpi Semu Kader PMII

Apacapa

Mas Rio Buronan: Dari Wano Menuju Situbondo

Nanik Puji Astutik Prosa Mini

Laksana Putih Salju

ebook

Ebook: Sastra dan Corona

Resensi Retno Restutiningsih

Resensi: Bandara, Stasiun, dan Tahun-Tahun Setelahnya

Cerpen Imam Khoironi

Cerpen : Suara Nurani