Lek Marni dan Interpretasi Perasaan

Oleh : Irwant
‘Lek Marni’, sebuah judul lagu madura yang artinya Dik Marni. Lagu ini sangat populer di berbagai kalangan; mulai dari tua, muda, remaja hinga anak-anak SD pun bisa hafal liriknya. Lagunya mudah, gampang diingat, tidak ada nada-nada rumit. Sebab itulah, lagu ini begitu familiar. Sebenarnya, lagu ini sudah cukup lama populer di telinga masyarakat berbahasa Madura.
Pada suatu pagi, saya hendak pergi membeli tahu langsung dari pabriknya. Di sana, para pekerja pembuat tahu sudah terbiasa memutar tembang-tembang lagu madura. Dangdut, kadang juga musik pop. Lagu terus bergantian menemani kejenuhan saya yang dalam penantian. Tepat ketika lagu ‘Lek Marni’ terputar, “Wah, lagu ini.” batin saya.
Lagu yang sudah cukup lama populer ini telah mencuri perhatian telinga saya. Sebab baru kali ini saya mendengar lagu tersebut dengan versi berbeda dari yang pernah saya dengar sebelumnya: versi koplo, pengamen dan rekam panggung. Pada versi yang-saya-dengar-tak-sampai-habis ini lebih mendayu, mungkin pada tempo antara 78-84bpm.
Sebelumnya saya mengira, pada kata ‘Lek’ itu adalah bulik, mungkin sebab saya mendengarkan lagu lek Marni dalam versi yang bukan orisinal. Parahnya, saya mengira lagu ini semacam candaan, sebab mendengar dari nyanyian anak kecil. Sehingga tidak ada makna yang tepat.
Sama halnya dalam kehidupan. Misal, kamu memiki sifat buruk Dik, menurut orang lain. Tetapi setelah saya mengetahui sendiri secara langsung, ternyata sifatmu cantik Dik, selaras dengan paras wajahmu.
***
Lagu “Lek Marni” ini menceritakan tentang kekhawatiran sang suami pada istrinya. Kekhawatiran itu sudah tersirat pada bagian awal lirik lagu ‘Lek Marni’. Panggilan sang suami pada sang istri dengan sebutan ‘dik’, sama halnya dengan panggilan sayang, mama, bunda dan sebagainya.
Lek Marni, bule atanya’a.
Anape labeng bhudi matak etongka.
Terjemahan dalam Bahasa Indonesia:
Dik Marni, aku mau bertanya.
Mengapa pintu belakang tidak ditutup.
Penggalan pada bagian awal lirik lagu ini sudah menggambarkan kekhawatiran suami pada istrinya, namun hal ini tidaklah cukup kuat.
Degghik bedhe maleng.
Se aghebei rosakka.
Deddhi rosakka bule ben dhika.
Terjemahan dalam Bahasa Indonesia:
Nanti ada maling.
Yang membuat rusak.
Jadi rusaknya aku dengan kamu.
Bagian lirik ini sudah menjadi penguat alasan bertanya mengapa pintu belakang tidak ditutup. Pertanyaan sang suami pada istrinya. Kekhawatiran itu tersirat pada lirik ‘deddhi rosakka bule ben dhika’. Rusaknya hubungan antarasuami dan istri. Sebab apa? sebab maling. Maling istri orang, dan itu memang ada. Seperti yang sering saya alami, kehilangan kekasih direbut orang. Dicuri lagi kekasih. Jika saja malingnya tertangkap, entah apa yang semestinya saya lakukan. Sebab hal ini tidaklah sama dengan maling pada umumnya.
Penyebab terjadi direbutnya kekasih itu bermacam-macam. Dan pada umumnya karena kebosanan dalam suatu hubungan, atau suatu yang ‘lebih’ dalam segala hal yang dimiliki oleh maling kekasih.
Kembali lagi pada lirik.
Mon bhereng bule tak eman.
Mon dunnya bisa e sare.
Tape mon dhika se elang.
Nyabe bule tarowanna.
Terjemahan dalam Bahasa Indonesia:
Kalau barang saya tidak peduli(eman).
Kalau duniawi bisa dicari.
Tetapi kalau kamu yang hilang.
Nyawa aku taruhannya.
Pada bagian lirik ini, kekhawatiran dicampuradukkan dengan rasa takut suami akan kehilangan istrinya. Sebab apa? Maling istri orang. Kalau barang yang hilang saya tidak terlalu memikirkannya sebab duniawi bisa dicari, tetapi jika kamu yang hilang maka nyawa saya taruhannya. Hal ini merupakan kecintaan saya kepadamu sang suami pada istrinya. Sampai-sampai harus bertaruh nyawa sekalipun, demi istri tercintanya.
Namun, jika hanya menitikberatkan kesalahan pada si maling saja, ini kurang adil. Apabila berpegang prinsip pada kata-kata Bang Napi: “kejahatan terjadi bukan karena ada niat pelakunya, tapi karena ada kesempatan”. Nah, hal ini sudah saya sampaikan sebelumnya, bahwa saya sering kemalingan kekasih. Penyebabnya sederhana. Sudah bosan dalam hubungan, ada yang lebih menarik dan sebagainya. Hal ini juga berujung pada gosip-gosip antara ibu-ibu, bapak-bapak, dan remaja–mungkin saja. Gosip lagi.. gosip lagi. Gosip yang berkembang akhirnya menimbulkan sebuah pertanyaan besar di antara mereka. Pertanyaan siapakah yang salah antara Lek Marni dan suaminya, atau memang malingnya yang kurang ajar.
Ini juga tersirat dalam penggalan lirik berikut:
Mon oreng bisa acaca.
Tak tao sapa se salah.
Terjemahan dalam Bahasa Indonesia:
Kalau orang bisa bicara.
tidak tahu siapa yang salah.
Hal semacam ini akhirnya menjadi perbincangan hangat, menjadi dosa-dosa baru sebab begitu nikmat membicarakan orang lain. Lirik lagu ini juga mengandung nasehat pada bagian penggalan lirik ini:
Tape mon dhika ngastete.
Judhu maste sampek mate.
Terjemahan dalam Bahasa Indonesia:
Tapi Kalau kamu hati-hati.
Jodoh pasti sampai mati.
Jika kamu berhati-hati Dik, maka kita akan berjodoh sampai mati. Kurang lebih seperti itu. Bahwa istri harus menjaga diri. Sebab tidak mungkin suami terus-terusan berada di samping istrinya. Memang, menjadi kewajiban sang suami itu menjaga istrinya, lantas bagaimana menjaganya? Menjaga yang tidak seperti satpam, sebab hal itu sama saja mengekang. Menjaga dengan membekali istri dengan bimbingan, didikan, dan yang terpenting menafkahinya baik lahir maupun batin.
Disini, saya menarik kesimpulan. Jika kalian mempunyai istri, maka jhek lorbeh (jangan diobral). Istri itu bukan sekadar pelengkap, pajangan, atau pemuas nafsu belaka. Tetapi dibimbing, beri didikan dan tuntun ke arah yang lebih baik. Nasehat ini juga bisa untuk yang masih menjalani pertunangan atau pacaran. Tetapi ‘tidak wajib’ dalam hal menafkahi, baik lahir maupun batin. Jika memang berniat menafkahi tunangan atau pacar, segera datangi orang tua atau walinya. Kemudian utarakanlah keinginan kalian. Pelan-pelan, eta terangkanlah.
___
archive.kaskus.co.id

Penulis


Comments

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Apacapa Wahyu Umattulloh Al’iman

Langganan Kebakaran Hutan dan Alih Fungsi Lahan, Derita atau Bahagia

Apacapa apokpak N. Fata

Ketika Elit Oligarki Berkuasa, Kemerdekaan Bukan Lagi Milik Kita

Cerpen

Cerpen: Seorang Perempuan dan Tengkorak di Pelukannya

Cerpen

Cerpen: Peti Mati

ebook

Ebook: Lovember

Cerpen Moh. Imron

Cerpen: Pelabuhan Jangkar dan Kapal yang Dikenang

Apacapa

Tirtho Adhi Soerjo, Detik.com dan Berita Hoax

Cerpen Haryo Pamungkas

Cerpen : Kota dan Hujan di Pagi Hari Karya Haryo Pamungkas

Puisi Syafri Arifuddin Masser

Puisi: “Status 1: Apa yang Anda Pikirkan?”

Puisi T. Rahman Al Habsyi

Puisi: Merakit Tidur

Apacapa Imam Sofyan

Mudik Sastra

Apacapa

Kumpul Komunitas: Merdeka Belajar dan Belajar Merdeka

Buku Kim Al Ghozali AM Ulas

Resensi Buku : Ruang Kelas Berjalan Karya M. Faizi

Anwarfi Puisi Saiful Bahri

Puisi-puisi Saiful Bahri: Tubuh Ramadan

Apacapa

Jika Tidak Mampu Menjadi Pandai, Setidaknya Jangan Pandir

Apacapa Esai

Merawat Spiritualitas, Menghidupkan Politik Kebudayaan: Catatan Seorang Anak Muda untuk Mas Rio

Apacapa Syaif Zhibond

Terima Kasih, Pak Dadang! Jasamu Abadi

Buku M Ivan Aulia Rokhman Ulas

Perjalanan Tiga Pendaki untuk Memaknai Kehidupan

Apacapa Fendy Sa’is Nayogi

Petani Kebetulan

Cerpen Yulputra Noprizal

Cerpen : Ini Kawanku, Namanya Zar Karya Yulputra Noprizal