Sudahkah Anda Konsisten?

Oleh : Yudik Wergiyanto
Jika saya melemparkan pertanyaan: seberapa pentingkah sebuah komitmen itu, maka saya yakin hampir sebagian
besar akan menjawab bahwa komitmen itu sangatlah penting. Seseorang yang tidak
berkomitmen terhadap apa yang dikerjakannya, saya pun yakin bahwa dia tidak
akan menghasilkan apapun dari yang dikerjakannya itu. Kalaupun berhasil, hasilnya
juga tak akan maksimal.
Begitu pula dengan dua sejoli yang menjalin hubungan.
Jika tidak ada komitmen di antara mereka, maka hubungan itu seperti berjalan
tanpa tujuan yang lama kelamaan akan membuat mereka lelah dan memilih berhenti
atau mengakhiri perjalanan. Tapi, tulisan ini tidak akan membahas komitmen di
antara dua orang yang saling mencintai.
Jadi, sekali lagi, komitmen itu penting.
Tapi terkadang sebuah komitmen saja tidak cukup. Komitmen
seringkali hanya menjadi sebuah manis di ujung lidah saja: sangat mudah cepat
menghilang. Jika sudah demikian, maka komitmen tidak lagi seperti sebuah janji
tulus yang datang dari hati. Ia hanya sekadar ucapan belaka tanpa dibarengi
dengan kesungguhan dan tanggung jawab.
Lalu, apalagi yang kita butuhkan selain komitmen? Ada
satu hal lagi yang tak kalah penting yang harus juga kita miliki selain
komitmen. Jika komitmen adalah perkara kesungguhan kita, maka kesungguhan
tersebut haruslah diuji terlebih dahulu dengan kekonsistenan kita.
Ya, kita harus konsisten.
Konsisten, bagi saya, adalah soal tindakan setelah kita
berkomitmen. Juga, merupakan cerminan dari komitmen awal yang kita miliki. Jika
memang seseorang bersungguh-sungguh dengan komitmennya, maka ia sepatutnya juga
memiliki konsistensi yang baik.
Sebuah konsistensi sangat diperlukan dalam laku apapun.
Khususnya yang berkaitan dengan kreatifitas. Atau apapun yang menghasilkan output sebuah karya. Dalam hal ini yang
terdekat adalah ‘menulis’.
Seseorang boleh berkata, “Saya ingin menulis sebanyak
mungkin. Bikin cerpen yang bisa terbit di media-media nasional. Lalu
menerbitkan buku.” Itu wajar-wajar saja. Sah-sah saja. Tidak ada yang salah
dalam perkataan ini. Namun akan salah apabila ucapan itu hanya berhenti di
mulut saja. Tidak diikuti dengan tindak kekonsistenan. Dia jarang menulis,
jarang membaca. Maka cita-citanya untuk menerbitkan cerpen dan buku bisa jadi
hanya akan jadi mimpi belaka. Kalaupun bisa, tentu saja, itu sebuah keajaiban
dunia.
Saya – dan seorang teman – pernah memiliki suatu ide
menerbitkan sebuah media. Dengan kesepakatan dan komitmen bersama, akhirnya
media itu pun meluncur. Sebuah media yang sederhana. Kami merintisnya perlahan.
Mengembangkannya sedikit demi sedikit.
Di awal-awal munculnya media itu, kami sangat bergairah.
Kami tuangkan semua keresahan kita dalam media itu agar dapat dibaca oleh banyak
orang. Syukurlah, meskipun tidak banyak masih ada yang mau baca media itu.
Seiring berjalannya waktu, karena banyak urusan yang tak
bisa ditinggalkan, media itu mulai saya tinggalkan. Saya pasrahkan teman yang
mengelolanya. Sementara, saya fokus dengan urusan saya sendiri, sampai lama
kelamaan saya lupa dengan media itu. Teman saya pun tidak mengabarkan apa-apa
mengenai media itu.
Entah kenapa, gairah saya yang muncul di awal-awal saat
membuat media itu, mendadak sirna. Saya tak memiliki gairah lagi. Sampai
akhirnya, saya benar-benar meninggalkan media itu.
Teman saya pun bertanya, “Bagaimana nasib ide kita itu?”
Saya cuma menjawab, “Biarkan ia tidur dulu. Kelak ia akan bangun lagi.”
Saya mengatakannya tidak dengan bersungguh-sungguh. Dalam
hati saya, sejujurnya, tak tau apakah media itu akan ‘bangun’ kembali.
Sayalah yang tidak memiliki konsistensi dalam hal ini.
Saya hanya bergairah di awal. Menggebu-gebu. Tapi di tengah jalan saya loyo.
Dan komitmen awal yang saya ikrarkan pun bagai asap rokok yang terbang ke
udara: hilang entah kemana.
Maka dari itu, sebuah konsitensi sangatlah penting. Komitmen
juga penting, iya. Tapi suatu waktu kita akan dihadapkan pada satu kondisi yang
menguji komitmen kita. Kita akan disibukkan dengan urusan kita yang lain.
Dibuat tidak fokus dengan tanggung jawab kita. Saat itulah, kekonsistenan
sangat dibutuhkan. Jika kita konsisten, kita tidak akan kalah pada situasi yang
demikian.
Sekali lagi, mari kita bersama-sama berkomitmen. Juga,
menjaga konsistensi kita. Jangan sampai kita punya komitmen, tapi tak mau
konsisten. Jangan sampai malu pada anak-anak yang sering menunggu bus di
pinggir jalan. Masa mereka harus bilang, “Om Konsisten Om”?
___
Sumber foto : ngajionline.id

Penulis


Comments

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Abi Alfatih Mored Moret

Satu Langkah Terakhir

fulitik masrio

Relawan Mas Rio Bagikan 50 Ribu Kalender Patennang untuk Masyarakat Situbondo

Nanik Puji Astutik Prosa Mini

Laksana Putih Salju

Ahmad Maghroby Rahman Apacapa

Situbondo : City of Sellow

Cerpen Muhtadi ZL

Cerpen: Senja yang Menyakitkan

Apacapa Kuliner Situbondo

Lontong Ceker: Cocok untuk Sarapan dan Makan Siang

Fathur Rahman Prosa Mini

Menanti Sebuah Tulisan

Bang Yof Puisi

Puisi : Cerita Terompah Tua dan Puisi Lainnya Karya Bang Yof

Apacapa Wisata Situbondo

Taman Nasional Baluran

Penerbit

Buku: Bahagia Butuh Bersama: Kumpulan Puisi

Apacapa Sainur Rasyid

Gusdur dan Buku

Apacapa Nafisah Misgiarti

Ali Gardy, Jefri Bagus, dan Kritik Sosial dalam Karyanya

Agus Hiplunudin Apacapa Feminis

Waria dan Kemenangan Kaum Feminis

Apacapa Mored Vania Callista Artanti

Curhat: Pak Menteri, Kami Jenuh!

Agus Hiplunudin Cerpen

Cerpen Maha Dewi

Fahris A. W. Puisi

Puisi – Lagu Masa lalu

Ahmad Zaidi Buku Telembuk Ulas

Membaca Telembuk; Membaca Cinta yang Keparat

Apacapa

Harjakasi Nasibmu Kini

abdul wahab Apacapa

Menguak Potensi Ecotrail Desa Sumberanyar

Apacapa rizki pristiwanto

Relawan yang Tak Seutuhnya Rela