Cangkaro’ Camilan Murah

Oleh : Uwan Urwan
Dilema
dalam berkeluarga saat tidak berselera makan biasanya menyisakan nasi di pemanas
nasi. Meski nasi dalam pemanas nasi bisa awet, tapi bukan berarti enak dikonsumsi
keesokan harinya. Pada zaman dulu, para perempuan kreatif memanfaatkan apa yang
ada untuk dikonsumsi. Misalnya dengan memanen kangkung, genjer, dan beberapa
gulma padi yang bisa dibuat sayur sebagai sumber serat setiap harinya. Tak
hanya itu, sumber nutrisi lain juga diperoleh dari kebun, misalnya dengan
memanen pucuk daun singkong, lamtoro, atau jamur tiram dan jamur kuping yang tumbuh
di kayu mati. Memang, Tuhan sudah menyediakan sumber makanan yang cukup
melimpah untuk manusia manfaatkan.
Zaman
sekarang, bahan makanan di pasar baik di oasar tradisional atau pun pasar modern
cukup melimpah. Jarang sekali orang yang sengaja ke sawah atau ladang untuk
mencari sumber makanan yang tak perlu merogoh kocek. Uang kini gampang
didapatkan meski beberapa orang justru kesulitan. Orientasi masa kini memang
mengarah ke uang. Padahal jika manusia mau menurunkan rasa malu dan ego, jika
memiliki uang belanja minim, bisa mencarinya di alam.
Kembali
pada dilema di atas, nasi sisa biasanya dijemur. Yang saya temui pelakunya
adalah orang-orang suku madura termasuk di daerah tapal kuda, Probolinggo,
Situbondo, Bondowoso, termasuk di Jember dan Surabaya. Agar nasi tak terbuang,
biasanya memang dijemur atau jika punya peliharaan, akan diberikan ke ayam.
Proses penjemuran nasi bergantung kondisi cahaya matahari, paling cepat
sehari-dua hari sudah kering. Sebelumnya memang nasi dipisah-pisahkan agar
tidak menggumpal. Butiran nasi kering kemudian digoreng hingga kecokelatan.
Setelah matang ditaburi garam agar gurih. Cangkaro’ siap dimakan bersama teman-teman
atau keluarga.
Beberapa
orang secara khusus menanak nasi untuk dibuat cangkaro’ lalu dijual. Cemilan
ini tergolong langka karena tidak semua orang mau menjemur nasi untuk dibuat
cemilan ini. Orang masa kini lebih cenderung suka makanan yang praktis tanpa
perlu repot-repot membuatnya.
Cangkaro’
berasal dari bahasa madura, nama yang sama untuk cemilan yang sama di Jember
dan Bondowoso. Di beberapa daerah, cemilan ini disebut karak dan nasi aking. Kemungkinan
besar, cangkaro’ berasal dari Madura, karena kebetulan daerah sepanjang
Surabaya, Pasuruan, Probolinggo, Situbondo, Bondowoso, dan Jember banyak keturunan
suku madura.

Pada
zaman dulu memang identik dengan cemilan orang melarat untuk mendapatkan
alternatif makanan ringan yang tak perlu membeli lagi. Cangkaro’ jelas termasuk
salah satu makanan yang ada di Situbondo. Cara membuatnya tentu sangat mudah
dan kamu bisa menjadikan makanan ringan ini lahan bisnis terbaru. Mau coba?

Penulis


Comments

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Apacapa Imam Sofyan

Pandemi dan Air Mata Driver Aplikasi Joker

fulitik hari wibowo

Gugah Mental Pemuda Situbondo, Mas Rio: Bisnis yang Bagus Itu Dijalankan, Bukan Dipikirkan

Apacapa Moh. Imron

Di Balik Desain Logo Argopuro Fest 2

Ayu Wulandari Buku Resensi Ulas

Resensi: Jungkir Balik Pers

Apacapa fulitik

Kenapa Kaos Orens Tidak Dibagikan Gratis? Malah Dijual. Ini alasannya.

Fela Dila Mai Carolin Puisi

Puisi: Undangan Baru untuk Kekasih Lama

Apacapa

5 Tips Mencari Tiket Pesawat Murah Jelang Tahun Baru 2018

Prosa Mini Yudhianto Mazdean

Belajar dari Semesta; Kematian Bangsa Koloni

Alvin Hasany Apacapa covid 19

Covid 19: Vaksinasi dan Mobilitas Sosial

Cerpen Harishul Mu’minin

Cerpen: Aku Pulang, Bu!

Apacapa Moh. Imron

Kisah di Balik Lagu Sello’ Soca Mera

Devi Ambar Wati Puisi

Puisi: Mari Menikah

Apacapa

Sudahkah Anda Konsisten?

Apacapa apokpak N. Fata

DPRD Menggonggong, Pak Karna: Ngutang PEN Jalan Terus

Guru Mored Moret Puisi Ririn Anggarini

Rindu dan Puisi Lainnya

Agus Yulianto Cerpen

Cerpen : Cinta Semusim Karya Agus Yulians

Buku Muhammad Rizal Resensi Ulas

Resensi: Tentang Jalan Lurus dan Sungai yang Mengalir

Cerpen Gusti Trisno

Cerpen : Joe di Persimpangan Jalan Karya Gusti Trisno

Uncategorized

Cerpen: Gerimis dalam Ingatan

Apacapa Moh. Imron

Ali Gardy Bertiga: Tirakat Bunyi