
Media sosial kini telah menjadi ruang interaksi utama bagi generasi muda, terutama mahasiswa. Platform seperti X (Twitter), Instagram, dan TikTok bukan hanya tempat untuk berbagi informasi atau hiburan, tetapi juga arena pembentukan identitas sosial dan linguistik. Dalam dunia digital ini, bahasa berkembang secara cepat, fleksibel, dan penuh kreativitas. Salah satu bentuk perubahan bahasa yang menonjol ialah munculnya bahasa gaul atau slang, yang menjadi ciri khas komunikasi generasi muda. Bahasa gaul dinilai mampu membuat percakapan terasa lebih santai, akrab, dan menggambarkan kepribadian penuturnya. Akan tetapi, di balik keunikan tersebut tersimpan kekhawatiran bahwa penggunaan bahasa gaul yang terlalu sering dapat menurunkan kemampuan mahasiswa dalam menggunakan bahasa formal, terutama dalam konteks akademik.
Bahasa formal memiliki fungsi penting dalam kehidupan akademik dan profesional. Mahasiswa, sebagai calon intelektual, dituntut untuk mampu berkomunikasi secara jelas, logis, dan sesuai kaidah kebahasaan yang baku. Kemampuan menulis karya ilmiah, laporan penelitian, atau makalah memerlukan pemahaman terhadap struktur bahasa yang benar. Namun, ketika kebiasaan berbahasa di media sosial yang cenderung santai terbawa ke ruang akademik, muncul pergeseran norma kebahasaan dari formal ke nonformal. Oleh karena itu, penting untuk menelaah sejauh mana bahasa gaul di media sosial berpengaruh terhadap kemampuan mahasiswa dalam berbahasa formal.
Menurut Kridalaksana (2008), bahasa gaul merupakan variasi bahasa yang digunakan oleh kelompok sosial tertentu untuk menunjukkan identitas dan rasa kebersamaan. Dalam konteks mahasiswa, bahasa gaul menjadi alat untuk mempererat hubungan sosial, mengekspresikan keakraban, serta menandai eksistensi di dunia digital. Bentuk-bentuk bahasa seperti btw (by the way), gpp (nggak apa-apa), wkwk (ekspresi tawa), atau LOL (laugh out loud) merupakan contoh nyata dari kreativitas linguistik yang berkembang di kalangan muda. Namun, penggunaan bentuk-bentuk ini dalam jangka panjang bisa berdampak pada pola berpikir dan kebiasaan berbahasa seseorang.
Chaer dan Agustina (2010) menegaskan bahwa variasi bahasa muncul karena perbedaan situasi, penutur, dan tujuan komunikasi. Media sosial merupakan wadah komunikasi yang bersifat cepat, ringkas, dan adaptif terhadap tren. Hal ini membuat bahasa gaul mudah menyebar dan diterima secara luas tanpa memerhatikan kaidah kebahasaan. Dalam komunikasi digital, kecepatan dan efektivitas pesan sering kali lebih diutamakan dibandingkan ketepatan tata bahasa. Oleh sebab itu, mahasiswa menjadi terbiasa menyingkat, mengganti ejaan, bahkan menghilangkan tanda baca demi efisiensi komunikasi. Kebiasaan inilah yang kerap terbawa ke dalam penulisan formal seperti tugas kuliah atau laporan penelitian.
Dari sudut pandang linguistik kognitif, kebiasaan berbahasa yang diulang terus-menerus dapat membentuk pola berpikir dan persepsi terhadap bahasa itu sendiri. Chaer dan Agustina (2010) menyebut bahwa jika seseorang lebih sering menggunakan bentuk nonbaku, otak akan menganggap pola itu sebagai bentuk bahasa yang lazim. Artinya, kemampuan menulis atau berbicara dalam bahasa baku bisa melemah karena tidak terbiasa menggunakannya dalam konteks resmi. Hal ini diperkuat oleh penelitian Dwi dan Nurhadi (2021) yang menemukan bahwa banyak mahasiswa menulis dengan gaya informal bahkan dalam karya ilmiah. Penggunaan singkatan, kosakata tidak baku, serta kalimat tidak efektif sering muncul dalam tulisan akademik mahasiswa. Fenomena tersebut menunjukkan adanya pengaruh nyata dari interaksi di media sosial terhadap kemampuan berbahasa formal.
Selain itu, faktor lain yang memperburuk situasi ini adalah minimnya pembiasaan menulis dalam konteks akademik. Mahasiswa lebih sering menulis di media sosial dibanding menulis karya ilmiah atau laporan akademik. Akibatnya, kemampuan memilih diksi yang tepat, menyusun kalimat efektif, serta menggunakan tanda baca dengan benar menjadi menurun. Pergeseran gaya bahasa ini memperlihatkan bahwa praktik komunikasi informal di dunia maya dapat menular ke ranah akademik jika tidak diimbangi dengan pembiasaan berbahasa formal.
Meski begitu, bahasa gaul tidak selalu harus dipandang negatif. Dari perspektif sosiolinguistik, variasi bahasa justru merupakan tanda dinamisnya sebuah bahasa. Bahasa yang hidup selalu beradaptasi dengan perkembangan zaman dan kebutuhan penggunanya. Sari dan Putra (2020) menemukan bahwa bahasa gaul dapat meningkatkan kepercayaan diri dan keakraban dalam komunikasi daring. Bahasa gaul juga mencerminkan kebebasan berekspresi dan menjadi sarana bagi mahasiswa untuk menunjukkan identitas sosialnya. Dalam konteks ini, bahasa gaul memiliki nilai positif karena menumbuhkan kreativitas dan memperkuat solidaritas di antara penuturnya.
Namun demikian, persoalan utama bukan terletak pada keberadaan bahasa gaul itu sendiri, melainkan pada konteks penggunaannya. Bahasa gaul sebaiknya digunakan secara proporsional, yakni hanya dalam situasi santai atau percakapan nonformal. Mahasiswa perlu menyadari kapan harus berbahasa santai dan kapan harus berbahasa resmi. Kemampuan untuk beralih dari satu ragam bahasa ke ragam lain disebut alih kode atau code-switching. Keterampilan ini penting agar mahasiswa mampu menyesuaikan gaya bahasa sesuai konteks komunikasi. Misalnya, mereka boleh menggunakan kata nggak, gue, atau lo saat berbincang dengan teman sebaya, tetapi harus menggantinya dengan tidak, saya, atau andasaat menulis laporan ilmiah atau berbicara di forum akademik.
Peran lembaga pendidikan juga sangat penting dalam menjaga keseimbangan antara kreativitas berbahasa dan kemampuan berbahasa formal. Kampus dapat memperkuat budaya literasi bahasa melalui kegiatan menulis ilmiah, diskusi kebahasaan, atau pelatihan penyuntingan teks. Dosen perlu menanamkan kesadaran bahwa penguasaan bahasa formal merupakan bagian dari profesionalitas dan cerminan intelektualitas. Dengan demikian, mahasiswa tidak hanya kreatif dalam berbahasa gaul di media sosial, tetapi juga cakap menggunakan bahasa Indonesia yang baik dan benar dalam konteks akademik maupun profesional.
Bahasa pada dasarnya merupakan cermin dari cara berpikir seseorang. Mahasiswa yang terbiasa menggunakan bahasa baku akan cenderung berpikir sistematis dan logis dalam menyampaikan gagasan. Sebaliknya, penggunaan bahasa yang terlalu santai atau tidak baku dapat menyebabkan ketidakjelasan makna dan menurunkan kredibilitas komunikasi. Oleh sebab itu, menjaga kemampuan berbahasa formal sama pentingnya dengan menumbuhkan kreativitas berbahasa nonformal.
Pada akhirnya, fenomena bahasa gaul di media sosial merupakan konsekuensi alami dari perkembangan teknologi dan budaya komunikasi modern. Alih-alih menolak keberadaannya, yang lebih penting adalah bagaimana mengelola penggunaannya secara tepat. Mahasiswa sebagai generasi intelektual harus mampu menjadi pengguna bahasa yang adaptif tetapi tetap menghormati norma kebahasaan. Keseimbangan antara bahasa gaul dan bahasa formal akan mencerminkan kecerdasan linguistik seseorang, di mana kebebasan berekspresi tetap berjalan beriringan dengan tanggung jawab intelektual.
Tinggalkan Balasan