
Di Antara Dua Tiang Bambu
pagi-pagi sekali
ayah menancapkan dua batang bambu di halaman
mengikatnya dengan tali tambang bekas jemuran
ibuku menyetrika bendera
dengan tangan yang gemetar pelan
kami tidak tahu
apakah bendera harus licin tanpa lipatan
atau justru harus menyimpan kerut sejarah
seekor kucing duduk di bawah tiang
melihat warna merah yang melambai seperti luka masa lalu
dan warna putih yang terlanjur pasrah
tidak ada parade
tidak ada sorak
hanya desau angin yang membacakan lagu kebangsaan
dengan aksen rumput liar
nanti sore
kami akan menurunkan bendera itu
dilipat pelan
seperti kenangan yang tidak ingin diceritakan seluruhnya
2025
Sepotong Lagu dari Dapur
ibu menyanyi sambil mengaduk sayur lodeh
lagu wajib nasional yang nadanya sudah luntur
karena dicampur dengan bunyi panci dan desis gas elpiji
ia tidak pernah hafal seluruh lirik
tapi selalu tersenyum setiap kali tiba di kata: bebas
seolah-olah kata itu bisa disajikan hangat di piring
aku duduk di lantai
menghitung berapa kali listrik padam minggu ini
dan berapa kali kami tertawa agar tidak terdengar panik
ibu menambahkan cabai
sebagai pengganti mercon
karena malam ini tak ada yang menyalakan kembang api
hanya cahaya lilin yang menyala pelan
di samping foto bapak yang masih berseragam buruh
lagu itu berakhir
seperti suara air
mengalir pelan
ke arah yang tidak selalu kita mengerti
2025
Bendera di Ujung Jalan
di gang sempit dekat sungai
ada bendera plastik ukuran kartu pos
ditancapkan di atas kaleng susu yang sudah berkarat
setiap kali hujan datang
bendera itu miring
seperti ingin pulang
seorang nenek lewat membawa belanjaan
ia melihat bendera itu seperti melihat anak yang lama tak pulang
lalu berkata:
yang penting masih ada warnanya
tidak ada upacara
tidak ada aba-aba
hanya anak-anak yang bermain air
menendang ban bekas
tertawa sekeras mungkin
agar suara sungai tidak terlalu menyedihkan
malamnya
bendera itu masih berdiri
di bawah lampu jalan yang berkedip
seperti mengingat sesuatu
yang belum sempat dikatakan
2025
Tinggalkan Balasan