Ketika Media Sosial jadi Racun Sunyi

Di setiap pagi, sebelum mata benar-benar terbuka, mayoritas dari kita sudah lebih dulu mengambil ponsel. Jari-jari mulai menggulir layar, mencari informasi terbaru tentang apa yang terjadi di sekitar kita. Ada yang berbagi foto saat liburan, ada yang mengunggah gambar makanan, dan ada pula yang mengungkapkan rasa lelahnya. Dalam sekejap, kita seolah masuk ke dalam dunia yang berwarna dan penuh aktivitas. Namun tanpa disadari, sinar hangat matahari berpindah menjadi cahaya dingin dari layar, dan keheningan pagi berubah menjadi perasaan yang sulit untuk dijelaskan, apakah itu iri, cemas, atau hanya merasa hampa.

Bagi para remaja sekarang, media sosial telah menjadi seperti ruang kehidupan kedua. Di platform tersebut, mereka bisa tertawa, bersedih, bahkan mencari pengakuan. Dunia virtual menjadi lokasi di mana mereka merasa dapat menjadi siapa saja tanpa batasan. Mereka memiliki kebebasan untuk mengekspresikan diri, memperlihatkan sisi terbaik mereka, dan mendapatkan komentar yang membuat hati tenang. Tetapi di balik semua kebebasan itu, terdapat beban yang tidak terlihat. Setiap unggahan datang bersama harapan akan mendapat perhatian, akan disukai, dan akan diterima. Ketika harapan ini tidak terwujud, timbul rasa kecewa yang diam-diam menekan emosi.

Remaja mulai menilai diri mereka melalui layar kecil yang mereka pegang. Harga diri mereka seakan ditentukan oleh jumlah like, komentar, dan pengikut. Ketika unggahan mereka banyak mendapat perhatian, mereka merasa berharga. Namun saat sepi, muncullah perasaan tidak cukup baik. Seiring waktu, kebahagiaan mereka menjadi tergantung pada pengakuan di dunia digital. Di sini, kasih sayang dan penerimaan seolah hanya bisa ditemukan di dunia maya, meski perhatian yang didapatkan tidak pernah benar-benar tulus. Hari ini mungkin penuh dengan interaksi, tetapi besok bisa terlupakan. Hanya ada perasaan hampa yang tersisa.

Media sosial memberikan ilusi bahwa semua orang saling terhubung, tetapi ironisnya, banyak remaja malah merasa kesepian. Di tengah keramaian virtual yang terlihat ramai, tersimpan banyak jiwa yang merasa sepi. Mereka bersenda gurau dengan emoji, tetapi tidak memiliki tempat yang aman untuk berbagi cerita. Mereka mungkin memiliki ratusan teman di dunia maya, tetapi tidak ada satu pun yang benar-benar mengerti perasaan mereka. Kesepian seperti ini tidak selalu tampak jelas, namun terasa menekan. Ia perlahan tumbuh, di antara tawa digital dan waktu yang terbuang untuk membandingkan kehidupan mereka dengan orang lain.

Setiap kali menggulir layar, remaja disuguhkan cuplikan kehidupan orang lain yang terlihat sempurna. Wajah-wajah bahagia, tempat-tempat indah, serta gaya hidup yang tampak ideal dan  semuanya seakan menggambarkan kebahagiaan sejati. Namun, tidak ada yang tahu apa yang sebenarnya terjadi di balik itu. Mungkin orang yang terlihat bahagia sedang menghadapi kesedihan. Akan tetapi algoritma tidak menampilkan realitas, hanya menunjukkan apa yang tampak menarik. Sebagai dampaknya, banyak remaja merasa hidup mereka kurang bermakna hanya karena membandingkan diri dengan bayangan palsu di layar.

Kebiasaan membandingkan diri menjadi racun yang halus tapi berbahaya. Secara perlahan, rasa percaya diri mulai pudar. Banyak remaja yang merasa takut untuk menjadi diri sendiri karena khawatir akan tidak diterima. Mereka berusaha meniru gaya hidup orang lain, berbicara seperti influencer, dan membagikan sesuatu bukan karena keinginan, melainkan karena ketakutan ketinggalan. Ketika mereka gagal memenuhi ekspektasi tersebut, timbul rasa cemas, lelah, bahkan merasa kehilangan arah. Media sosial yang awalnya menyenangkan, perlahan-lahan berubah menjadi ruang yang dipenuhi oleh tekanan dan ketegangan emosional.

Selain memengaruhi emosi, platform media sosial berdampak pada gaya hidup sehari-hari. Banyak remaja mengalami kesulitan dalam berkonsentrasi belajar karena pikiran mereka sering kali kembali kepada notifikasi di ponsel. Ketika mereka sedang menyelesaikan tugas, suara pesan masuk bisa mengganggu dan membuat fokus mereka hilang. Bahkan saat berkumpul dengan keluarga untuk makan, ponsel masih berada di tangan. Percakapan berubah menjadi hening, karena semua orang terfokus pada dunia mereka masing-masing. Hubungan yang dulunya akrab kini terasa menjauh, seakan-akan mereka berada dalam satu ruangan, tetapi tidak saling terhubung secara emosional.

Gangguan tidur sudah menjadi hal yang biasa. Banyak remaja yang baru tidur larut malam karena sulit berhenti menonton video atau membaca komentar. Mereka khawatir akan ketinggalan informasi dan tidak mengetahui isu yang sedang ramai dibicarakan. Pikiran mereka terus berputar, bahkan ketika sudah tertidur. Akibatnya, mereka terbangun dengan rasa lelah, kepala berat, dan suasana hati yang buruk. Kelelahan yang tampak sepele ini bisa menjadi sumber stres yang berkepanjangan. Jika tidak ditangani, hal ini bisa berdampak negatif pada kesehatan mental dan fisik mereka.

Beberapa remaja juga menggunakan media sosial sebagai pelarian dari masalah yang dihadapi. Ketika merasa sedih, mereka menuliskan status. Ketika marah, mereka mengunggah konten dengan nada sarkasme. Awalnya, ini terasa menyegarkan, seperti ruang aman untuk mengekspresikan emosi. Namun, tidak semua orang di dunia maya dapat memahami situasi tersebut. Ada yang tertawa, dan ada pula yang menghakimi. Akibatnya, perasaan mereka justru semakin parah. Luka lama semakin terbuka, dan rasa percaya terhadap orang lain pun berkurang.

Namun, meskipun memiliki sisi negatif, media sosial juga bisa membawa manfaat. Banyak hal positif yang muncul dari platform ini. Beberapa remaja menemukan komunitas yang mendukung, yang lain mempelajari hal baru, dan ada yang memanfaatkan platform untuk berbagi pengetahuan atau menyalurkan kreativitas. Media sosial bisa menjadi tempat untuk mengekspresikan diri, mencari inspirasi, atau menemukan tujuan hidup baru. Dengan kata lain, masalahnya bukan pada media sosial itu sendiri, tetapi pada cara kita menggunakannya.

Kita tidak bisa sepenuhnya menjauh dari media sosial, mengingat dunia sekarang sudah serba digital. Yang bisa kita lakukan adalah belajar untuk mengendalikan diri. Remaja perlu memahami kapan harus terhubung dan kapan harus istirahat. Sangat penting untuk meluangkan waktu tanpa gangguan notifikasi dan berbicara dengan keluarga tanpa ada layar yang menghalangi. Sebab pada akhirnya, kebahagiaan sejati tidak ditentukan oleh seberapa banyak orang yang memperhatikan kita, tetapi seberapa dalam kita mengenali diri sendiri.

Peran orang tua juga sangat penting. Banyak orang tua yang masih meremehkan masalah mental yang timbul akibat penggunaan media sosial. Padahal, anak-anak mereka mungkin menghadapi perjuangan yang tidak terlihat. Orang tua seharusnya hadir sebagai teman yang mendengarkan, bukan sebagai pengawas yang menakutkan. Ketika remaja merasa aman di rumah, mereka tidak akan mencari kenyamanan di dunia maya. Sekolah pun dapat berkontribusi dengan memberikan ruang bagi siswa untuk membahas pengalaman digital mereka dan belajar tentang cara berinteraksi dengan media yang sehat.

Selain dukungan dari orang lain, kesadaran diri juga menjadi hal yang sangat penting. Remaja perlu belajar untuk mencintai diri mereka sendiri tanpa harus menunggu pengakuan dari orang lain. Menghargai waktu tanpa ponsel dan menikmati aktivitas sederhana seperti berjalan di sore hari atau ngobrol dengan teman tanpa kehadiran kamera. Hal-hal kecil semacam ini dapat menjadi penyembuh bagi pikiran yang lelah. Terkadang, yang kita butuhkan bukanlah lebih banyak perhatian, melainkan lebih banyak ketenangan.

Menjaga keseimbangan dalam dunia digital bukanlah tugas yang gampang. Setiap hari, kita dikelilingi oleh beragam informasi, tren, dan pandangan yang saling bertentangan. Namun, kita memiliki pilihan. Kita bisa memilih untuk berhenti sejenak, mematikan perangkat, dan mengamati sekeliling kita. Kita bisa memilih untuk berpartisipasi dalam percakapan tanpa keharusan untuk merekamnya. Sebab, hidup yang bermakna tidak selalu perlu ditunjukkan. Terkadang, momen yang tidak dibagikan adalah yang paling bernilai.

Pada akhirnya, media sosial merupakan refleksi dari diri kita sendiri. Ia dapat menunjukkan kualitas terbaik kita, tetapi juga sisi lemah yang mungkin tersembunyi. Semua tergantung pada seberapa baik kita mengendalikan diri. Jika digunakan dengan bijak, media sosial bisa menjadi sarana untuk belajar, berkembang, dan menyebarluaskan kebaikan. Namun, jika kita terbawa suasana dan melupakan batasan, hal itu dapat bertransformasi menjadi racun yang perlahan-lahan menggerogoti kebahagiaan kita.

Hidup dalam zaman serba cepat ini membuat kita mudah melupakan bahwa ketenangan berasal dari dalam diri kita, bukan dari dunia luar. Tidak ada yang salah dalam menginginkan perhatian atau pengakuan, tetapi jangan sampai kita mengorbankan diri hanya untuk itu. Media sosial seharusnya menjadi penambah nilai dalam hidup, bukan pengganti.

Mungkin saatnya kita mulai belajar untuk sejenak berdiam diri. Mematikan gadget, menatap langit, berbincang dengan orang-orang di sekitar, dan merasakan udara dengan tenang. Dunia nyata masih hadir, dan menanti untuk dijelajahi sepenuh hati. Karena pada akhirnya, kebahagiaan tidak diukur dari jumlah suka yang kita terima, tetapi dari kedamaian yang kita rasakan ketika kita bisa tersenyum, bahkan tanpa alasan yang jelas.

Penulis

  • Afifah Nur Anni, asal Klaten, usia 19 tahun, lahir pada tanggal 16 Januari 2005. Seorang mahasiswa, semester 5, dengan program studi Tadris Bahasa Indonesia, Fakultas Adab dan Bahasa, di Universitas Islam Negeri Raden Mas Said Surakarta Angkatan 2023. Untuk yang lebih lanjut hubungi saya melalui Telepon : 085855959057. Email : afifahafifah2021@gmail.com


Comments

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Cerpen Sainur Rasyid

Surat dari Akhirat

Curhat

Diary Al Kindi: Lebih Dalam dari Sekadar Matematika 100–31=69

Apacapa Feminis

Body Shaming: Pelecehan, Bukan Lelucon

Apacapa Cerbung Moh. Imron

Cerbung: Farhan dan Perjalanan ke Barat (Part 1)

Anwarfi Miftah Zururi Puisi

Puisi-puisi Miftah Zururi: Kamar Mandi Sekolah

Achmad Al-Farizi Apacapa Esai

Lagu Aisyah Istri Rasulullah: Sisi Romantis Keluarga Muhammad

Apacapa Uwan Urwan Wisata Situbondo

Bukit Pecaron

Cerpen

Rumah Dalam Mata

Alexong Cerpen Tara Febriani Khaerunnisa

Cerpen: Cumi-cumi

Puisi Toni Kahar

Puisi : Aku Mengecup Hujan Karya Toni Kahar

Apacapa Moh. Imron

Wahyu Agus Barata dan Ipul Lestari ; Senior Kesepian

Nur Akidahtul Jhannah Penerbit

Buku Warna Keraguan

Fendi Febri Purnama Madura Puisi

Puisi Bahasa Madura: GHÂR-PAGHÂR

Apacapa Marlutfi Yoandinas

Menjemput Cinta dari Tanah Santri ke Tanah Wali

M Ivan Aulia Rokhman Puisi

Puisi – Balada Sunyi

Fendy Sa’is Nayogi

Memahami Pepatah Madura: Gherrâ Ta’ Bisa Èangghuy Pèkolan, Lemmes Ta’ Bisa Èangghuy Panalèan

Buku Farizzal Qurniawan Hendra Saputra Resensi Ulas

Resensi: Dilan 1983: Wo Ai Ni

Agus Hiplunudin Cerpen

Cerpen : Kesucian Karya Agus Hiplunudin

Diego Alpadani Puisi

Puisi: Pilihan Ganda

fulitik

Jalan Santai Bareng Mas Rio Dongkrak Penjualan Pelaku UMKM