Cerpen: Jurang Ludruk

Oleh: Fajar SH

Meskipun
tahu usahanya akan gagal, Jarot tetap mencegahnya, meminta Kuswan agar sedikit lebih
tenang dan menjelaskan beberapa kemungkinan jika ia tetap bersikeras ingin
pulang.

Pertama,
jarak rumahnya yang cukup jauh. Jarot mengingatkan Kuswan bahwa tadi malam
mereka baru tiba di kediamannya ketika waktu menunjukkan pukul sebelas lewat
setelah melakukan empat jam perjalanan menggunakan sepeda motor. Itupun mereka
tidak langsung tidur, masih membahas hal-hal kecil di berada hingga menjelang
pagi. Tiga jam kemudian, setelah tidur yang tak cukup genap itu, keduanya
mempersiapkan banyak hal untuk kegiatan diskusi yang digagas oleh Jarot.
Artinya, sangat rentan jika Kuswan nekat pulang dalam keadaan tubuh yang kurang
fit seperti sekarang.

Kedua,
Jarot tahu alasan Kuswan yang tiba-tiba ingin pulangβ€”tak lain disebabkan oleh
acara diskusi yang boleh dikatakan tidak sukses: dipenuhi dengan adegan saling serang
antara Kuswan dengan seluruh peserta yang hadir yang tidak berkaitan dengan
tema diskusi sama sekali.

Jarot
menahan tangan Kuswan.

β€œAku
ada janji
,
Rot,” jawabnya tegas tapi menghindari tatapan mata Jarot.

β€œAyolah,
Wan, sebatang rokok lagi.”

Kuswan
tetap bergeming.

β€œPamali,
Wan, setidaknya kamu tunggu sampai azan Magrib selasai.” Sambil membuntuti Kuswan
yang pamit kepada satu persatu orang di dalam ruangan itu tanpa terkecuali.

β€œBesok
kakakku pulang, aku harus menjemputnya pagi-pagi sekali di bandara,” ia memberi
penjelasan dengan nada setengah berbisik setelah bersalaman dengan orang
terakhir kemudian bergegas meninggalkan tempat menuju ke pintu.

Langkah
kakinya yang buru-buru membuat Jarot sedikit kewalahan. Ketika ia baru sampai
di ambang pintu, Kuswan sudah menghidupkan mesin motornya yang terparkir di
halaman depan. Belum sempat ia beruluk salam, Kuswan telah mencap gasβ€”mengendarai
motornya dengan sangat kecang.
Kencang sekali.

***

Kesalahan
Kuswan cuma satu, ia berekspektasi terlalu tinggi.

Dia
pikir, para aktivis itu mewarisi sifat egaliter tokoh junjungannya. Tapi
setelah datang dan mengikuti diskusi bahkan turut melontarkan pikiran-pikiran
yang ada di dalam kepalanya, Kuswan baru menyadari kekeliruannya. Ia salah
sangka bahkan berharap, di sanalah idealismenya akan terakomodir. Tapi, ia
justru menemui kenyataan pahit karena yang sedang dihadapi adalah sekumpulan
orang-orang feodal yang tak tahan kritik dan selalu mengatas namakan sopan
santun untuk meniadakan debat.

β€œPantas
saja kota mereka sepi!” gerutu Kuswan sambil menambah kecepatannya.

Ia
geram bukan karena para peserta telah menyerang pribadinya, Kuswan sangat terbiasa
dengan segala kemungkinan yang akan terjadi di dalam ruang diskusi. Justru yang
membuatnya dongkol kemudian memutuskan pulang dan mengakhiri acara konyol itu
adalah perilaku sahabatnya sendiri, Jarot.

Dengan
tanpa rasa malu Jarot mempresentasikan buah pemikirannya di tengah forum dengan
kalimat menurut saya,  padahal
ketika mereka berdiskusi berdua, gagasan itu selalu ditolak mentah-mentah. β€œKemarin
ditampik, sekarang didaku sebagai idenya sendiri.” Rutuk Kuswan hampir kepada
dirinya sendiri.

 β€œMaling!” ia melanjutkan rasa jengkelnya.

Seandainya
saja semua sanggahan yang mereka lakukan didasarkan untuk menguji pikirannya,
Kuswan akan menerimanya dengan sangat legawa. Tapi, serangan demi serangan itu,
termasuk yang dilancarkan oleh Jarotβ€”dilakukan hanya karena salah satu peserta di
dalam forum itu adalah orang yang cukup terpandang. Orang terpandang yang
sedang didekati oleh temannya.

β€œJadi
ini tujuanmu?!” Kuswan belum mengendurkan urat syarafnya, β€œuntuk menaikkan
prestise?! Agar bisa masuk ke dalam lingkaran orang-orang penting?!” kali ini
terdengar sedikit kecewa.

Perasaan
yang demikian itu terus ia bawa hingga perjalanannya sampai di sebuah
perbatasan Desa Telaga dan Desa Bunga Matahari yang dipisah oleh sebuah jembatan.
Jaraknya dengan jembatan masih 200 meter lagi, suasana jalan terasa sangat sepi
sekali kecuali satu-dua kendaraan yang lewat dari arah yang berlawanan.
Lampu-lampu merkuri yang menggantung di atas tiang-tiang listrik sudah menyala,
beberapa saat lagi hari akan menyambut petang.

Keadaan
jalan yang demikian sepi membuat Kuswan semakin berhasrat untuk menambah kecepatannya.
Meskipun badannya sangat letih ditambah sedikit rasa kantuk yang amat
merepotkan, yang terlintas di dalam kepalanya saat itu hanyalah pulang. Ia
ingin segera tiba di rumah untuk beristirahat kemudian melupakan semua yang hal
yang telah lewat, dan berjanji tidak akan mengikuti diskusi yang dihadiri
orang-orang semacam itu lagi.

Laju
motornya menjadi semakin kencang.

Mungkin
Kuswan ingin menjajal kemampuan motornya hingga batas maksimal, dan pada saat
itulah ia dikagetkan oleh kehadiran sekumpulan  pejalan kaki yang tengah melintasβ€”menyeberangi
jembatan tanpa menoleh kiri-kanan.

Karena
panik, tanpa ia disadari tangannya menarik tuas rem yang berakibat ban motornya
terseok-seok di atas aspal dan akhirnya terpelanting, terpisah jauh dari sepeda
motornya.

Seandainya
ada yang menyaksikan kejadian sore itu, pasti akan menduga bahwa korban
kecelakaan telah mati. Pendapat yang demikian itu sangatlah wajar karena selama
beberapa detik, setelah tubuhnya mendarat keras di atas aspal, Kuswan terlihat
tidak bergerak sama sekali. Tubuhnya terkulai lemah di tengah jalan. Jaket dan
celananya tampak koyak karena tergores aspal. Dan, di sela-sela helm Kuswan
yang retak, meleleh cairan darah yang entah berasal dari mana.

Setelah
itu tidak terdengar suara apa-apa lagi kecuali keributan kecil yang berasal
dari kepanikan para rombongan pejalan kaki yang terkejut karena menjadi
penyebab kecelakaan tunggal itu.

Awalnya
mereka hanya ingin menuju ke mobil bak terbuka yang sedang terparkir di
seberang jalan, tapi karena melihat Kuswan yang membutuhkan pertolongan mereka beramai-ramai
berjalan menuju ke sana kemudian salah satu dari mereka meletakkan  kepala Kuswan di atas paha:

β€œKamu
tidak apa-apa, nak?”

Kuswan
berusaha mengatasi pandangan matanya yang lamur, meneliti setiap detail wajah-wajah
yang mengerubunginya.

β€œNak,”
kata orang itu lagi, β€œkamu tidak apa-apa?”

Sungguh
ajaib! Rasa sakit yang tadi dirasakannya menjadi hilang. Kini yang ia lihat
menjadi terang-benerang. Dan, suara yang menyadarkannya tadi rupanya berasal
dari seorang laki-laki paruh baya yang bersolek laiknya seorang wanita.
Sedangkankan yang lain berdandan menggunakan kostum yang berbeda-beda lengkap dengan
pupur putih, merah, dan garis-garis hitam yang memenuhi wajahβ€”membuat mereka
terlihat sangat lucu sekali.

β€œNak,”
laki-laki yang berdandan perempuan memanggilnya lagi.

β€œSaya
di mana?” Kuswan akhirnya menjawab meskipun dengan kesadaran yang belum penuh
benar.

β€œSudah,
nanti kamu akan tahu sendiri.”

Kuswan
melemparkan pandangan ke segala penjuru.

β€œMari,
ikut saya. Sudah bisa berdiri, β€˜kan?!”

β€œKemana,
pak?”

β€œTidak
jauh dari jembatan ini, adalah tempat tinggal kami. Untuk sementara waktu kamu
bisa istirahat di sana.”

***

 

β€œSudah,
tidak apa-apa.” kata salah seorang tamunya, sambil menjabat tangan Jarot,
setelah ia meminta maaf berkali-kali karena acara tidak berjalan sebagaimana
mestinya.

Jarot
mengantarkan mereka hingga di luar pagar, kemudian kembali lagi untuk duduk di
salah satu kursi sambil menikmati segelas kopi yang sudah dingin dan sebatang
rokok-sisa yang dimatikan ketika membuti Kuswan tadi.

Jarot
memandangi jarum jam dinding yang terus bergerak sambil menghisap rokok di
tangannya. Adegan demi adengan belum lepas dari kepalanya.

Selintas
berikutnya, wajah Kuswan muncul. Wajah seorang sahabat yang sangat cerdas dan
kesepian karena kerap meneror mental lawan bicaranya di setiap diskusi yang
kadar voltase-nya tinggi.

Dan,
karena peringainya itulah Jarot menolak ketika Kuswan ingin ikut dengannya.
Peristiwa itu terjadi ketika keduanya berada di kantin kampus, dan entah karena
alasan apa Jarot menceritakan rencananya kepada Kuswan yang ingin pulang
setelah mata kuliah terakhir untuk menyelenggarakan agenda diskusi  bersama teman-teman organisasinya.

β€œBerapa
jam perjalanan ke rumahmu, Rot?” tanya Kuswan, menunjukkan rasa
ketertarikannya.

β€œKalau
ngebut bisa tiga jam, paling tidak ya empat jam.”

β€œAku
ikut kalau begitu!”

β€œBukannya
kamu masih ada jadwal kuliah?”

β€œGampang,
nanti bisa nitip absen.”

β€œAku
menginap, lho, dua bahkan tiga hari.”

β€œTidak
masalah,” Kuswan sedikit memaksa, β€œkita pakai motor masing-masing. Jadi aku bisa
pulang sewaktu-waktu.”

β€œJauh
Wan!”

β€œMaksudmu
aku tidak boleh ikut?”

Jarot
sedikit derdesak, dan memilih diam agar penolakannya tidak terasa kasar dan
menyakiti sahabatnya. Maka di dalam diamnya itu Jarot berpikir, lalu mengubah
tema pembicaraan agar Kuswan lupa dengan  apa yang telah mereka bahas tadi.

β€œGimana,
jadi kita ke rumahmu?” kata Kuswan lagi setelah mereka membahas tentang banyak
hal.

β€œAku
berangkat setelah Magrib, sampai di sana pasti sudah malam. Kamu serius mau
ikut?”

β€œMemangnya
kenapa?”

Inilah
reaksi yang ia tunggu-tunggu
. β€œJadi begini, Wan.
Di salah satu desa menuju ke rumahku, ada sebuah jembatan yang terkenal sangat angker.
Namanya Jurang Ludruk.

β€œJadi
ceritanya, dulu, entah kapan; ketika kualitas jalan belum sebaik sekarang dan banyak
jembatan masih terbuat dari kayu, ada sebuah kelompok seni ludruk yang sedang
melakukan perjalanan menuju ke tempat pentas. Di dalam perjalanan itu, ketika
melintasi salah satu jembatan, mobil mereka mengalami kecelakaan karena kayu-jembatan
patah dan mobil mereka jatuh ke dalam sungai. Semua korban dinyatakan mati, dan
mayat para pemain ludruk itu dikuburkan tidak jauh dari tempat kejadian. Dan,
konon katanya, mereka sering menampakkan diri untuk mengganggu para pengguna
jalan.” tegas Jarot, menutup ceritanya.

β€œLalu?!”

β€œMasih
mau ikut?”

β€œYa
ikutlah!”

β€œKamu
tidak takut?”

Kuswan
menggelengkan kepala, β€œaku tidak percaya setan.”

Jarot
yang mulai putus asa menyandarkan punggungnya pada kursi sambil
menyilangkangkan tangan, menunggu penjelasan.

 β€œLa ya’riful wali illa wali.

β€œTidak
dapat mengetahui wali kecuali seorang wali.”

β€œPersis!
Pendapatku tentang makhluk halus sama seperti itu: tidak dapat melihat setan
kecuali ia sudah mati.”

Penulis


Comments

5 tanggapan untuk “Cerpen: Jurang Ludruk”

  1. πŸ‘πŸ‘πŸ‘πŸ‘πŸ‘πŸ‘

  2. Lanjuuuuuttttt.

    Sedikit sindiran yang harusnya berimbas besar.

    Menggugah kesadaran yang semakin tidak sadar bahwa kesadarannya merosot.

  3. lanjut terus adiku.

    Black-devil

  4. Mantappp

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Puisi Rizal Fathurrohman

Puisi : Hujan yang Merenung dan Puisi Lainnya Karya Rizal Fathurrohman

Cerpen Yudik Wergiyanto

Cerpen : Hari yang Baik untuk Menikah

Buku Thomas Utomo Ulas

Ulas Buku: Bahagia Mencintai Diri Sendiri

Buku Junaedi Resensi Ulas

Merekonstruksi Ulang Ketidakadilan Spasial dan Politik Kewargaan Desa

Uncategorized

Mohon Maaf Jika Tulisan Ini Tidak Terlihat

Apacapa Haryo Pamungkas

Terapi di Warung Kopi

Uncategorized

Puisi Mored: Lembung Kejora

Buku Toni Al-Munawwar Ulas

Pentingnya Kesehatan Gigi dan Mulut

Dani Alifian Puisi

Puisi : Hujan di Tubuh Seorang Perempuan Karya Dani Alifian

Cerpen Eko Setyawan

Cerpen: Carlina dan Dangdut yang Mencelakainya

Andi Fajar Wangsa Puisi

Puisi : Sore yang tak ingin Kuakhiri dan Puisi Lainnya Karya Andi Fajar Wangsa

Alex Cerpen

Cerpen: Masalah Ketika Ingin Menjadi Dewasa

Apacapa Imam Sofyan

Rajekwesi Suatu Magrib

Apacapa Moh. Imron

Pewaris Budaya Desa

Apacapa fulitik Raisa Izzhaty

Menggugat Integritas Pejabat Publik

Buku Indra Nasution Ulas

Sedikit Ulasan tentang Sekolah itu Candu

Mored Safina Aprilia

Puisi Mored: Memori Karya Safina Aprilia

Apacapa

Film Pendek Lastarè: Sebuah Perjalanan Batin Korban Perundungan

Cerpen Uwan Urwan

Cerpen Seratus Perak

Moh. Imron Puisi

Langai; Selimut Duri