Puisi: Di Luar Rencana

 

freepik 

Di Luar Rencana

 

            -safrina

Aku
membawakanmu mawar yang separuh terbakar
dan kusematkan mawar itu di telinga kirimu, aku berbisik lirih menyerupai suara
angin
“kita adalah dendam dan rindu menebak siapa yang sampai lebih dulu”.

 

Sambil
tersenyum kau terus meraba tangis manusia-manusia yang kehilangan rumah,
sebuah halte yang dibakar massa dan seekor kuda yang sekarat memintamu untuk membelai
luka di punggungnya
kau mencabut sisa-sisa mawar yang terbakar dari kuncupnya
menaruhnya di dahi manusia-manusia yang telah kehilangan rumah
menaburkannya pada sebuah halte yang dibakar massa dan seekor mayat kuda
menumbuhkan kebun mawar di punggungnya yang menganga

 

Di
luar rencana malam akan menuntunmu kembali padaku
dan kau lebih dulu sampai dari dendam dan rindu

 

Jakarta,
2020

 

 



 

Mendengarkan Wonderful Tonight di Malam Dingin di
Yogyakarta

 

            -rahma

Gerimis
turun dengan seksama, singgah dan mengering di jaket gigil tanganmu yang
memeluk pinggangku. Kita mampir di sebuah bakul bakmi pinggir jalan, aspal
semakin menghitam bekas hujan dan roda kendaraan. Kita memesan bakmi godog dan
magelangan, tidak lupa teh hangat untuk mengisi genggaman tangan yang hampa.
Seorang pengamen masuk membawakan lagu Wonderful Tonight, genjrengannya
menggetaskan senyumanmu menjadi udara dingin yang membuat bahuku semakin
berdempetan dengan bahumu semakin riang, pengamen itu menaikkan nada
nyanyiannya. Ia tahu ini malam romantis kita berdua di Yogyakarta. Lalu, bakmi
godog dan magelangan tiba, setelah selesai membuat hujan menjadi kenangan,
pengamen itu pergi dengan senyuman, tak lama berselang kita juga telah selesai,
dan gerimis hilang dengan seksama, katamu di bisik kupingku “malam ini akan
kita habiskan dengan berpelukan”. Seorang pengamen dan bakul bakmi pinggir
jalan tersenyum di kejauhan.

 

Yogyakarta,
2020

 

 

 

Di Luar Kekacauan


            -safrina

Sebuah
kota mengepung dirinya sendiri
orang-orang menggila, meluncurkan bazooka
ke gedung-gedung yang ditinggalkan
kebakaran terjadi di mana-mana, di ranjang pengantin, di dapur ibu, di sepasang
mata anak kecil
yang kelaparan. Seketika jalanan dipenuhi kematian, bebatuan melayang mengenai
burung yang sedang belajar terbang dan sebuah ambulan keluar masuk di tengah
kerumunan massa yang menuntut keadilan.

Tank-tank
berderak maju, memukul ketakutan kembali menjadi keringat dingin. Tapi.
kau berdiri di tengah peperangan, dengan tenang dan senyum yang meneduhkan. Kau
menaruh bunga di moncong tank yang siap menghanguskan massa. Kau menyelipkan
bunga di kuncup senjata yang menatapmu memburu. Kau menghujam seluruh kota dan
manusia dengan bunga di hati mereka.

Di
luar kekacauan ini kecantikanmu adalah kisruh yang tidak bisa dilawan.

 

 Jakarta, 2020

 

 

 

Bersama Safrina

 

Pilihlah
satu hari yang akan kita habiskan dengan mendengarkan radio usang
ketika tetiba nyala menyanyikan lagu kesukaanmu di beranda sebuah rumah
yang jauh dari ribut kendaraan dan teriakan-teriakan
hujan dengan melankolianya mengubahmu menjadi suara yang tertinggal di jendela
seperti seorang anak kecil yang menginginkan tumbuh menjadi dewasa
aku terus berlari di bawah melankolia hujan di mana kau bisa memilih satu hari
itu
untuk pergi meninggalkanku dan aku bisa memilih satu hari itu
untuk tumbuh menjadi dewasa tanpa mengenal cinta



 

 

Di Ujung Pelangi

 

Di
ujung pelangi yang jatuh pada sebuah teluk dingin
tempat ikan mengeram telurnya dari deru kapal-kapal besi
kau menyembul dari air, rambutmu basah, kulitmu licin
seperti baru saja ikan-ikan menetas di hangat dadamu

 

Di
ujung pelangi seseorang dipaksa pergi meninggalkan sebuah pelabuhan
barang-barangnya di lempar jauh ke laut. Tangannya terikat sebuah karang
yang berkilau dari dalam air. Ia tenggelam, teriakannya menjadi
gelembung-gelembung
yang meletus di bawah jembatan kayu tempat memandang jauh ke sebuah teluk
dingin

 

Dan
aku menemukan kebahagiaan di ujung pelangi
seperti seekor anak ikan yang baru lahir aku susuri lautan
tiba di tubuh seseorang yang tenggelam dengan tangan terikat
aku cium pipinya, dan ia tertawa, tak lama setelah kau kembali
berenang membawa tubuhnya menyembul dari air
dan pelangi menetas di dadamu yang licin

 

 

 

BIODATA
PENULIS

Raihan
Robby pecinta mie ayam garis keras ini lahir di Jakarta, saat ini ia sedang
menetap di Yogyakarta, menjadi mahasiswa Sastra Indonesia UNY, ia menulis
puisi, naskah drama dan cerita pendek, beberapa puisi dan cerpennya dapat
dilihat di haripuisi.com, kibul.in dan apajake.id, silahkan mampir dan
berbincang lebih banyak tentang mie ayam di Yogyakarta dengan mengunjungi
Instagram dan Twitter @raihanrby

Penulis


Comments

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

alif diska Mored Moret

Puisi Mored: Kepada Bumi dan Manusia

Curhat Moh. Imron

Ramadan: Tangisan pada Suatu Malam

Cerpen Ulfa Maulana

Cerpen: Peri dan Kekuatan Kenangan

Apacapa fulitik ricky

Salah Kaprah Gelora Bung Karna

Irham Fajar Alifi Puisi

Puisi: Kita Tak Sendiri

Ahmad Zaidi Apacapa

Tentang Kita yang Terlalu Banyak Bicara Omong Kosong

Apacapa

Ngopi Bareng: Dari Aspirasi Menuju Aksi

Cerpen Imam Sofyan

Kitab Putih

Kakanda Redi Puisi

Puisi – Aviory

Apacapa Esai Latif Pungkasniar

Plakat, Kongko, dan Sekawanan Penulis

Buku Resensi Ulas

Resensi: Midnight Diaries

Apacapa Randy Hendrawanto

Generasi Z bertanya soal isu PKI

Apacapa Moh. Imron Ngaleleng

Menyimak Pengolahan Kopi Arabika di Kayumas

Apacapa Esai Haryo Pamungkas

Ketemu Mas Menteri di Warung Kopi

Penerbit

Buku: Bahagia Butuh Bersama: Kumpulan Puisi

Buku Febrie G. Setiaputra Resensi Ulas

Resensi: Logika: Bukan Hanya untuk Orang Pintar

Halimatussa’diah Mored

Puisi Mored: Pergi Tanpa Kembali dan Puisi Lainnya

Abi Alfatih Mored Moret

Satu Langkah Terakhir

Apacapa

Patung Letnan Nidin dan Letnan Soenardi, Hanya Pajangan Belaka (Bagian I)

Apacapa Esai Marlutfi Yoandinas

Jika Jurnalisme Bukan Monopoli Wartawan*