Cerpen Mored: Perempuan Pelangi

Oleh: Moh.
Jamalul Muttaqin*

Siapa
yang tak menyukai warna yang tersusun dengan warna-warna pilihan sehingga indah
dipandang mata, lalu orang-orang menamainya pelangi, menunggunya disetiap
gerimis mereda, dan bercerita panjang kepada keluarganya tentang keindahannya
yang tak pernah membosankan. Sayangnya, mereka selalu menutup mata saat pelangi
berubah warna. Mereka tak pernah menghargai kenangan, padahal kenangan adalah
keindahan, bukan untuk dilupakan.

       (Jeans
Tollenar XII)
“Anakku, ini
sudah malam, masuklah ke dalam kamar, berbaringlah di atas ranjang dan
terlelaplah dengan tenang. Tak perlu kau duduk termangu sendiriaan di luar, karena
ini sudah malam, orang-orang sama tidur. Lihatlah di seberang jalan sana!
Pintu-pintu rumah sudah tertutup rapat, lampu kamarnya telah padam, pastinya
mereka sudah terlelap bersama mimpi atau sedang bercumbu mesra bersama
keluarga. Anakku! Marilah masuk kedalam kamar sambil menikmati hangat dalam
jiwa.” Suara itu terdengar begitu nyaring yang ditujukan kepada perempuan yang
sedang duduk menyendiri di tengah gelapnya malam.

“Aku masih
belum lelah dengan semua ini, Ibu. Sudahlah, biarkan aku di sini sendirian
menanti harapan yang akan mendatankan kebahagiaan. Tak perlu kau menyuruhkku
masuk ke dalam kamar, karena di dalam kamar takkan pernah ada perubahan, sama
saja. Takkan pernah ada keindahan, mungkin saja berantakan.” Perempuan itu
mengelak, tak mengindahkan ajakan ibunya.

“Tidak,
Anakku! Semuanya telah ku rapikan, yang kau pinta telah terkabulkan. Di sana
juga ku sediakan air zam-zam agar pikiranmu kembali jernih. Masuklah, Anakku!
Nanti kau hilang ditelan petang. Kalau kau tetap di sini kau pasti basah kuyup.
Sebab hujan akan segera turun dengan deras; deras sekali.”Sementara ibunya
tetap saja memaksa agar tak gigil kedinginan dengan berbagai cara serta
iming-iming kesenangan.

“Sungguh? Kau
yakin hujan akan segera turun, Ibu? Syukurlah! Aku sedang menanti hujan.”
Kenyataannya berbeda, perempuan itu memang sengaja menanti datangnya hujan.

“Sejak kapan
kau suka pada hujan, Anakku? Bukankah kemarin kau bilang hujan seperti air
mata; hanya menguras kenangan indah dan
merampas ketenangan jiwa
? Sudahlah, tak perlu kau bohongi dirimu sendiri.
Jika hatimu sudah berkali-kali berkata tidak kenapa mulutmu kau paksakan
berkata iya? Itu menyakitkan, Anakku!” Yeach…
karena baru kali ini ia menyukai hujan. Sementara sebelumnya selalu saja
mengomel setiap kali hujan turun.

“Aku tak suka
pada hujan, tapi aku suka pada gerimisnya! Seperti intan permata. Juga yang aku
tunggu keindahan pelangi yang hadir setelah gerimis. Lalu, aku akan memungut
sisa-sisa gerimis untuk membasuh warna pelangi yang hampir buram.” Ternyata, di
balik hujan yang ia nanti adalah keindahan pelangi.

“Warna takkan
perna buram dimakan musim juga takkan pernah hilang dihempas pradaban. Kau tak
perlu memungut gerimis takut sakumu basah, juga kau tak perlu berlama-lama
menanti pelangi. Sebab sekarang sudah petang, kau tak mungkin melihat pelangi
dimalam hari. Gunakan kepandaian akal pikirmu, jangan kedepankan emosimu. Aku
tak ingin kau gila, Anakku! Kaulah anakku satu-satunya, jangan berbuat yang
aneh-aneh. Sudahlah, masuklah ke dalam. Nanti kau gigil gedinginan.” Bagaimana
pun, ibunya tetap saja melarang untuk tak berlama-lama di luar menanti pelangi.
Karena dimalam yang petang tak mungkin ada pelangi, meskipun gerimis mulai
reda.

“Ibu! Kau tak
pernah tahu tentang pelangi yang aku tunggu. Jadi kau tek perlu ikut campur
dengan urusanku. Toh, tubuhku takkan pernah mengenal dingin.” Sekali lagi ia
tetap saja mengelak.

“Pelangi
sebagian dari masa depan, Ibu! Aku duduk di sini sama halnya berproses  untuk meraih masa depan.” Ia mempertahankan
keyakinannya.

“Benarkah
pelangi sebagian dari masa depan? Pelangi dengan warna apa yang kau tunggu,
Anakku? Apakah dengan warna keemasaan atau pelangi tanpa warna? Sayangnya, kau
berusaha melihat pelangi dengan cara yang salah. Kau tidak bertanya terlebih dahulu,
kau tidak berguru, nyatanya kau hanya menunggu!” Tetapi, ibunya menyalahkan apa
yang ia pertahankan; keyakinan tentang arti pelangi.

“Bukankah
sudah berkali-kali aku minta petunjuk pada guruku? Tapi dia selalu diam, tak
mau menjawab pertanyaanku. Memilih pasrah pada kenyataan. Sehingga aku bosan
untuk selalu bertanya. Apa gunanya bertanya jika tak menghasilkan jawaban?
Sekarang pertanyaan tak bisa dibeli, kalau bisa, pastinya sangat mahal.lantas,
siapa yang paling bersalah, Ibu? Aku ataukah guruku!” Perempuan itu menampakkan
wajah putus asa.

“Kau terlalu
bodoh menganggap pelangi sebagian dari masa depan. Kau harus berguru lagi agar
tidak terperangkap dengan pemikiran orang lain. Seharusnya kau tidak hanya
bertanya satu kali! Bukan hanya pertanyaan yang mahal tapi jawaban jauh lebih
mahal. Maka, jangan sekali-kali bosan
untuk bertanya!
” Ibunya berusaha menyadarkan, memberi penyemangat agar
kembali sadar; agar tak merasa benarsendiri.

“Sudahlah,
Anakku. Tak perlu kau berharap yang buan-bukan, lebih baik kau tidur!” Sebab
ibunya tahu ia sedang lelah.

“Tak perlu
kau bersedih, Anakku. Nanti akan ku hadiahkan pelangi untukmu.” Ibunya berkata
sambil tersenyum.

“Benarkah,
Ibu? Ibu berjanji akan menghadiahkanku pelangi? Pelangi dengan warna apa yang
akan kau hadiahkan kepadaku? Apakah pelangi dengan warna emasa ataukah pelangi
dengan warna ke-biru-biru-an? Tapi, aku masih belum yakin dengan apa yang telah
kau janjikan padaku, Ibu. Sebab, sepanjang sejarah tak seorang pun dapat
mengambil pelangi. Bahkan sejarah telah mengabadikan bahwa ada dukun sakti
dengan mantra guna tak sanggup menghadiahkan pelangi untuk pembantunya yang
sangat menyukai pelangi. Maafkan aku, Ibu! Bukan maksud hati ingin menyakiti
perasaanmu. Hanya saja, itu adalah sesuatu yang sangat tidak mungkin.” Dengan
wajah cantiknya ia berusaha tersenyum walau pada hatinya kurang yakin.

“Ada apa
dengan dirimu, Anakku? Kau boleh tak percaya terhadap yang ibu katakan. Tapi,
aku akan berusaha dengan cara apapun agar apa yang kau inginkan terpenuhi.”
Berkata sambil tersenyum.

“Masuklah ke
dalam kamar, Anakku! Berbaringlah dengan tenang lalu terlelaplah bersama mimpi
yang menjadi harapan dan bangunlah disaat pelangi datang memelukmu!”.

______________
*) Penulis berasal dari Desa Longos, Kecamatan Gapua dan merupakan alumni MTs. Nurul
Anwar Andulang Gapura. Sekarang
Nyantri di
PP. Annuqayah Daerah Lubangsa dan Melanjutkan studinya di MA 1 Annuqayah kelas
XII IPS 1. Aktif di organisasi IKSTIDA, PASRA, OSIS, DPS, Komunitas KOMPAS,
sekaligus Pemred Mading Xty.

Penulis


Comments

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Advertorial Mohammad Farhan Politik

Muscab DPC PKB Situbondo Angkat Tema Partai Advokasi

Advertorial

Tips Memilih Celana Boxer Agar Nyaman Digunakan

Apacapa Panakajaya Hidayatullah

Masih Pentingkah Festival Kampung Langai?

Apacapa Mohammad Farhan

Kayumas Bersastra: Menjadi Tua yang Menyenangkan

Cerpen Surya Gemilang

Cerpen: Dinding-Dinding Rumah Seorang Pembunuh

hafid yusik

Surat Terbuka untuk Kiai Muhyiddin

Apacapa Raisa Izzhaty

Jika Tidak Mampu Menjadi Pandai, Setidaknya Jangan Pandir

Apacapa Imam Sofyan

Olean Bersholawat: Pengajian Ramah Disabilitas

Puisi Syukron MS

Puisi: Kesaksian Burung Trinil

Apacapa Mohammad Farhan

Maukah Kau Menemaniku di Kampung Langai, Dik?

Cerpen Syarif Nurullah

Cerpen: Bagaimana Cara Kita Berkenalan?

Apacapa Rahman Kamal

Besuki Membaca: Dikira Jualan Buku sampai Mendirikan Rumah Baca

Apacapa Baiq Cynthia

Kepingan Kenangan di Kota Santri Situbondo

Cerpen Ken Hanggara

Cerpen – Dunia Silver

Ahmad Zaidi Cerpen

Lelaki yang Datang Bersama Hujan

Apacapa Esai Latif Pungkasniar

Plakat, Kongko, dan Sekawanan Penulis

Ayis A. Nafis Puisi

Puisi: Hikayat Sebuah Maut

Apacapa Panakajaya Hidayatullah

Agus Rajana: Selamat Jalan Pendekar Musik Madura

Apacapa Imam Sofyan

Melihat Masa Depan Situbondo dari Lomba Flashmob Panarukan

Apacapa Esai Fendy Sa’is Nayogi

Jangan Dilupakan, Folklor Sebagai Media Membentuk Karakter Bangsa