
“Perpisahan memang tidak butuh perayaan. Tapi perpisahan selalu punya cara untuk melahirkan sebuah kenangan.”
Awal bulan Agustus, saat Dirot baru pulang ngopi bersama teman-temannya, tiba-tiba ia tersekat di depan pintu rumah. Ketika hendak meremas gagang pintu, spontan ia terbayang sosok Dalot, kekasihnya. Sebab sebulan yang lalu adalah pertemuan terakhir mereka di rumah itu—rumah pribadi milik Dirot.
Tiap kali kekasihnya menginap, Dirot selalu mempersilakan Dalot untuk membuka pintu terlebih dahulu. Karena saat Dalot menggenggam erat gagang pintu lalu mendorongnya ke atas dan ke bawah, ia membayangkan saat-saat di mana kelak kekasihnya juga menggenggam terong emas miliknya. Yang itu, juga dengan perlakuan yang serupa: didorong dari atas ke bawah atau sebaliknya.
Pikiran liarnya tidak berhenti di situ, ia melanjutkannya dengan duduk di depan teras rumah sambil membayangkan kekasihnya sedang berada di sampingnya.
Sebatang rokok cukup untuk menemani pikirannya yang sedang berkelana. Percakapan-percakapan kecil saat berada di dalam rumah bersama kekasihnya mulai bermunculan merasuki alam bawah sadarnya.
“Mas… aku mau mandi dulu, ya.” Kalimat pertama yang biasa Dalot ucapkan pada Dirot.
“Iya, Dik. Mandilah. Buatlah dirimu semenarik mungkin.” Balas Dirot yang sedikit menggoda karena tahu setelah kekasihnya selesai mandi, ia akan tidur bersama.
Rumah itu mulanya dirasa sedikit angker. Sebab itulah yang membuat Dirot sangat jarang menempati rumah itu seorang diri, kecuali saat bersama kekasihnya.
Beberapa kali saat teman-temannya menginap, selalu ada cerita mistis yang didapatnya. Seperti cerita: tombol lampu yang dipencet-pencet, suara berisik namun samar di dapur, sosok putih yang beberapa kali lewat dengan kecepatan kilat, termasuk pengakuan Dalot yang pernah diganggu saat hendak mandi.
Tapi semua cerita itu selalu ia tepis. Sebab Dirot sendiri tidak pernah merasakan semua kejanggalan yang pernah mereka ceritakan. Lebih-lebih saat Dalot menceritakan ketika melihat sosok menyeramkan di depan kamar mandi, Dirot hanya meresponsnya dengan senyuman. Karena bagi Dirot, kekasihnya hanya membutuhkan sebuah pelukan darinya. Cukup dengan pelukan, segala ketakutan hilang lalu yang tercipta adalah kemesraan yang berkepanjangan.
Percakapan-percakapan kecil kembali muncul ketika Dirot terlalu larut dalam lamunan. Membuat rokok yang dipegangnya berhasil menciptakan lubang kecil di celananya.
Bayangan bersama kekasihnya di dalam kamar tiba-tiba tumpah ruah di kepalanya. Ia merasakan kebahagiaan sesaat. Kemudian dengan cepat ia membakar sebatang rokok lagi.
“Bagaimana hari ini?” tanya Dirot.
“Sedikit melelahkan, Mas. Seperti biasa. Tiada hari tanpa bertemu dengan nasabah yang menyebalkan.”
“Hmm… begitu, ya.” Sambil mengelus-elus Dalot, Dirot berencana meredam emosi Dalot.
“Mas sendiri?” Dalot balik bertanya.
“Ya, lelah juga. Tapi seperti biasa.”
“Seperti biasa, maksudnya?”
“Ketika ada kamu, rasa lelah itu hilang begitu saja. Tanpa sisa.” Dirot menjawabnya mantap.
“Alah! Kebiasaanmu. Kalau sudah mau tidur pasti ada saja gombalannya.”
Meski terdengar sedikit sewot, jawaban kekasihnya membuat Dirot merasa Dalot sedang menutupi perasaan gembira. Kemudian setelah itu, mereka berdua melangsungkan ritual seperti biasa—ritual berupa kepingan-kepingan indah yang selalu maju-mundur di ingatan: menolak untuk gampang dilupakan.
Terlihat, rokok keduanya mulai kehabisan napas. Tidak ada lagi api yang menyala. Dan tidak ada lagi pikiran liarnya. Selesai sudah pikirannya bertamasya. Dirot menyegarkan diri berdiri lalu bergegas masuk ke dalam rumah.
*
Di dalam rumah, Dirot langsung bergegas mengganti pakaian, mengeluarkan barang bawaannya dari dalam tas lalu berkemas mandi untuk bersih-bersih. Dan setelah semuanya selesai, ia kembali masuk ke dalam kamar, dan menemukan sesuatu berupa: harapan dan kenangan.
Dengan wajah datar, Dirot menatap sekeliling kamar itu. Ketika hendak menyisir rambutnya di depan kaca, ia melihat sosok Dalot sedang memeluknya dari belakang. Tidak hanya itu, pada saat Dirot mau membaringkan tubuhnya, ia melihat sosok Dalot sedang berbaring lebih dulu sambil menatap ke arahnya. Ketika ia mengedipkan mata, sosok Dalot ikut hilang bersamanya.
Dirot membaringkan tubuhnya pelan-pelan. Menatap ke atas dengan perasaan sedikit gusar. Ia diingatkan kembali dengan kalimat Dalot di pertemuan terakhirnya.
“Mas? Kalau kita tidak ditakdirkan bersama, kita harus tetap bersama, ya.” Ucap Dalot dengan nada pelan. Sembari memegang pipi Dirot, air matanya terlihat seperti sedang berenang.
Dirot menyesali reaksinya yang saat itu terlihat biasa-biasa saja. Bahkan terkesan menyepelekan dan menganggap itu hanyalah sebuah lelucon. Dirot betul-betul tidak bisa menangkap makna luas dari ucapan kekasihnya itu.
Tiba-tiba saja, air matanya mengambang. Ia memang tidak mudah mengizinkan air matanya berjatuhan, tapi sebab bayangan kekasihnya yang terlalu kuat, air mata itu meluncur dengan sendirinya: pelan tapi pasti.
“Apakah rumah ini betul-betul angker?”
“Apakah yang mereka lihat di dalam rumah ini betul-betul nyata?”
Segala bentuk spekulasi yang sebelumnya ia ragukan, terjawab sudah. Ia mantap mengakui bahwa yang mereka katakan adalah benar.
Namun, Dirot sedikit menggugat ihwal perbedaan rupa dan laku makhluk yang diceritakan mereka. Ia bertanya-tanya, mengapa yang ia lihat bukan makhluk putih yang menakutkan?
Mengapa bukan makhluk yang hobi memencet tombol lampu?
Mengapa bukan makhluk yang kerap berisik di dapur?
Dan mengapa harus bayangan Dalot yang bergentayangan? Bukankah setiap makhluk halus itu menakutkan? Tapi apa yang Dirot lihat sama sekali tidak menakutkan. Sosok itu indah baginya.
Dirot menyesali perbuatannya saat mengedipkan mata. Andai saja ia tidak melakukannya, barang tentu ia bisa menatap lebih lama paras kekasihnya yang indah dan mempesona.
“Apakah ini yang kamu maksud kita akan terus bersama, Dik?” ucap Dirot dengan suara getir dari mulutnya.
Ia seolah tak percaya dengan apa yang terjadi. Setelah sebulan tidak pernah menginjakkan kaki di rumah itu, malam ini tiba-tiba Dirot ingin tidur kembali di rumah dan kasur miliknya. Ia merasa pulang dari kafe seolah ada yang menuntunnya.
“Jika memang ini permintaanmu kala itu agar kita terus bersama, maka aku akan selalu mengizinkan engkau bergentayangan sepanjang waktu di rumah ini, Dik. Muncullah sesukamu. Sebab, semakin engkau sering muncul, aku akan makin setia mendiami rumah ini.” Lanjutnya.
Ketika matanya kembali kering, Dirot menyebut kalimat istighfar beberapa kali dan melanjutkan membaca doa tidur.
Sebelum tidur, ia berucap pada kekasih bayangan atau bayangan kekasihnya, “Sesekali hadirlah dengan wajah yang menyeramkan, Dik. Agar ketika aku ketakutan, aku bisa memeluk bayanganmu.”
Tinggalkan Balasan