Cerpen: Gadis Usia Delapan

Di bawah pohon rindang yang daunannya mengalun indah, Randu duduk sambil memperhatikan kucing putihnya berlari lincah ke sana kemari. Ia meletakkan tas rotan cokelat yang sedari tadi menggantung di bahu, mengeluarkan sebuah buku kuning bergambar bunga matahari. Dibukanya halaman terakhir buku itu, dan mengambil satu dari delapan surat yang tertulis dengan tinta tebal.

Aku melihatmu selayaknya senja,

Semburat indah memanjakan mata.

Kiranya aku menyukai jingga,

Tapi tidak dengan singkatnya pesona.

Semoga kau tetap senja yang kupuja,

Dengan waktu yang tidak sementara.

Delapan bulan, delapan surat tanpa nama pengirim. Enam bait indah yang ketika dibaca terasa seperti luka. Dirinya tidak tumbuh dengan cinta dari siapa pun. Kecil bersama rumah kayu tua yang ia rawat sejak usia delapan tahun, sejak ibu dan bapaknya pergi tak kembali.

“Orang tuaku ada di ujung dunia,” adalah kalimat yang kerap ia ucapkan tatkala jiwanya berbisik bertanya, mengusik pikiran tenangnya. Jika cinta itu benar ada, mestinya ia sudah merasakannya dari mereka. Nyatanya, satu-satunya cinta yang ia pahami hanyalah kasih Tuhan dan kelembutan alam.

Lantas apa yang penulis harapkan atas surat itu terhadap Randu? Sedang Randu sendiri sudah tak berminat memberi cinta pada siapa pun, ia merasa takkan mampu membalas rasa dari pemilik kata-kata indah itu. Seperti apa bentuk cinta? Bagaimana Randu akan memperlakukannya? Pertanyaan-pertanyaan itu membuatnya takut—takut menyakiti, takut melukai. Cukup Randu yang menyimpan luka, orang lain jangan merasakan luka sebab dia.

Berjam-jam merenung dengan terpaan angin lembut yang menyapu wajahnya di sini bukanlah suatu hal yang sia-sia. Baginya, alam adalah terapi untuknya.

“Meongg…” Kucing putih itu menghampiri Randu, melompat ke atas pangkuannya. Randu bergegas mengemasi bukunya, menyimpannya lagi ke dalam tas, lalu pulang.

# # #

Setiba di depan rumah, langkah Randu melambat. Ia melihat seorang laki-laki tinggi memakai kaos putih dan celana selutut tengah memasang pagar kayu di halaman. Randu menautkan alis,  mendekat tanpa suara, lalu berdiri di sampingnya.

“Siapa?” Tanyanya datar.

“Oh hai!” Lelaki itu berdiri, mengusap tangannya yang kotor ke celana. “Aku Alan,” ujarnya sambil menyodorkan tangan. Randu hanya diam, menatap. Menyadari ulurannya tak disambut, Alan perlahan menarik kembali tangannya, mencoba tersenyum meski canggung.

“Maaf, ini rumahmu?” Tanyanya ragu.

Randu tetap bungkam. Sorot matanya dingin, tapi tak sepenuhnya angkuh.

Menarik, pikir Alan. Ia akhirnya menjelaskan. “Sebelumnya aku minta maaf jika tindakanku lancang. Kebetulan tadi aku lewat dan melihat ada kambing masuk ke teras rumahmu, dia memakan rumput, termasuk bunga mataharinya. Sepertinya itu tanaman kesukaanmu?”

Spontan Randu berlari kecil menuju tanamannya. Benar, beberapa bunga kelopaknya tinggal separuh. Ia tidak menangis, tapi kesedihannya jelas.

“Sekali lagi aku minta maaf, kalo kamu tidak suka dengan pagar yang kubuat, aku bisa membongkarnya,” ucap Alan yang ikut melangkah mendekati bunga matahari.

“Aku akan melakukannya!” Katanya tatkala Randu lagi-lagi tidak menggubris.

“Tidak perlu, terima kasih.” Ketus Randu

Alan tersenyum. “Sama-sama, boleh kutahu namamu?”

“MHEONGGHH!” Kucing Randu tiba-tiba menggeram garang, seolah kesal pada laki-laki asing itu. Randu berjongkok, menenangkan kucingnya. Belum sempat Randu menjawab, Alan berkata dengan nada hati-hati. “Sepertinya kucingmu kurang suka padaku, tapi tak apa. Baiklah, biar kutebak saja, namamu… Randu?”

Randu terkejut, namun mengatur mukanya agar terlihat tenang. “Siapa kamu? Ada urusan apa sama aku?”

Alan tersenyum lebih ramah, Randu yang tak menjawab tebakannya dan melemparnya ke pertanyaan lain itu meyakinkannya bahwa tebakannya benar. Alan menarik tangan Randu dan mengajaknya duduk di kursi teras. Tanpa membantah, Randu mengikutinya.

“Aku bukan orang jahat, aku hanya berniat  membantu menjaga bunga mataharimu dari kambing-kambing yang kemungkinan datang lagi. Oh yaa, kebetulan ada dua apel di keranjangku,,,” kalimatnya terpotong saat ia mengambil keranjangnya di dekat pagar. Alan kembali, mengulurkan dua apel. “Terima ini jika kau mengizinkanku menjadi temanmu.” Sambungnya berharap.

“Jika esok bungaku tak lagi disantap kambing, kau boleh kembali membawa apel.”

Alan terkekeh, penolakan yang indah.

“Baiklah, esok akan kubawakan lebih banyak, tenang saja aku mudah mendapatkannya. Kau tahu, kata orang-orang apel adalah buah milik orang kaya.” Ucap Alan yang kemudian mencondongkan badannya ke arah Randu sambil berbisik “Tapi sssuttt,, aku bukan orang kaya, apel-apel ini adalah hasil curianku di kebun paman Sam.”

Seketika Randu membelalakkan matanya “Sungguhan?”

Alan tertawa lepas, gadis di sampingnya ini mulai merespon ocehannya. “Tenang saja, kepala desa itu tak akan marah jika aku mengambil apelnya. Meski terkenal galak, ia tak akan tega memarahiku, kecuali kalau apelnya kau kasih ke kambing.” Lanjutnya dengan tetap tertawa.

Randu menghela napas, laki-laki ini aneh, tapi entah mengapa kehadirannya tak terasa mengganggu. Sebelum Randu berniat memintanya pergi, Alan sudah merapikan pakaiannya, beranjak dari duduk, menenteng keranjang berisikan dua apel tadi.

“Senang berkenalan denganmu Randu, kuharap kita bisa berteman esok. Sampai jumpa” pamitnya dengan meninggalkan senyum yang cukup manis.

# # #

Pukul empat sore, Alan tiba di depan rumah Randu, memasuki pekarangan rumahnya dan duduk di dekat bunga matahari. Barangkali kambing yang nakal itu datang lagi, siapa tau? Sengaja tidak mengetuk pintu, Alan memilih menunggu Randu keluar rumah dengan sendirinya. Lima menit menganggur, gadis pemilik rumah pun keluar dan terkejut melihatnya.

“Hai Randu, senang berjumpa lagi denganmu.” Sapanya dengan senyum lebar yang tak pernah ia tinggalkan. Alan semangat sekali kali ini meski lawan bicaranya belum memberikan ekspresi yang sama dengannya. Tidak masalah, Alan sama sekali tidak keberatan. Randu yang mencoba terbiasa menerima kehadiran Alan itu pun mempersilahkannya untuk duduk di kursi pelataran rumah.

“Ada perlu apa ke sini, sore-sore begini?” Ucapnya membuka obrolan dan ikut duduk di sampingnya.

“Ada agenda apa sore ini?” Bukannya menjawab, Alan justru bertanya balik.

Randu menggeleng. “Tidak ada sesuatu pun yang aku rencanakan.”

“Baguslah, mau ikut denganku?” Matanya berbinar, berharap besar Randu menerima ajakannya. “Tenang, aku tidak akan menculikmu, menyekap mulut dengan lakban hitam, menutup mata dengan kain gelap, atau bahkan sampai menyakitimu? Itu pikiran yang sangat buruk sekali,” lanjutnya dengan gaya seolah bicara dengan teman yang sudah akrab lama.

“Prasangkamu yang buruk, bahkan sama sekali aku tidak berpikiran demikian.” Jawab Randu mencebikkan bibir.

Ahh itu lucu sekali. Ia tertawa, gadis ketus yang dijumpainya dua minggu lalu, kini tampak bersikap lebih hangat.

“Aku mau mengajakmu ke tempat yang indah, kau pasti suka.” Katanya mantap. Tak mau berlama-lama, Alan beranjak dari duduknya kemudian menggandeng tangan Randu sebelum gadis itu sempat menolak.

“Kau mau membawaku kemana? Lepaskan tanganku, aku bisa berjalan sendiri!” Protes Randu.

Alan mengabaikannya, membawanya pergi menapaki jalanan selama hampir satu jam ke arah barat¾menuju tempat dimana mereka bisa melihat senja dengan leluasa. Randu terpaku setibanya di tempat, ia belum pernah ke sini sebelumnya, bahkan tak tahu ada tempat dengan pemandangan seindah itu di dekat desanya. Satu jam berjalan kaki memamng melelahkan, tapi itu hal biasa bagi penduduk desa.

Tiupan angin mengibaskan rambut panjang Randu yang terurai. Matanya tak berkedip menatap kedepan¾bola besar berwarna merah di langit sana kian turun tenggelam dalam dekapan jingga. Alan yang ada di belakangnya perlahan mendekat, mengukir senyum teduh melihat Randu.

“Semoga kau tetap senja yang kupuja, dengan waktu yang tidak sementara.” Ucapnya lirih, tepat di samping Randu. Randu menoleh cepat, mengenali kalimat itu.

“Kau??” Suaranya menggantung.

“Kau pengirim surat bertinta tebal itu?” Tanya Randu, rasa penasarannya begitu besar.

Alan mengangguk. “Dua bait terakhir dari delapan surat yang selama ini menyapamu”. Randu menggelengkan kepalanya pelan, ia tidak tahu maksud dari semua ini, tak siap dengan apapun yang akan terjadi selanjutnya.

Dikala matahari menghilang tepat di balik senja, dikala langit jingga mulai menggelap, Alan memelankan suaranya. “Aku Alan, putra dari Balpara dan Sadia. Ibuku meninggal saat aku balita. Bapak kadang kewalahan merawatku. Nasib baiknya, teman perempuan Bapakku bersedia membantu kami. Hingga suatu hari, ia yang kuanggap seperti ibuku sendiri itu pergi dari kehidupan kami. Menikah dengan lelaki pilihannya dan tinggal jauh dari desa.” Alan menghentikan kalimatnya, mencoba menguatkan diri. Randu? ia semakin dibuat bingung olehnya.

“Beranjak dewasa, sebagai anak laki-laki yang merindukan sosok ibu, aku berkelana menghibur kesedihan. Bapakku hingga detik ini tak pernah mengetahui hal itu,” Alan menggantung ucapannya lagi. “Sampai  suatu ketika, aku menemukannya.” Matanya menatap Randu lekat-lekat.

“Aku tahu di mana keberadaannya, tau seperti apa hidupnya, pun aku tahu siapa suaminya. Mereka dikaruniai seorang anak, yang kemudian hari kutahu bahwa namanya Randu.” Kata-kata itu membuat dunia Randu seakan berhenti berputar. Ia terpaku, membisu, bahkan lupa bernapas.

“Randu, gadis cantik yang ditinggalkan orang-tuanya di usia kedelapan, sendirian, tanpa pelukan, tanpa kejelasan.” Lanjut Alan sambil menatap lebih dalam bola mata gadis yang lebih muda darinya itu. Menelisik jauh kedalam sana.

Hati Alan terluka tatkala Randu mulai menitihkan air mata. Terlihat ada  luka yang menyayat hebat di sana. Bertahun-tahun ia tak mendengar berita apapun tentang orang-tuanya. Disaat yang sama, Alan menangis. Ada kesamaan luka diantara mereka¾luka yang tumbuh dari kehilangan yang tak sempat diucapkan.

“Jika kamu kehilangan pelukan sejak usia delapan, maka izinkan aku menggantikannya.” Titah Alan.

Tanpa aba-aba Randu memeluk erat laki-laki yang ternyata membawa kabar tentang orang-tuanya. Tangisnya semakin kuat dalam dekapan. Ia terluka, ia kecewa.  Nyatanya, orang-tuanya memang sengaja meninggalkannya.

Dalam dekapan itu, Alan mengusap punggung Randu hangat, memeluk masa kecil yang tak seharusnya ia rasakan. Randu berbisik lirih, suaranya nyaris patah. “Cukup, jangan ceritakan lagi tentang mereka. Biarlah mereka tetap di sana, tanpa mengingatku.”

Hening sebentar, Alan berkata “Aku, mencintaimu Randu. Aku mau menjadi bagian dari hidupmu, menemani hari-harimu.”

Alih-alih menjawab, Randu melepas pelukannya. “Aku ingin pulang, sendiri. Kucingku menanti di rumah.”

# # #

Penulis

  • Ena Nadhifah Hafidh

    Ena Nadhifah Hafidh, Kelahiran tahun 2004 dan berasal dari salah satu daerah di Jawa Timur. Anak kedua dari tiga bersaudara yang sedang menempuh pendidikan Bahasa dan Sastra Arab di Universitas Islam Negeri Maulana Malik Ibrahim Malang. @enadhifah_


Comments

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

M Firdaus Rahmatullah Puisi

Hutan Baluran dan Puisi Lainnya

Cerpen Kiki Sulistiyo

Cerpen: Batu Bolemeta

Buku Diva Safitri Rahmawati Ulas

Resensi: 4 Masa 1 Mimpi

Nuriman N. Bayan Puisi

Puisi : Kepada Perempuan Karya Nuriman N. Bayan

Agus Hiplunudin Cerpen

Cerpen: Deja Vu

Uncategorized

Tips Terbaik dalam Memilih Kendaraan Niaga

Apacapa Madura

Abhâkalan Sambi Ngalèncèr

Cerpen Thomas Utomo

Cerpen: Bersetia

Uncategorized

Puisi – Elegi Nasib Kami

Anwarfi Miftah Zururi Puisi

Puisi-puisi Miftah Zururi: Kamar Mandi Sekolah

Apacapa Madura

Rèng Lakè’ Pernah Alebhele

Apacapa

Sports-Sciences: Kolaborasi Pembelajaran Olahraga dan Fisika

Buku Feminis Mochamad Nasrullah Ulas

Resensi: Kesegaran (Perjuangan) Wanita dalam Menanam Gamang

Ana Khasanah Buku Ulas

Ulas Buku: Mengabdi Adalah Seni Menjelajahi Diri

Puisi Toni Kahar

Puisi : Aku Mengecup Hujan Karya Toni Kahar

Apacapa fulitik melqy mochammad marhaen

Mengapa Muncul Mas Rio “Patennang”?

Apacapa covid 19 Happy Maulidia Putri Opini

Ketua RT dan Kepala Desa; Pahlawan Garda Terdepan Pemberantas Hoax Covid-19

Estu Ismoyo Aji Puisi

Memburu Angin Surga dan Puisi Lainnya Karya Estu Ismoyo Aji

Ahmad Zaidi Buku Telembuk Ulas

Membaca Telembuk; Membaca Cinta yang Keparat

Buku M Ivan Aulia Rokhman Ulas

Ulas Buku – Heterogenitas Rasa dan Memandukan Cerita Romance