Cerpen: Pelangi



Oleh: Moh. Jamalul Muttaqin
Tentang pelangi yang tak indah di pandang mata.
Pagi ini gerimis masih belum reda, orang-orang malas keluar
rumah. Kelihatannya pintu-pintu rumah tertutup rapat, mungkin orang-orang
sedang tidur atau bercerita panjang bersama keluarga. Pastinya banya
k yang mengeluh hari ini. Bayangkan
hujan turun sejak tadi malam dengan deras dan sekarang  tinggal gerimis. Anak-anak tak lagi
bersekolah, guru-guru t
ak mau mengajar, dan sekolah menutup pintu dengan sendirinya.
Di tengah
risaunya orang-orang, ada perempuan yang duduk menyendiri di teras depan rumah.
Dia tak peduli dinginnya cuaca pagi ini. Ada beberapa butir air yang mengenai
tubuh perempuan itu yang hanya mengenakan kaos oblong dan celana di atas lutut.
Tapi, tak ada getir kedinginan sama sekali, seakan-akan tubuhnya diselimuti
dengan sangat tebal atau sama sekali tak bisa merasakan kedinginan.
Tak ada yang menyuruhnya masuk ke dalam kamar sambil
menikmati hangat dalam jiwa.

***
Lewat jendela kamar aku mengintip perempuan di seberang
jalan yang sedang duduk di kursi depan rumahnya. Dia menatap tinggi ke langit,
lalu tertunduk sambil meneteskan air mata. Ya… seperti gerimis pagi ini. Sepertinya, ada yang dinanti.
Kata orang-orang dia suka pelangi yang membentang indah dengan warna khasnya.
Berkali-kali dia menyapukan pandangannya, berharap pelangi melengkung indah di
atas sana. Kenyataannya gerimis tak pernah reda.
Aku menutup jendela, lalu kurebahkan tubuh pada kasur empuk
dan merapikan selimut berharap hangat pada tubuh lalu tertidur nyenyak bersama
mimpi indah.
“Apakah kau sudah menyiapkan semuanya?” Suara itu hadir bersamaan
dengan suara dorongan pintu kamarku.
“Menyiapkan apa, Mama?” Aku balik bertanya.
“Perihal organisasimu! Aku tahu kau pasti sanggup menyiapkan
semuanya. Aku ketahui dari sikap kritismu yang sering kau tunjukkan dan di
balik wacana yang sering kau paparkan kepadaku. Kau memiliki rasa militansi
lebih pada hal itu, melebihi dari yang lain. Bahkan dari kepala sukumu. Aku
percaya kau pasti mampu.” Mama menjelaskan disertai senyum yang mengambang di
bibirnya.
“Ah, aku semakin tak mengerti, Mama…” Aku mengerutkan dahi.
Mama diam.
“Mama…”
Tanpa menjawaab, Mama kembali menutup pintu, meninggalkanku dalam
kedinginan.
***
Tak terasa, jarum menunjukkan pukul 15.30. Tidurku nyenyak
sekali, beberapa minpi telah kulewati bersama gerimis yang tak pernah reda. Kubuka
jendela dengan lebar, berharap ada yang berubah dari sore yang kemarin. Tapi
sayang, sama sekali tak ada perubahan. Yang kulihat hanya perempuan duduk
menyendiri di kursi depan rumahnya menanti wajah pelangi. Aku semakin penasaran
dengan perempuan itu. Aku ingin tahu betu
l siapa sesungguhnya perempuan yang
selalu menanti datangnya pelangi. Dan yang membuatku ingin tahu, sebenarnya ada
apa dengan pelangi? Seperti yang kemarin malam, perempuan itu duduk di tempat
yang sama yaitu kursi yang ada di depan rumahnya.
***
Bersama Mama, aku berjalan mengelilingi taman di samping
rumah. Sambil berbincang santai hingga akhirnya duduk di meja dekat bunga
mawar.
“Ma, ada apa dengan pelangi?” Aku memulai pembicaraan yang
sudah lama terbenam dalam hati. Penasaran pada perempuan yang selalu menanti
datangnya pelangi hingga lupa waktu.
“Pelangi adalah keindahan. Warnanya indah dipandang mata,
bila mata memandang hati jadi riang,” jawabnya dengan memandang ke sekeliling
taman disertai senyum yang mengambang.
“Bukankah pelangi hanya mengajarkan keindahan? Membuat orang
sedih jadi tersenyum walau pada hatinya tetap saja merintih menahan luka yang
begitu perih?” Aku tak sependapat dengan yang dikatakan Mama.
“Apa yang sebenarnya kau inginkan? Seakan-akan kau mengajak
berdebat!” Mama mulai mengerti. Memang, sebelumnya aku sering berdebat perihal
yang menurut Mama tidak penting.
“Tidak, Mama! Bukan seperti itu maksudku. Perkataanku
berangkat dari perasaan paling dalam. Aku tak tahu, sejak kapan aku tak
menyukai pelangi padahal orang yang kucintai sangat suka pada pelangi!
Entahlah, aku tak tahu penyebabnya.” Aku mencoba menerangkan agar Mama tidak menyangka
yang bukan-bukan.
“Aku mengerti sekarang, kau mengajakku untuk berdebat, kan?
Jujurlah, tak perlu kau menutupinya dengan kata-kata manismu.” Perkataannya
disertai tawa.
“Ah, jangan begitu, Ma!” cetusku.
“Aku tahu, kau tak menyukai pelangi pasti ada sebabnya,” ucap
mama.
“Tidak, Ma! Pelangi hadir setelah gerimis,” kataku.
“Karena itu kau tak menyukainya?” Pandangan mata mama tajam
sekali, seakan-akan aku tak kuat membalas tatapannya.
“Iya, Ma. Rintik hujan terlalu mahal bagiku.” Aku menjawab
dengan suara yang hampir tak didengar.
“Sudahlah. Aku tak mengerti. Aku rasa kau mulai membenci
kenyataan.” Mama terlihat marah, dahinya berkerut, wajahnya memerah, dan cara
duduknya berubah dari sebelumnya.
“Siapakah perempuan itu, Ma?” Pertanyaanku yang sekarang
bukan pada pelangi, tapi pada orang yang selalu menanti hadirnya pelangi. Yang
menurutku perempuan itu gila. Bayangkan, dia menanti pelangi di waktu malam.
Mengharap sesuatu yang tak mungkin adanya.
“Kenapa? Kau mencintainya? Kalau kau mencintainya tak perlu
banyak basa-basi,” sindirnya.
“Panjang sekali kalau diceritakan tentang perempuan itu,” lanjutnya,
“kalau kau penasaran, mari dengarkan ceritaku baik-baik!”
“Perempuan itu salah dalam memilih teman. Dekat dengan
temannya lalu menganggapnya guru. Temannya itu suka bercerita keindahannya
tanpa mengetahui kapan pelangi itu datang bertandang dengan warna cantiknya.
Sehingga dia lupa waktu.”
Cerita mama membuat aku semakin penasaran pada teman
perempuan itu.
“Aku sekarang mengerti, Ma.” Aku mengangguk mantap.
“Ceritakan siapakah temannya itu, Ma!” Aku kagum karena temannya itu bisa
mempengaruhi pikiran perempuan itu. Saking penuh harapnya pada pelangi hingga
lupa diri.
“Ada apa sebenarnya dengan jiwamu?” Pandangan mata Mama penuh
harap. Berharap aku bercerita tentang apa yang diderita dalam jiwa selama ini.
“Aku ingin tahu saja, Ma! Cepat ceritakan padaku.”
“Tidak. Aku takkan pernah ceritakan tentang teman perempuan
itu. Takut jiwamu semakin sakit.” Dengan tatapan matanya yang tajam membuatku
tak bisa memaksanya untuk bercerita.
“Aku ketahui pikiranmu sekarang. Kau terlalu egois dalam
menjalankan apa yang kau inginkan. Tapi itu baik agar yang diharapkan oleh
orang-orangmu terlaksana dan melepas
tali yang mengikat pada jiwa orang-orangmu,” sambungnya. Seolah-olah tahu betul
apa yang sedang aku rasakan. Walau nyatanya itu salah.
“Kau terlalu lelah. Istirahatlah!” Mama berkata yang
terakhir kalinya, lalu meninggalkanlku seorang diri.
Base camp Siska’20, 08 Desember 2019
Moh. Jamalul Muttaqin, kelahiran Longos Gapura. Sekarang nyantri di PP. Annuqayah Lubangsa sekaligus menjadi Pem-Red Mading
X-Try Ikstida juga termasuk penggerak Kompas (Komunitas Menulis Pasra).

Penulis


Comments

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

M.Z. Billal Puisi

Puisi: Sejarah Maaf

Wisata Situbondo

Wisata Situbondo Lengkap

Puisi Putra Pratama

Puisi: Angon

Cerpen Ruly R

Cerpen : Lapas dan Malam

Apacapa Marlutfi Yoandinas

Karya Rupa Generasi Mawas Diri

Diandra Tsaqib Puisi

Puisi: Stratocumulus

Apacapa Kampung Langai Situbondo

Abâli Polè Ka Kampung Langai

Moret Taradita Yandira Laksmi

Cerpen Mored: Lukisan Kenangan

B.B. Soegiono Puisi

Puisi : Belikan Aku Seorang Pelacur Karya B.B. Soegiono

Ahmad Zaidi Cerpen

Cerpen: Malam yang Dingin, Pantai, dan Senja

Buku Cakanca ID M Firdaus Rahmatullah Ulas

Resensi: Dari Patah Hati Hingga Tragikomedi

Mundzir Nadzir Puisi

Puisi: Kembara Rindu

Apacapa Daviatul Umam Esai

Mengenang Sumur, Menatap Luka yang Curam

Apacapa Uwan Urwan Wisata Situbondo

Bukit Pecaron

Apacapa Sutrisno

KH. A. Wahid Hasyim; Perjuangan dan Pemikiran tentang Pendidikan, Politik dan Agama

Apacapa apokpak N. Fata

DPRD Menggonggong, Pak Karna: Ngutang PEN Jalan Terus

Apacapa Thaifur Rahman Al-Mujahidi

Regiulisitas-fundamental dari Kaum Milenial untuk Indonesia

Esai Mohammad Farhan

Harjakasi Nasibmu Kini

Ahmad Syauqil Ulum Prosa Mini

Kenapa Aku, Siapa Aku?

Apacapa Marlutfi Yoandinas

Menjemput Cinta dari Tanah Santri ke Tanah Wali