Cerpen : Untuk Perempuan yang Sedang Lari

Berharap
adalah cara bunuh diri paling mujarab.
Menunggu
adalah cara men
gubah
hati menjadi batu.
Agustus
masih menyeruakkan udara dingin yang kering, kota kita masih saja berwarna
merah langitnya
,
memud
arkan
bintang dengan seribu macam lampunya.
Sesekali
hujan  datang membawa aroma-aroma tangis
yang mengiris telinga para orang yang melintas di
persimpangan-persimpangan
jalan.
Kota ini
kecil dengan pemukiman padat yang tiga perempat rumahnya seluas sepertiga
lapangan bola. Di bagian paling pinggir kota ini ada kawasan yang dihuni oleh
berbagai pendatang, kawasan rumah kos yang dipisah oleh gang-gang sempit. Aku
tak mengerti apa yang membuat kota kecil ini didatangi oleh banyak perantau,
mungkin di kota besar sudah tidak ada lagi lahan penghidupan, sedangkan diriku
terdampar di tempat ini karena alasan yang aku sendiri tak begitu ingat.
Di celah-celah gang sempit yang dipadati kamar-kamar kos dan jemuran yang tak
tertata,
aku masih
mencumbui genangan ingatan yang megendap di
kamarku
yang pengap. Cericit tikus adalah lagu rutin
, seperti irama yang tidak
pernah luput
didengar
dari
bus-bus kota. Gelas saling
bertindih dipojok ru
ang, bungkus mie instan berserakan, bau apak mulai menguar dari pakaian yang rindu
direndam. Aku lupa jalan raya
,
aku lupa jalan ke
surga, satu satunya yang aku ingat hanya sebuah surat
ungu dua bulan lalu yang kutemui di samping ranjangmu. Arumba kekasihku,
dua bulan lalu aku menemukan
kamarmu seperti telah dilahap sunyi, sepi tak ad
a barang-barangmu
disana, tidak ada
yang
tersisa

kecuali bau
tubuhmu
yang tercampur dengan pengapnya udara. Lalu disana aku menemukan suratm
u, di samping dipan kayu yang telah
ditutup
i
kain putih
penghalau
debu.
Aku
memegang
amplop ungu itu, ada semacam perasaan ngeri yang menjalar hingga ke ulu hati. Aku
membukanya,
amplop
ungu tanpa parfum tanpa tanggal tanpa waktu, satu dua tiga empat lima aku
menarik napas dan mulai membaca tulisanmu indah tapi isinya menyengat.
Satu
bulan setelahnya, aku mulai berkelana dan berburu di
setiap persinggahan yang
pernah kau tempati
,
kesetiap orang yang pernah kau temui. Mana
mungkin
begitu sulit menemukan
jejak seorang gadis di tengah kota kecil ini, kata
orang di kota ini jika
ada seekor kelincipun lari dari pemiliknya, ia akan
mudah ditangkap.
Sebagai
pendatang baru-pun k
au bisa menghapal seluruh nama penghuninya hanya dalam
kurun waktu seminggu
,
kau dapa
t
mengha
pal
semua rute jalannya dalam sekali berkeliling kota, tetapi
tak satupun orang tahu kabarmu, mereka menertawaiku
sebagai orang yang dipercundangkan.
Arumba
kekasihku, mungkin aku masih dapat memanggi
lmu demikian, berharap adalah
cara bunuh diri paling mujarab,
kini
aku paham maknanya, sebagaimana seorang lelaki yang di
sepanjang jalan tetap
menunggu jawaban te
ntang
seorang gadis yang menyelinap dari riuh kotanya, sebagai
mana pemburu yang kalah namun
masih mengejar rusa hingga ke ujung hutan dan ialah yang akhirnya dimangsa oleh
alam aliar. Minggu lalu aku mulai lupa cara berdoa, mulai lupa bagaimana
tatakrama orang bertuh
an,
menunggu adalah cara yang ampuh untuk mengubah hatimu menjai batu,
aku percaya itu. Apakah Tuhan mencoba mengirim
nerakanya di
bumi, mungkin ia marah, mungkin ia cemburu, mungkin ia bosan padaku, atau mungkin ia malah tak
peduli
,
yang jelas Ia telah berbisik
padamu untuk sirna entah kemana, ke sebuah ruang yang tak bernama, atau hanya
sebuah kota yang tak berpeta, dan Ia tahu cara untuk membuang lelaki seperti
aku.
Ada ketukan yang memberondong pintuku pagi ini,
mungkin itu izrail atau para penyamun yang datang menangih nyawa. Apakah aku
harus membuka pintu dan menawari mereka kopi dengan gelas yang tak dicuci. Ada
yang memanggil, suara yang kukenali, Jikun bocah tetangga yang saban pagi dan
sore ia menemaniku menggais sampah dari rumah kerumah. Aku membuka pintu, ia
meringis, ia menyapa aku menjawab, aku bertanya ia menjawab.
“Kang, kok lama tidak keliling? Anak-anak pada nyariin
tuh.”
“Gak, gua mau mati aja” ia tertawa, memandangku dengan
lucunya seolah aku adalah anak ingusan yang baru saja mencecap patah hati.
“Kang, pak RT marah-marah tuh, katanya kerjaan anak-anak
gak ada yang bener, dan ibu-ibu komplek pada protes.”
Ia melanjutkan “Kalau sampah siang ini masih gak selesai
diangkut, Pak RT mau ganti semua anggota kita Kang.”
“Iyadah gua berangkat.”
Aku menutup pintu tanpa menguncinya sebab sudah tak ada
lagi yang tersisa untuk dirampas dari kamar kumuh itu. Aku melewati gang-gang
sempit menuju kawasan yang rumah-rumahnya lebih mentereng, Jikun mengikutiku
dari belakang sambil berjalan ia masih sempat memainkan gawainya, sesekali ia tersenyum
dan jari-jarinya sibuk mengetik sesuatu. Sepuluh menit berjalan dan aku tiba di
tempat yang disebut markas, bangunan selebar tiga kali tiga meter berisi kasur
lantai dan pakaian yang menggantung disana sini seperti tak bertuan. Gelas-gelas
kopi memenuhi lantai, empat anak sebaya Jikun yang memakai kaus jingga tengah
berkumpul, semuanya menoleh dan menyapa ketika aku datang.
“Kang, ibu-ibu banyak yang protes selama akang gak
masuk.”
Kata anak yang berambut merah, entah namanya Doni atau
Dino aku tak ingat, ia anggota baru.
“Makanya udah gua bilang baca jadwal. Tuh udah
ditempel di tembok, jangan angkut sampah sesukanya.”
Kami berangkat menggeret gerobak-gerobak bercat kuning,
kemudian berpencar ke berbagai penjuru. Semakin siang, matahari kian terik,
dadaku memanas, semua wajah yang kutemui dijalan mengantarkan curiga, mungkin
diam-diam salah satu dari mereka tahu dimana kau sedang singgah. Arumba
kekasihku, aku tak punya telepon genggam, dan jika punya, aku tak tahu nomormu,
aku bisa menulis tapi bagaimana suratku dapat sampai kepadamu. Selama dua bulan
ini setelah kutemukan amplop ungu itu, aku mengunjungi satu rumah seperti para
penguntit yang hendak merampok, kepada siempunya aku memberondong pertanyaan
yang sama setiap harinya, dan ia menjawab dengan jawaban yang sama pula. Siang
ini aku sampai di rumah itu, sampahnya sudah menggunung bau sayur busuk dan segala
makanan yang tak lagi segar menguar.
“Mas, tunggu. Bawa juga yang ini.”
Seorang wanita keluar dari rumah, ia membawa kantong
plastk hitam ukuran besar yang sudah terisi penuh, aku baru melihatnya,
pembantu baru. Aku menerima kantong kresek darinya dan mencemplungkannya ke
gerobak.
“Ibu ada, mbak?” wanita itu diam sejenak dengan wajah
heran kemudian menjawab.
“Ada, kenapa mas?”
“Boleh minta tolong panggilkan, mbak?”
Aku meminta Jikun meneruskan mengambil sampah ke rumah
selanjutnya, ia menurut dengan sedikit berat. Wanita itu kembali masuk,
beberapa saat pemilik rumah keluar, ia tahu apa yang akan aku tanyakan, dan akupun
tahu apa jawabannya, tapi bukankah mungkin saja ada kabar baru darimu, entah
hanya kabar nomor yang baru, tempat tinggalmu yang baru, atau apapun.
“Aku tidak tahu dimana dia dik, percayalah. Dia juga
membuat aku kebingungan mengurus rumah, jadi aku cari pembantu baru. Dia juga
tak pamit sama sekali, uang gajinya juga ia tidak peduli barangkali”
“Ia buk,
maaf.”
“Hei, aku akan bilang padamu jika dia menelepon. Tapi
jangan kau limbung begini, masih banyak gadis di kota ini.”
Iya masih banyak gadis dikota ini, cantik-cantik,
pintar, kaya, sampai yang biasa saja ada, tapi aku tidak kalut seperti ini
hanya karena seorang gadis di sebuah kota. Aku berpamitan dan pergi, menemui Jikun
yang memindahkan sampah-sampah itu dari tong di depan rumah-rumah ke dalam
gerobak, melanjutkan rutinitasku yang hanya seorang pengangkut sampah.
Arumba kekasihku ada banyak hal mustahil di dunia ini,
tapi tak pernah semustahil surat beramplop ungu itu, dan sekarang semua orang
bersikap seolah engkau memang tak pernah ada di kota ini, mereka menganggap aku
hanya menceracau tentang orang yang sudah lama mati. Arumba kau pendatang aku
pendatang maka berpulanglah kita pada kenangan, atau aku memang lelaki bodoh,
mungkin aku lelaki bodoh, memang lelaki bodoh, dasar lelaki bodoh, dasar
lelaki, dasar bodoh dan miskin.
Jember, Agustus 2018
Biodata Penulis
Nama        :
Banang Merah
Blog           : paranoidrandom.wordpress.com
Email          : benangmerah08@gmail.com
Instagram    : sitikho08
Narasi         : Lahir di Banyuwangi tahun 1996,
menyukai puisi
dan
cerpen
sejak
duduk di bangku SMA hingga saat ini. Dan masih
belajar menulis puisi
hingga sekarang. Tahun ini telah menginjak semester akhir  di salah satu universitas di jawa timur
(UNEJ).
Salah satu
anggota tetap LPME ECPOSE.

Penulis


Comments

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Agus Hiplunudin Apacapa

Rahasia Hidup Bahagia Ala-Kaum Stoik

Apacapa fulitik Rasyuhdi

GOR BK Itu Narsisme Politik Saja Sih

Agus Hiplunudin Apacapa

Tingkat Kepercayaan Masyarakat terhadap Parpol Diuji pada Pemilu 2019

Buku Syukron MS Ulas

Resensi: Novel Warisan

Muhaimin Prosa Mini

Gadis dan Nyanyian Ombak

Alex Buku Ulas

Membaca Dawuk : Kisah Kelabu Dari Rumbuk Randu

Anwarfi Miftah Zururi Puisi

Puisi-puisi Miftah Zururi: Kamar Mandi Sekolah

Agus Hiplunudin Cerpen

Cerpen: Deja Vu

Dhafir Abdullah Puisi Syi’ir

Ikhlas Ngajhâr

Cerpen Toni Kahar

Cerpen: Sebelum Membayar Dendam

Apacapa Moh. Imron

Madubaik: Manis Kadang Bikin Menangis

Fendi Febri Purnama Madura Puisi

Puisi Bahasa Madura: GHÂR-PAGHÂR

Apacapa fulitik Muhammad Bayan

Mas Rio Bukan Caleg: Paket Komplit untuk Situbondo Masa Depan

Buku M Ivan Aulia Rokhman Ulas

Menumbuhkan Produktivitas Desa Melalui Segi Perekonomian

Mored Moret Puisi Nur Akidahtul Jhannah

Puisi Mored: Jeritan Pantai Peleyan dan Puisi Lainnya

Cerpen Eko Setyawan

Cerpen – Ada Sesuatu yang Telah Dicuri dari Tubuhku, Entah yang Mana

Heru Mulyanto Mored

Bocah dari Palung Merah

Apacapa Gusti Trisno

5 Judul Skripsi Ini Membuat Situbondo Layak Menjadi Kabupaten Ramah Skripsi

Ahmad Zaidi Cerpen

Cerpen : Sebuah Hujan dan Guguran Kesedihan Karya Ahmad Zaidi

Kakanda Redi Puisi

Puisi – Aviory