Festival Kampung Langai 6: Pertemuan dengan Sosok yang Lain

Oleh
: Wilda Zakiyah
Malam
itu, 30 Agustus 2019, acara tahunan yang diadakan beberapa komunitas kreatif di
kota saya dihelat. Itu sudah kali keenam. Acara bertajuk Festival Kampung
Langai 6 itu, terasa mewah dan meriah. Terlihat dari beberapa dekorasi yang
membuat suasana semakin luar biasa. Tema kali itu adalah burombu  yang artinya sampah. Semboyannya: dibuang
sayang.
Konon
katanya, datang bersama pasangan ke acara ini akan lebih terasa romantisnya,
karena kita akan disuguhkan musik-musik yang bermacam-macam. Dan saya
merasakannya.
Saya
tidak ingin membahas itu sebenarnya, meski dari awal datang ke acara sudah
berniat untuk menuliskan beberapa paragraf tentang berjalannya acara semalam.
Teman-teman saya, kru takanta diminta menuliskan seputar acara. Mungkin saya
akan berbeda dengan tulisan-tulisan teman-teman yang lain. Saya tidak akan
membahas bagaimana acara menjadi semeriah itu. Tidak akan membahas mengapa
begitu mewah dan bagaimana acara semacam itu dipersiapkan. Tidak akan membahas
seperti apa penampilan-penampilan hebat malam itu yang membuat para penonton
takjub.
Saya
akan menuliskan yang berbeda. Ternyata tak hanya saya, tunangan saya, anak
literasi, warga sekitar, atau orang-orang yang berpartisipasi untuk ke acara.
Ada sosok lain yang turut hadir, dari dunia berbeda. Tepat saat tunangan saya
memilih ke stand buku dan membiarkan saya menikmati acara sendirian. Iya,
sendirian.
Dari
arah kanan paling depan, dekat dengan pentas, saya melihat Mas Farhan, teman
saya. Saya pamit pada tunangan lewat pesan wasap, untuk pindah ke tempat Mas
Farhan duduk. Awalnya disana ada Mas Ali, dia pamit memesan kopi, tapi malah
tidak kembali juga.
Lalu
pembawa acara yang memakai kaos hitam  mengumumkan agar penonton lebih mundur. Karena
akan ada penampilan bantengan, katanya. Para pemainnya dari Probolinggo.
Saya
yang duduk di depan, merasakan ada aura yang berbeda. Bau kemenyan semakin
menyengat, dari samping ada dua orang yang memakai topeng banteng besar, di balik
sebuah kain, ada dua orang pemain. Kain hitam dan baju merah yang dikenakan
mereka menjadi pemandangan yang mendukung. Membawa aura mistis.
Sebelum
mereka masuk ke arena pertunjukan, saya melihat ada sosok lain. Pemain itu
mengganti jiwanya, jiwa sosok yang biasa saya lihat setiap ada penampilan semacam
teater, barong, bantengan dan sebangsanya. Sering, pemain atau penampil akan
dimasuki makhluk lain dari bangsa halus. Ia memiliki empat taring, mata melotot,
urat-urat tegas, mulut menganga dan beringas sempurna masuk ke dalam tubuh mereka.
Saya
mengetahui namanya Mbah Marno, sosok yang entah memang diundang atau tidak,
ikut menyukseskan acara meski dengan cara demikian. Pertunjukan yang hebat. Totalitas
sekali. Tarian bantengan terasa lebih hidup, meski lagu yang dinyanyikan adalah
jaranan, penampilan mereka tidak ada cacatnya. Gamelan yang dimainkan terasa
hidup, bau menyan begitu simbolik, ditambah topeng banteng sangar yang
dikenakan, berhasil mengundang suasana horor.
Saat
penampil keluar dari arena, jeritan-jeritan liar mereka terdengar, mengerang. Dari
posisi duduk yang sangat dekat dengan jalan mereka keluar, saya terkejut. Mbah
Marno yang sering saya temui dan pernah nyaris masuk ke tubuh saya dulu lewat
telapak tangan kanan, pada sebuah acara teater empat tahun yang lalu tapi gagal.
Saya
mengenal Mbah Marno ketika ia hendak masuk ke tubuh saya sewaktu  melakukan meditasi sendirian dan memasuki alam
bawah sadar. Saya tahu dia bukan manusia dan memanggilnya mbah karena jelas dia
terlihat tua. Jin senior kata saya.
Ada
beberapa yang percaya dan tak sedikit juga yang menolak untuk percaya. Dengan
alasan tidak masuk akal.
Tubuh
saya gemetar, kedua telapak tangan dan kaki terasa dingin. Serasa ada megnet
untuk mendekat pada penampil yang kesurupan. Sepertinya sosok itu ingin pindah
tubuh. Dan saya sasaran yang tepat karena bisa melihat mereka dengan mata
telanjang, juga pernah hampir kesurupan empat tahun lalu.
Seketika
saja saya menjauh, kembali ke stand buku, menemui tunangan saya. Meninggalkan
Mas Farhan sendirian.
“Kenapa,
dik?”
Saya
hanya menggeleng pelan saat tunangan saya bertanya.
Dia
mengajak saya ke Rumah Baca yang tidak jauh dari lokasi acara. Melakukan
meditasi penenangan diri.
Saat
meditasi pun saya merasa ada sosok lain yang bukan Mbah Marno dan temannya di
lokasi itu. Ada sosok baru, mengikuti saya sampai Rumah Baca. Meditasi saya
tidak terlalu lama, karena  tidak kuat
dengan sosok baru itu. Ia mengajak saya semakin masuk ke alam bawah di bawah
sadar. Agar saya merasa tidur paling tidur, lalu jiwa saya diganti dengan jiwanya.
Saya putus meditasi, saat tangan kanan bergerak tanpa saya perintah. Refleks
tepatnya. Secara pelan dan tertata.
Cepat-cepat
saya membuka mata, berbalik badan, menatap tunangan saya dan menangis meski
tidak histeris. Antara takut dan tidak percaya sosok itu memaksa saya melepas
jiwa, sampai ikut ke Rumah Baca Damar Aksara. 
Acara
Festival Kampung Langai kali ini, bagi saya memang berbeda. Perasaan saya juga
ikut berbeda. Beberapa kali tunangan saya menenangkan saya sampai mengajak
pulang lebih dulu. Dan sosok yang tidak saya kenal itu ikut keluar pagar Rumah
Baca.
Saya
masih ingat betul sosoknya. Rambut terurai lepas tanpa ikat rambut, giginya
runcing meski tidak bertaring, mulutnya lebar—melebihi ukuran bibir manusia,
melewati pipi, matanya sayu, tidak membelalak atau menakutkan. Yang paling saya
ingat adalah kepalanya, miring ke sebelah kiri.
Saya
berbisik pelan di telinga tunangan saya saat perjalanan pulang.
“Mas,
acara Festival Kampung Langai tahun depan adek mau jaga stand buku saja, ya?”
Motor
kami melaju pelan, Mbah Marno dan kawan-kawannya ‘dadah dadah’ manja ke
saya. []

Penulis


Comments

Satu tanggapan untuk “Festival Kampung Langai 6: Pertemuan dengan Sosok yang Lain”

  1. Duhh….
    memang selalu menampilkan yang berbeda

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Joe Hasan Puisi

Puisi – Bertanya Pada Minggu

Puisi Thomas Elisa

Puisi-puisi Thomas Elisa

Apacapa Nanik Puji Astutik Prosa Mini

Surat Cinta untuk Anakku Kelak

Apacapa Imam Sofyan

Surat Terbuka untuk Pak Karna

Polanco S. Achri Prosa Mini

Di Salah Satu Kamar Mayat dan Prosa Mini Lainnya Karya Polanco S. Achri

Moh. Imron Ngaleleng

Kendit Harmoni : Ketika Seni Menemani

Film/Series Muhammad Rizal Ulas

Resensi: Kembang Api

Alexong Cerpen Robbyan Abel Ramdhon

Cerpen: Penghiburan Kosong

Gilang Sakti Ramadhan Puisi

Puisi: Semadi Bulan

Apacapa Rusdi Mathari

Bahasa Puasa dan Ramadan

Apacapa Marlutfi Yoandinas

Selamat, Mas Rio dan Mbak Ulfi

Kriselda Dwi Ghisela Resensi

Resensi Ronggeng Dukuh Paruk

Apacapa Esai Rahman Kamal

Dik, Mengapa Kau Tak Mau Menemaniku ke Kampung Langai Malam Itu?

Puisi Rudi Santoso

Setan Rindu dan Puisi Lainnya Karya Rudi Santoso

Apacapa Muhammad Hajril takanta

Alasan Kenapa Perempuan Dipilih Sebagai Tunggu Tubang dalam Tradisi Adat Semende

Alvina Fatimatuzzahroh Apacapa

Membaca Tantangan Pesantren Menghadapi Era Teknologi

Cerpen Gusti Trisno

Cerpen – Runtuhnya Pertahanan Kunti dan Perang Pandawa Lima

Covid Irene Dewy Lorenza Puisi

Puisi: Pandemi

Puisi T. Rahman Al Habsyi

Puisi : Dalam Kanvas dan Puisi Lainnya Karya T. Rahman Al Habsyi

Apacapa Kampung Langai Panakajaya Hidayatullah

Dangdut Madura: Upaya Orang Madura ‘Swasta’ Mengartikulasikan Modernitas