Listrik Padam, Iduladha, dan Kita yang Bersuka Cita

doc Merdeka.com
Oleh: Muhammad Badrul Munir*
Semalam
saya tiba di rumah dalam kondisi listrik padam di kampung saya, kira-kira pukul
satu dini hari. Hanya masjid dekat rumah saja yang lampunya tetap menyala
karena ada genset di sana. Saat masuk kamar, Asyrof, anak pertama saya
tiba-tiba bangun mendengar derit pintu dan menangis. Ia memang takut gelap.
Setelah
menidurkan Asyrof kembali, saya bergegas untuk tidur. Saya berusaha memejamkan
mata mengingat hari ini Iduladha dan sebagai golongan ‘bangsawan’ (bangsa tangi
awan) saya khawatir akan terlambat bangun untuk salat Ied. Apalagi, beberapa
jam sebelumnya di Pondok Panji Kidul, saya menghabiskan secangkir kopi.
Saya
tetap tak bisa tidur. Apalagi, Ashfa, anak keduaku tak biasanya rewel seperti
malam ini. Barangkali juga takut gelap seperti kakaknya. Berkali-kali ia bangun
dan menangis sementara ummahnya kadang harus saya bangunkan untuk menidurkan
Ashfa kembali. Ashfa yang malam ini rewel bikin saya makin tambah tak bisa
berkonsentrasi memejamkan mata.
Suara
takbir tiba-tiba terdengar dari masjid. Saya lihat jam di gawai menunjukkan
pukul setengah empat pagi. Wah, gawat ini!Sebentar lagi subuh dan saya belum
tidur sama sekali! Saya berusaha sekuat tenaga memejamkan mata.
***
Saya
terbangun mendengar takbiran di masjid dan bunyi keciprat air di kamar mandi.
Mata masih sepat. Saya lihat ventilasi di atas pintu kamar, langit di luar
sudah terang benderang ternyata. Buru-buru saya turun dari ranjang, menanyai
istri yang sedang di kamar mandi dan memintanya segera keluar.
Tak
lama kemudian istri keluar dari kamar mandi, saya langsung ganti masuk. Baru
menggayung beberapa kali, nida’ di masjid sudah terdengar, tanda salat Ied
sebentar lagi akan dimulai. Saya percepat ritual mandi pagi ini, bersabun
secukupnya (kamu tentu paham kan maksudnya?
hehe).
Selesai
mandi saya segera ganti sarung, sementara istri masih menyetrika baju yang akan
saya pakai salat Ied pagi ini. Terdengar imam di masjid sudah membaca takbir
tanda salat Ied telah dimulai. Baju yang belum selesai disetrika istri segera
saya ambil.
Sambil
pasang kancing baju, agak lari-lari kecil saya menuju masjid. Tak lupa
mengoleskan parfum kesukaan saya, sebagai salah satu sunnah rosul. Terlihat
beberapa orang juga datang terlambat. Saya mendapat shaf di tangga masjid (shaf
terakhir) dan langsung memulai salat. Untungnya masih raka’at pertama.
Orang-orang
masih berdatangan ke masjid ketika raka’at kedua, bahkan setelah salam. Cukup
banyak yang telat ke masjid pagi ini, pikir saya. Saya menanyai tetangga yang
duduk di sebelah saya perihal pukul berapa listrik menyala. Dia bilang baru
saja. Saya melihat jam masjid menunjukkan pukul enam lebih. Berarti tadi salat
Ied dimulai persis pukul enam. Kami kemudian menyimak khutbah sementara masih
ada satu-dua orang yang baru datang.
Bagi
saya Iduladha kali ini tak seperti biasanya. Banyak orang di kampung kami yang telat
dan bahkan tak menututi salat Ied di masjid. Entah karena listrik padam atau
memang salat Ied dimulai terlalu awal.
Tapi
ya sudahlah. Saya tak ingin menyalahkan listrik yang padam dan meminta ganti
rugi pada PLN. Toh salat Ied sudah selesai dan baru bisa diulang tahun depan.
Saat
saya menulis catatan ini, satu sapi kurban  di lingkungan rumah saya sudah disembelih dan dipotong-potong.
Masih sisa dua sapi lagi.  Saya lihat orang-orang yang berkumpul saat
penyembelihan sapi, diantaranya merupakan orang-orang yang telat, bahkan tidak
menututi salat Ied. Mereka tetap khidmat dan antusias merayakan Iduladha kali
ini, apapun kondisinya.
Orang
yang salat Ied tak menganggap dirinya merasa paling berhak mendapat jatah
daging kurban, dan yang telat atau tak nututi salat pun tak lantas kehilangan
haknya memperoleh daging kurban.
Saya
dan orang-orang itu pantas bersyukur atas apa yang Allah berikan. Terlebih,
tahun ini saya melihat ada orang yang berkurban dengan unik dan memunculkan
kesan meriah, yakni tiga sapi kurban, satu kambing dan enam ayam. Semoga saja
Iduladha tahun depan lebih banyak lagi, eh, lebih baik lagi ding! Hehe..
Selamat
lebaran, selamat bersuka cita.

*) Penulis merupakan seorang lora penyuka sastra dan sejarah.

Penulis


Comments

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

fulitik Marlutfi Yoandinas masrio

Buka Bersama Seniman: Mas Rio Didoakan Menjadi Bupati Situbondo

Cerpen Thomas Utomo

Cerpen: Bersetia

Agus Hiplunudin Apacapa Esai Feminis

Rumah, Sumber Penderitaan Bagi Perempuan?

Puisi Puisi WF Romadhani

Puisi: Kembalikan Tawaku

Apacapa matrais

Jangan Gagal Paham Soal Kecamatan Baluran

Nida Nur Fadillah Puisi

Puisi: Angin Misterius

Apacapa fulitik ricky

Salah Kaprah Gelora Bung Karna

Apacapa fulitik Rasyuhdi

GOR BK Itu Narsisme Politik Saja Sih

Puisi Uwan Urwan

Bersama Pariopo

Apacapa fulitik

Talkshow Internasional: Mas Rio Undang Dubes RI, Buka Peluang Anak Muda Situbondo Kuliah di Luar Negeri

Apacapa Syaif Zhibond

Terima Kasih, Pak Dadang! Jasamu Abadi

Ahmad Zaidi Cerpen

Cerpen – Fragmen Nalea

Madura Syi’ir Totor

Si’ir Sang Nabbhi

Mahesa Asah Puisi

Puisi Mored: Legenda Tangis

Hari Alfiyah Puisi Sastra Minggu

Puisi: Artefak Kesedihan Karya Hari Alfiyah

Apacapa Raisa Izzhaty

Laki-laki Memasak dan Mencuci? Ah, Biasa Saja!

Cerpen Depri Ajopan

Cerpen: Cerita Orang-orang Masjid

Buku Fara Firzafalupi Ma’rufah Resensi Ulas

Resensi: Ikhlaskan Lepaskan Perjuangkan

Apacapa Imam Sofyan

Sastra, Buku dan Tanah Air Yang Hilang

Apacapa Soekaryo

Ramadan: Momen Titik Bangun Literasi