Petani itu Pekerjaan Paling Enak di Dunia, Tapi Kenapa Gak Diminati Gen Z?

 

Penulis: Agus Miftahorrahman*

 

Setelah merasakan
sendiri, ternyata profesi petani itu sangat menjanjikan dan incomenya gak
main-main. Tapi, kenapa Gen Z pada kagak minat buat jadi petani, sih? Kalau
mengutip survey dari Jakpat, hanya 6 dari 100 generasi Z berusia 15-26 tahun
yang ingin bekerja di bidang pertanian. Sedikit banget!

 

Alasannya beragam,
mulai dari petani yang tidak ada pengembangan karier, banyaknya resiko bertani,
pendapatannya kecil (yakin?), bekerja sebagai tidak dihargai, dan tidak
menjanjikan.

 

Membaca hasil survei
tersebut membuat saya geleng-geleng kepala. Kok bisa? Karena ya menjadi petani
itu adalah pekerjaan paling nyaman dan paling manja yang bisa dilakukan oleh
Gen Z. Minusnya rada panas dikit kena bakar matahari. Namanya juga kerjaan
outdoor, kan.

 

Masih ngeyel gak
percaya kalo kerja jadi petani itu enak? Mari simak beberapa alasan berikut
ini.

 

Jam
Kerjanya Fleksibel, Tidak ada Tuntutan dari Atasan

 

Beneran, deh. Jadi
petani tuh jam kerjanya fleksibel banget. Emang petani kerjanya kalo pagi apa
sih? Ngopi, lah. Siang? Ngopi juga. Malam? Tetep ngopi. Gak percaya? Datang aja
ke warkop dan tanya pekerjaan bapak-bapak di sana. Pasti bakal dijawab kerjanya
petani.

 

Jadi petani tuh gak
nuntut kita nine to five jagain sawah, kok. Palingan cuma pagi dan sore hari,
itupun hanya mengecek pertumbuhan tanaman kita. Apakah pertumbuhannya baik,
butuh pupuk atau tidak, airnya sudah cukup apa kurang. Simpel. Itupun kadang
sambil ngudud keliling lewat pematang sawah.

 

Jadi petani juga
nggak perlu pusing mikirin kemauan atasan. Gak perlu juga bergelut dengan
lingkungan kerja yang toxic, sawah ya sawah kita, bosnya ya kita, karyawannya
ya juga kita.

 

Pendapatan
Petani itu Gak Main-main

 

Serius, petani itu
kalau lagi panen kayanya bukan main. Bagi kalian yang punya keluarga petani
pasti familiar dengan frasa satu ini “Tunggu panen, ya Nak” ketika meminta
sesuatu ke orang tua.

 

Ungkapan itu bukan
isapan jempol belaka, hal itu nyata, karena ketika musim panen tiba, pendapatan
petani itu gak ngotak, bro. Mau motor baru? Ya langsung beli. Itupun cash.
Ngapain kredit, bunganya mahal. Mending cash aja, lawong uangnya ada. Kan habis
panen. ~hehe

 

Pandangan awam soal
petani pendapatannya kecil itu menurut saya sedikit keliru. Karena pada
dasarnya bertani itu bisa mendatangkan income yang sangat lumayan. Tentu, ada
resikonya juga. High risk high income, lah.

 

Saya baru menyadari
hal itu setelah mengalaminya secara langsung. Jadi begini gambarannya.

 

Saya memiliki sawah
kurang lebih sekitar satu hektar. Lahan itu biasanya ditanami padi dengan modal
biasanya 10-11 juta per masa tanam. Dari lahan dan modal itu, saya bisa
mendapatkan keuntungan sekitar 20-22 juta setiap masa panen tiba, dengan asumsi
rata-rata masa panen setiap 4 bulan. Artinya, dalam satu bulan saya bisa
mendapatkan sekitar 5 juta rupiah. Tentu, pendapatan itu jauh lebih tinggi dari
UMK Situbondo yang 3 tahun terakhir selalu juru kunci di Jawa Timur.

 

Nah, awal tahun ini
saya mencoba hal baru. Alih-alih menanam padi, saya mencoba menanam semangka.
Modalnya lumayan besar untuk ukuran tanam yang sama. Sekitar 60-70 juta habis
untuk modal. Tapi, ketika panen, saya berhasil mendapatkan sekitar 190 juta dari
buah semangka itu. High risk high return.

 

Lalu bandingkan
pendapatan itu dengan gaji pegawai kantoran. Kalah jauh, dong. Udah harus kerja
nine to five, mau cuti ribetnya minta ampun, masih dapat bonus encok dan sakit
mata karena duduk terlalu lama di depan komputer. Jadi petani? Ya bebas, dong.
Kita bosnya, kita pegawainya, kita juga yang dapat cuannya.

 

Gara-gara
Sosmed dan Gaya Hidup, Gen Z Ogah jadi Petani

 

Bicara lagi soal
hasil survey Jakpat tentang kenapa Gen Z pada ogah jadi Petani. Menurut saya,
bukan karena petani adalah pekerjaan yang tidak menjanjikan. Tapi, mereka pada
ogah aja jadi petani karena gengsi dan kemakan standar media sosial.

 

Gak ada jenjang
karier? Kata siapa, seorang petani ya tentu jenjang kariernya jelas. Dari
juragan desa, naik ke kabupaten, naik ke provinsi, terus nasional,
internasional, dunia akhirat. Selama petaninya mau, petani pun bisa juga
melebarkan sayap ke ranah karier lainnya. Jadi Kades, Camat, Bupati, Gubernur,
bahkan Presiden sekalipun.

 

Tapi, menjadi petani
memang pekerjaan yang gak ada necis-necisnya. Panas, berlumpur, gatelan, tapi
bisa menjamin hidupmu nyaman, pendapatanmu aman, dan tentu tidak stress karena
tuntutan pekerjaan.

 

___
* Penulis merupakan pustakawan magang di
Perpustakaan Jalanan Besuki Membaca. Sedang proses naturalisasi ke Bondowoso
.

Penulis


Comments

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

hafid yusik Politik

Pak Karna Tidak Salah, Kita Saja yang Terlalu Nyinyir

Ernawati Film/Series Ulas

Resensi Film: My Idiot Brother

Apacapa fulitik

Menggugat Integritas Pejabat Publik

Kuliner Situbondo Nasi Sodu

Panduan Ekspedisi Nasi Sodu

fulitik hari wibowo

Gugah Mental Pemuda Situbondo, Mas Rio: Bisnis yang Bagus Itu Dijalankan, Bukan Dipikirkan

Buku M Ivan Aulia Rokhman Ulas

Ulas Buku – Menceritakan tentang Hubungan Manusia dengan Jasad di Kubur

Fendi Febri Purnama Madura Puisi

Puisi Bahasa Madura: GHÂR-PAGHÂR

Nuriman N. Bayan Puisi

Pantai yang Menyerah dan Puisi Lainnya

Apacapa Literasi Syaif Zhibond

Bahagia Literasi : Teruslah Mencari

Cerpen Gusti Trisno

Cerpen – Tajhin Palappa dan Segenap Dendam Amerta

A. Warits Rovi Cerpen

Cerpen: Lelaki Yang Bercita-cita Jadi Tukang Sihir

Agus Hiplunudin Cerpen

Cerpen : Kesucian Karya Agus Hiplunudin

Catatan Perjalanan Ngaleleng Nur Faizah Wisata Situbondo

Gunung Panceng Adventure

Fahris A. W. Puisi

Puisi : Kisah Angsa Jantan Karya Fahris A.W.

Nurul Fatta Sentilan Fatta

Melihat Pemkab Situbondo Bela Non-ASN yang Dirumahkan

Agus Hiplunudin Apacapa Esai Feminis

Perempuan dalam Pusaran Konflik Agraria di Indonesia

Ahmad Zaidi Cerpen

Cerpen: Peristiwa Menjelang Pemilu Karya Ahmad Zaidi

Muhammad Lutfi 2 Puisi Puisi Anak

Puisi Anak Karya Muhammad Lutfi

Politik sukandi

Bukan Kolosal Karmapala: Habis Gelap, Terbitlah Perubahan

Kakanda Redi Puisi

Puisi – Aviory