Politik Menyegarkan Ala Mas Rio

Kata “Patennang” lagi rame di Situbondo. Tersangkanya siapa lagi kalau bukan Mas Rio dengan banner orangenya itu. Tersebar di mana-mana dan membuat publik Sibon bingung. Mau ngapain sih orang ini kok patennang, patennang.

Patennang! Saya punya cerita untuk Anda.

Saat itu, saya dan Mas Rio terburu-buru menuju boarding gate. Bukannya kesusu karena hampir ketinggalan pesawat, Mas Rio malah selow aja dan bilang ke saya, “patennang”. Emang agak lain nih orang batin saya.

Tapi memang benar kok. Mas Rio ini memang menyenangkan.

Di dalam pesawat, saya berkesempatan berdiskusi tentang Situbondo. Saya bertanya begini.

“Mas, sampean kalau ditakdirkan jadi pemimpin di Situbondo. Apa yang pertama kali samean ingin lakukan?,” Tanya saya penasaran.

“Saya ingin membuat Pendopo sebagai rumah rakyat. Biar pendopo jadi ruang dialogis antara rakyat dan pemimpinnya. Menghapus sekat-sekat birokrasi yang feodalis, menciptakan perdebatan ilmiah di ranah birokrasi dalam menentukan kebijakan. Jadi, birokrat bekerja bukan hanya atas dasar perintah Bapak,” jawab Mas Rio.

Mendengar itu saya diam. Lalu membayangkan jadi rakyatnya. Setiap hari datang ke pendopo hanya untuk ngajak debat bupati. Entar ngigir dan cak-ngocak.

Mungkin Anda akan bilang “Du apa. Rakyat posang, malah eberrik tempat adebat. Ye kaso,”

Tunggu. Poin penting yang mesti Anda catat dari jawaban itu adalah tersedianya tempat berkeluh kesah. Coba lihat, di mana di Situbondo ada tempat curhat? Yang mempertemukan rakyat dengan pemimpinnya. Pemimpinnya bisa mendengar langsung dan mencari keputusan yang bijak. Sampai saat ini saya tidak menemukan yang semacam itu.

Bagi saya yang mantan aktivis, ide Mas Rio tentang pendopo sebagai rumah rakyat itu adalah menyenangkan. Adik-adik mahasiswa tidak perlu khawatir. Kalau ada yang gak cocok kebijakan bupatinya, demo saja di pendopo. Begitu juga masyarakat. Ada keluhan, datang aja ke pendopo. Temui langsung bupatinya. Enak kan?

Jadi pendopo itu bukan sebagai ruang elitis yang hanya boleh disinggahi pejabat-pejabat, yang kemudian nyanyi dan joget-joget.

Nah ide pendopo sebagai rumah rakyat itu adalah wujud bahwa pemerintahan dijalankan bersama rakyatnya. Bergandengan. Segala yang menjadi gagasan untuk rakyat didialogkan bersama rakyat.

Pandangan saya begini, kehadiran Mas Rio perlahan ingin mengubah gaya kepemimpinan yang monolog, yang hanya mengedepankan ambisi seorang pemimpin. Kepemimpinan semacam itu justru melahirkan birokrasi yang gagal. Sebab semua kebijakan didominasi dan dihegemoni tanpa mementingkan aspirasi. Model pemerintahan seperti itu cenderung antikritik. Tak endhe’ esala’aghi. Kira-kira itu gambaran pemerintahan yang dijalankan dengan pendekatan rasionalitas instrumental. Ghellu ra.

Jadi dijalankannya sebuah kebijakan bukan karena alasan yang penting bapak senang, mendapatkan penghargaan, dapat sertifikat, selesai. Padahal tidak ada dampak daya guna atau nilai kebermanfaatan yang dapat dirasakan langsung oleh masyarakat.

Misal lebih jelasnya begini, pemerintah ingin mengatasi krisis pangan dengan menanam bibit padi unggulan, tapi rakyat masih teriak-teriak kebingungan mencari pupuk.  Ujuk-ujuk membawa solusi, malah nambah masalah untuk masyarakat.

Pemahaman Demokrasi Deliberatif

Berbeda dengan ide kepemimpinan yang dicitrakan Mas Rio. Dia ingin membentuk kepemimpinan, bahkan pemerintahan dengan pendekatan rasionalitas komunikatif.

Wah apalagi itu? Ya persisnya begini, sebuah pemerintahan yang memberikan ruang dialogis agar rakyat dapat berdiskusi langsung dengan pemimpinnya. Sehingga ada komunikasi dua arah untuk mencapai sebuah kesepahaman bersama antara pemimpin dan rakyatnya.

Kalau saya katakan ide Mas Rio di atas merupakan salah satu pendidikan politik tentang demokrasi deleberatif. Saya lihat itu tidak hanya mengendap sebagai ide. Tapi Mas Rio sudah menularkan pendidikan itu kepada sebagian anak-anak muda di Situbondo.

Saya juga lihat Mas Rio melakukan gerakan untuk menjadikan ruang-ruang publik sebagai tempat terjadinya musyawarah, tempat berdiskusi. Nah, seorang pemimpin itu memang harusnya punya gagasan tentang itu. Bahkan bisa dengan luwes masuk ke ruang-ruang bertemunya gagasan antara pemimpin dan rakyatnya. Dan itulah yang disebut demokrasi deliberatif.

Barangkali pemahaman itu yang membuat Mas Rio menjadi cukup berbeda dan tampil cukup menyenangkan.

Politik tampak tak lagi kaku. Tidak speneng. Tapi bisa diobrolin sambil ngopi, sambil makan bakso bareng emak-emak, dan tebak-tebakan lagu. Bukankah seharusnya begitu kita punya pemimpin, Dik?

Editor: Hans.

Penulis

  • Penulis merupakan konsultan politik. Anak muda Situbondo yang tinggal di Jakarta.


Comments

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Apacapa Esai Rahman Kamal

Laut Memanggil, Dik. Sudahkah Kau Menjawabnya?

Cerpen Yuditeha

Cerpen : Sejarah Gumam

Buku M Ivan Aulia Rokhman Ulas

Resensi Buku Pohon Kesayangan Daru

Cerpen Moh. Jamalul Muttaqin

Cerpen: Pelangi

Apacapa Fendi Febri Purnama Madura

Kèta’ Kèdhung

ebook

Ebook: Lovember

Puisi Wilda Zakiyah

Puisi: Sapardi, Selamat Jalan Menuju Keabadian

Apacapa Iip Supriatna

Tantangan Pendidikan di Era Millenial

M. Suhdi Rasid Mored Moret

Puisi Mored: Ibu dan Puisi Lainnya

Apacapa Permata Kamila Situbondo

Arebba: Mendoakan Para Leluhur

Apacapa

Sebuah Cerita Horor Tentang Pernikahan

Nanda Adi Kurniawan Puisi

Puisi: Bunga Malam

Alvina Fatimatuzzahroh Apacapa

Membaca Tantangan Pesantren Menghadapi Era Teknologi

Apacapa

Belajar, Bermain, Bergembira melalui Media Digital

Cahaya Fadillah Puisi

Puisi-puisi Cahaya Fadillah: Setelah Engkau Pergi

Apacapa Esai Marlutfi Yoandinas

Jika Jurnalisme Bukan Monopoli Wartawan*

Apacapa Indra Nasution

Gepsos dan Kisahnya

Alexong Cerpen Dody Widianto

Cerpen: Nyallai Siwok

Apacapa

Orang Madura Tanpa Toa dan Sound System, Apa Bisa?

Abi Alfatih Mored Moret

Satu Langkah Terakhir