Puisi : Moksa dan Puisi Lainnya Karya Zen Kr


Pada Akhirnya, Engkau
Kujumpai
Di Sebuah Ruang Bernama
Ilusi
Pagi ini
Hujan kembali bertandang
Dingin kurasa dari suatu ingin
Lalu kau menari dalam kepalaku
Kudekap erat engkau
Dengan tangan-tangan angan
Agar gigil bukan lagi kawan
Bagi rintik hujan di pelataran
Dan khayalan tak henti mengirimiku
Sebuah kenikmatan hingga candu.
2019
Sia-sia
Sudah nyata di hatimu tak kutemukan ladang
Aku masih saja ingin bercangkul dan bertanam
2019
Jam Dinding
Jarum jam itu
Berdetak dalam kepalaku
Berputar mengelilingi nalar
Mencumbui angka-angka kelam
Dalam masalalu yang hitam.
Selama ia masih bernapas
Takkan bosan menelan matahari dan bulan
Agar di perutnya, peristiwa tersimpan.
Lalu, aku harus membuat jendela di tubuhnya
Untuk melihat semua.
Ia begitu kuasa bergelak tawa serupa raja
Sebab tangannya menggenggam semesta.
Dan meski tak tahu cara kembali
Ia tak pernah ragu meninggalkan kenangan
Terus berlari tiada henti
Mengejar harap yang utuh didekap mimpi
2019
Subuh
Bagaimanapun juga,
Kokok ayamlah paling perawan membangunkanku
Sebelum kau bergegas membawa malaikat
Yang sengaja kau asuh bersama air wudlu
Agar lelah tak mengasah resah.
Sebab dalam diriku
Kemalasan lebih banyak berpenghuni
Ketimbang kota-kota atau hotel label tinggi.
Dan pada akhirnya
Kau bisa riang bersamaku mencumbui Tuhan
Sebelum aku terbunuh kicau burung
Yang memanggil matahari
Agar segera berbagi pagi.
2019
Keluh Petani
      Pada
awalnya, kami akan senantiasa riang merawat padi di ladang musim hujan, atau
menjaga gurau daun tembakau saat kemarau. Lalu, melepas puas syukur dan tawa
manakala rugi pergi tak mengisi hasil panen kami. Namun, betapa duka derita
adalah Nil memanjang  di hati kami,
mengalirkan cemas tak lepas-lepas dalam nadi. Bilamana ladang tempat kami
meneduhkan mimpi anak-istri, saat ini harus subur di tumbuhi gedung-gedung.
Sungguh! Kami tak pernah mengira sebelumnya, bahwa benih padi, jagung dan tembakau
hanya akan kami tanam dalam angan, dan menyiramnya dengan airmata.
      O, kini
benar-benar kami rindu merdu kicau memanggil matahari, atau ketika kami harus
menjadi satpam mengusir burung-burung yang tanpa pamit bermain di ladang kami
lalu mencuri sebiji padi. Maka, tak bisa kami tepis ritmis tangis. Sebab,
ladang-ladang kami kini hanya tethampar dalam mimpi.
2019
Moksa
Gemuruh paling riuh adalah debur rindu
Dalam dadaku.
2019
Biodata Penulis

*Zen Kr . Santri PP. Annuqayah Lubangsa asal
Batang-batang. Menyukai puisi sejak berproses di Komunitas Persi. Karyanya
pernah dimuat di Galeri
Pesantrian,Buletin Kompak, Radar Madura, Jejak Publisher, Tulis.me, Lini Fiksi,
Tuban Jogja, Majalah Sastra Simalaba, NusantaraNews.co, dll.
Buku antologi
bersama terbarunya adalah yang Berlari
dalam Kenangan (2019)
. Saat ini turut aktif di RL Community dan Komunitas
Ngaji Puisi
Betalamat di : Zen.kr@yahoo.com
Atau FB : ZenKr

Penulis


Comments

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Uncategorized

Resume Buku Amba Kisah Dibalik Perang Besar Baratayudha

Apacapa Baiq Cynthia

Selamat Datang di Situbondo

Cerpen Imam Sofyan

Kitab Putih

Alexong Cerpen Hana Yuki Tassha Aira

Cerpen: Waktu yang Pecah di Balik Pintu

Apacapa

Festival Literasi Situbondo: Wajah Baru Kotaku

Buku M Ivan Aulia Rokhman Ulas

Bangkitlah Kejayaan Rasulullah di Era Milenial

Puisi Syafri Arifuddin Masser

Puisi: “Status 1: Apa yang Anda Pikirkan?”

Puisi Tjahjono Widarmanto

Ayat Nostalgia dan Puisi Lainnya Karya Tjahjono Widarmanto

Apacapa

HUT RI dan Kesadaran Anak Kelas 5 SD

Dani Alifian Puisi Sastra

Puisi: Tamadun Semu Karya Dani Alifian

Buku Syukron MS Ulas

Resensi: Novel Warisan

Haura Zeeba Karima Mored

Cerpen Mored: Katarsis

Apacapa Marlutfi Yoandinas

Posisi Komunitas Muda Kreatif Situbondo dalam Revolusi Industri 4.0

Apacapa N. Fata

Bânni Monteng Sakèlan

Puisi Syukron MS

Puisi: Malam Minggu

Uncategorized

MMI Dukung Anak Muda Plalangan Wujudkan Impian

Buday AD Puisi Sastra Minggu

Puisi: Melepas Air Mata

Agus Hiplunudin Buku Ulas

Politik Era Digital karya Agus Hiplunudin

Muhammad Husni Puisi Tribute Sapardi

Puisi: Payung Hitam 13 Tahun

Buku Sutrisno Ulas

Kekerasan Budaya Pasca 1965