Puisi : Sabuk Asteroid


Tata Surya Bagian Dalam
Aku
mendatangi kuburanku
saat mengunjungi kota ini.
Bertanya kau padaku: kau ini apa?
Menjawab aku
padamu: aku ini seorang tahanan.
Otak pucat
itu menolak, tak terima melihat bumi
masih sudi menampungku. Baik. Selesaikan
cacah di langit dan jangan pikirkan rimbunan
bebatuan di angkasa yang setia seperti bulan.
Aku terus
mendatangi kuburanku
saat mengunjungi kota ini.
Kita-kita banyak bertanya: bisakah asteroid
serupa 433 eros, 1916 boreas, atau 1566 icarus
serta ribuan lainnya yang tak tercatat
dalam sajak renung semesta
jadi pengganti bantal tidur?
Aku tak
henti-henti mendatangi
kuburanku di kota ini sampai suatu
malam, bulan purnama tiba, dan ia perkenalkan
nama sejatinya: Luna. Setelah itu, aku mulai
mendatangi kuburanku di tanah martian.
Padang, 2020
Sabuk Asteroid
Banyak sekali
batu di tubuhmu
dan kita tak terpisah jutaan kilometer.



Aku buat
tarah mereka bila terus
memaki jalan anggunmu
di kutub utara vesta.
Mathias
Olbers mungkin menyadari
tak ada aurora disana,
tapi
kau tahu,
dalam tatapan berulang-ulang
yang kau suguhkan padaku, 
sebuah komet
menyusuk
jantungku hingga
cerita kita berulang-ulang selama
lebih dari 86 tahun. Aku sabar.
Padang, 2020


Perkampungan Jovian
Shoemaker-levy
9 mungkin terlalu kejam
saat melantak Jupiter, tapi di rumahku
yang ada cuma senda gurau.
Berkata anak-anak
kalau
Napoleon tersungkur di Waterloo
karena kekurangan senja, tapi
hatiku jadi sepi.
Batas roche
terus memburu.
Aku dipaksa jadi cincin untuk Titan.
Meneroka sungai-sungai metana di pedalaman
bulan pasi itu.
Padang, 2020
Melihat Wahana Kesepian
Milyaran
kilometer bukan jarak yang jauh.
Kau tak perlu
merasa sendiri dan melepaskan
banyak keluh seperti kaisar agung
yang memegang senapan flintlock
Telah kurunut
sejarah kesepian, dan
ternyata hati yang kosong
berasal dari pecahan
batu-batu trans-neptunian yang resah.
Serupa
voyager, kau harus belajar
memaknai ruang-ruang gelap
sebagai teman cakap. Hari hampir
tak terdefenisi lagi.
Padang, 2020
Sebuah Iklan di Ujung Tata Surya
Jika aku
melihatmu bersedih hari ini
karena tak ada harapan terbungkus dalam
kardus untuk menembus bilik jantungmu

maka jangan bersedih.
Lihatlah, di
punggung Sedna, ada sebuah
selebaran iklan terpampang.

”Kepungan asap pembakar
ketaksaan telah hadir dalam
kemasan mini!”

Tertawalah,
dengan bahak
yang tak akan hilang.
Padang, 2020
Sebuah Kebenaran
Karena mataku
terlalu penakut
untuk bersaing dengan pandangan
orang-orang saleh,

malam ini
aku ditipu

oleh purnama
yang berasal dari amalthea.

Lalu tanah
ini ternyata bukan
milik bumi, milik kita,
atau milik kesabaran yang
mengendalikan setiap racauan.
Cukup. Hati
terlalu sakit
karena tak ada bulan malam ini.
Padang, 2020
Biodata:
Giffari Arief. Lahir di Padang, 10 Juli 1998. Sedang menjalankan studi di
Jurusan Sastra Indonesia Fakultas Ilmu Budaya Universitas Andalas. Bergiat di
Labor Penulisan Kreatif dan Lab. Pauh 9.

Penulis


Comments

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Dani Alifian Puisi

Puisi: Tamadun Semu

fulitik

Kronologi Batalnya Debat Ketiga Pilbup Situbondo: Dugaan Sabotase dan Status Hukum Karna Suswandi Jadi Sorotan

Ali Gardy Rukmana Apacapa

Album Stilasi: Merangkai Tradisi Nusantara

Cerpen Rahman Kamal

Cerpen : Tukang Sarang

Puisi Saiful Arif Solichin

Puisi: Jalan Pulang

Ienna katanny Prosa Mini

Sebuah Pilihan

Apacapa Nanik Puji Astutik

Ada Apa Denganmu, Mantan?

Banang Merah Cerpen

Cerpen : Untuk Perempuan yang Sedang Lari

Irman Lukmana Puisi takanta

Puisi: Tiga Cangkir Kopi untuk Pacarku

Apacapa Baiq Cynthia

Selamat Datang di Situbondo

Apacapa Esai

Merawat Spiritualitas, Menghidupkan Politik Kebudayaan: Catatan Seorang Anak Muda untuk Mas Rio

hafid yusik

Surat Terbuka untuk Kiai Muhyiddin

Cerpen Ruly R

Cerpen Kota Tanpa Telinga

Buku Indra Nasution Ulas

Kritik Terhadap Demokrasi

Mored Nurmumtaz Sekar Ramadhan

Cerpen Mored: Secangkir Kopi

Cerpen Violeta Heraldy

Cerpen : Pertemuan Kembali

Apacapa Moh. Imron

Analisis dan Lirik Lagu Kala Benyak: Waktu yang Tepat untuk Bersedih

Apacapa Esai Haryo Pamungkas

Ketemu Mas Menteri di Warung Kopi

Apacapa Esai Wahyu Umattulloh Al

Mulailah Sadar Akan Peduli Alam

Cerpen

Cerpen: Sebuah Kisah Patah Hati yang Kelak Tertulis dalam Headline Berita